Pedagang Martabak dari Mars

Ombak Kanal

Alfian Bahri

4 min read

Dia punya hal yang lebih hebat dan besar.

***

Seisi sekolah tahu itu. Dia pernah joget ngebor di kanal YouTube dan berhasil dilihat puluhan juta penonton dan mendapat tambahan ribuan pengikut. Berswafoto ketimbang menjadi dungu di ruang kelas sudah menjadi kelakuannya tiap hari.

“Di era gila ini, kau harus ikutan gila. Orang pintar kalah oleh orang gila, dan orang gila kalah oleh orang yang gak tahu malu,” katanya suatu ketika saat ditanya alasannya eksis di dunia TikTok.

Semua guru tahu dia tidak becus menghapal rumus, tidak rapi menggambar gunung, dan lebih sering tampil konyol saat disuruh maju. Dia hanya lulus di pelajaran seni menyanyi. Itupun bukan karena suara merdunya, dia terampil membuat suasana kelas pecah dengan tarian ngebornya. 

Di daftar catatan BK, namanya paling mentereng. Intensitas masuk BK bersaing dengan intensitasnya ke kamar mandi. Kasus terakhir, dia kepergok asik dengan gawainya ketimbang fokus dengan ujiannya. Surat peringatan dilayangkan untuk ke sekian kali. Tapi, tidaklah mempan. Jontir malah nge-vlog curhatannya masuk BK. Tidak lama, ratusan ribu akun membanjirinya dengan komentar dan suka. 

Kamu tidak akan kesulitan mendeteksi keberadaannya di kelas. Tidak perlu dicari. Dia sendiri yang akan memberitahumu. Duduknya di tengah, sementara aku dua meja di belakangnya. Itu memungkinkanku tahu segala tingkahnya.

Dia aktif di medsos. Hampir segala aktivitasnya tersiar di sana. Dengan jumlah pengikut yang banyak, aktivitas konyolnya lebih mudah diketahui. Termasuk potongan video guru montok di sekolahku yang sempat viral beberapa waktu lalu. Dalangnya Jontir semata.

Aku termasuk netijen yang memberi tanda like unggahan itu. Betapa seksinya lekuk tubuh guru IPS itu dari belakang. Aku baru menyadarinya. Selain itu, caranya menulisnya pun cukup lucu. Lebih mirip orang menari ketimbang menulis di papan. Yang paling parah, tulisannya menyerupai cakar ayam yang buntung sebelah.

Video itu berhasil ditonton 5 juta orang di hari kedua tayangnya mengudara. Mengetahui itu, sang guru langsung berterimakasih kepada Jontir. Berkat video yang diunggahnya, pengikut guru seksi itu meningkat drastis. Banyak netijen di kolom komentar yang ingin tahu nama guru itu. Bahkan kepala sekolah yang mata duitan itu juga melayangkan apresiasi.

“Ini cara yang efektif untuk mempromosikan sekolah kita,” kata kepala sekolah itu saat masuk ke kelasku. “Kita bisa jadikan Jontir juru siar penerimaan siswa tahun ini.” Pernyataan itu disambut tepuk tangan gemuruh.

Peristiwa itu memberi dampak baik. Jumlah pengikut Jontir kian meningkat. Hampir semua murid sudah saling berteman dengannya di dunia maya. Tukang kebersihan tidak luput untuk jadi pengikutnya. Bila ada murid yang ketahuan belum menjadi pengikut Jontir, rundungan bakal diterimanya. Dialah Kriek dengan jumlah pengikut yang tidak lebih dari 36 orang.  Sebuah jumlah yang memalukan bagi Generasi Z.

Kriek memang murid yang paling sering menerima rundungan. Hidungnya pesek, tubuhnya kecil, kulitnya coklat, rambutnya ikal, dan dia tidak banyak bicara, alias pemalu. 

Kriek masuk sekolah itu lewat jalur mitra warga, alias bantuan. Semua penghuni sekolah tahu itu sejak dirinya jarang diketahui jajan dan sering menderita maag. Kata Jontir, itu penyakit orang miskin, jarang makan!

Sementara, aku sendiri jarang berinteraksi dengan Kriek. Terakhir kulihat, dia tiduran di kelasnya saat yang lainnya sibuk jajan, perbarui status, main TikTok, dan pastinya swafoto. Selain itu, aku lebih sering melihatnya bersama Jontir beserta krunya di waktu-waktu luang. Kriek selalu dijadikan objek dan bahan konten video.

“Sayangnya, kamu ini pemalu. Kurang berani gerak. Padahal, orang dengan tampang kayak kamu ini lebih menjual. Asalkan berani joget dan bertingkah gila,” kata Jontir.

“Dia diam saja sudah viral. Tampangnya lucu dan mengundang hujatan. Lihat saja hidungnya, sudah mirip pantat panci hitam yang penyok. Pasti kolom komentarnya bakal jauh lebih penuh ketimbang kolom suka,” timpal lainnya disambut gelak tawa lainnya.

Kriek cuma diam menunduk. Dia selalu pasang wajah datar saat Jontir merundungnya. Ujung-ujungnya, Kriek akan jadi bahan ujicoba kontennya. Itulah tujuan akhir dari semuanya. Orang-orang penuh iba selalu menjadi ladang bagi konten media sosial. Orang lemah dan rendah memang paling cepat laku dijual di dunia ini. Miskin memang menjual.

Aku yang menyaksikannya saja tertawa terpingkal-pingkal. Kriek memang lucu dan aneh. Tidak banyak orang seperti dirinya, yang begitu pasrah menerima cobaan hidup.

***

Semua orang memang sedang gila dengan media sosial. Segala atribut kehidupan dipindahkan ke sana. Mulai dari tingkah bangun tidur, sampai tingkah masuk WC, semua diumbar dengan sengaja. Sekalipun itu urusan privat, tetap bakal diobral. Sebuah dunia tanpa rahasia. Tanpa privasi.

Berita hoaks menjadi masalah serius dari semua hal yang ada di media sosial. Guru-guru sering mengatakan itu di kelas. Terutama guru PKN berpeci coklat itu. Dia paling sering menghimbau murid-muridnya agar bijak menggunakan media sosial. Tapi, di sisi lain, aku sering melihat dia selalu sibuk dengan gawainya. Pernah aku hitung frekuensinya, setiap 5 sampai 10 menit, dia menghidupkan layar gawainya. Entah apa yang ingin dipastikannya. Itu dilakukannya di sela pelajaran dan tugas mencatat.

Di antara yang lain, Jontir yang sering mendapat wejangan. Dia dihimbau agar hati-hati dan bijak saat mengunggah konten. Sekarang, semuanya sudah dipantau. Terutama yang berkaitan dengan SARA, intoleransi, dan pokoknya yang berkaitan dengan ITE. Ancaman pidana sudah digulirkan.

“Undang-undang ITE bisa membuatmu dipenjara, cuma dengan cuitan. Ingat! Cuma dengan cuitan. Kamu bisa mendekam di bui beberapa tahun,” katanya suatu ketika. 

Guru PKN itu sangat idealis sekali. Dia selalu bicara politik di depan kelas. Semua pelajaran dasar selalu disangkutpautkan ke arah sana. Kami cuma manggut-manggut disertai mata yang bergelayutan. Dia paling lantang menyuarakan keadilan.

“Demokrasi itu untuk rakyat, bukan untuk bacaan kekuasaan. Keadilan di atas segala-galanya, kebebasan lebih dari segala-galanya, kita sudah merdeka, ini bukan masa otoriter,” katanya penuh keyakinan.

Seisi kelas langsung bergemuruh. Bukan karena kandungan isi ujarannya, melainkan mimik muka merah guru itu. Sungguh lucu. Wajahnya bergetar saat mengatakan itu. Belum lagi, ludahnya muncrat keluar tipis-tipis. Dia tetap percaya diri, dan itu lucu sekali.

Di media sosial juga demikian, kata salah seorang murid yang sudah jadi pengikut setianya. Unggahan politik selalu menjadi ciri khas guru itu. Masalah sembako, jalan tol, kebebasan, agama, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain; menjadi bahan kritiknya. Semua hal dikomentari. Tapi tetap saja, konten Jontir yang trending topic sekalipun itu cuma joget-joget tiada jelas dan dengan beberapa kompilasi adegan-adegan gila.

***

Hari ini seisi sekolah membicarakan unggahan Jontir. Itu bukan hal aneh. Jontir selalu jadi pembicaraan. Dia lebih terkenal ketimbang sekolahnya. Tapi, ada yang janggal kali ini. Sejak tadi pagi tidak kulihat wajahnya.

Dua hari ini gawaiku berada dalam perbaikan. Aku tidak tahu konten terbaru anak itu. Aksi terbarunya belum bisa aku like. 

Di kantin sekolah, kulihat beberapa siswa berebut koran. Itu yang tidak biasa di sekolah ini. Beli koran saja berat, apalagi membacanya. 

Kali ini benda yang cepat basi itu jadi rebutan. Aku cuma menyimak sambil minum es teh. Aku tanya ke teman sebelahku.

“Memang ada berita apa?” 

“Pak Sanusi masuk penjara,” jawabnya santai.

Aku kaget bukan main. Guru PKN yang idealis itu diciduk polisi kemarin malam di rumahnya. Padahal dua hari yang lalu dia sedang berorasi pandangan politiknya di ruang kelasku. Guru itu terjerat kasus UU ITE. Dalam unggahan status media sosialnya, guru itu dinilai menghina presiden berserta simbol negara. Masalah seriusnya, unggahan itu diteruskan dan disalin oleh Jontir. Alhasil, langsung banyak orang yang melihatnya dan berkomentar. Seketika viral dalam waktu kurang dari 24jam.

Tak sadar, es teh di tanganku tumpah. Jontir telah membuktikan betapa luar biasanya dia.

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email