Mahasiswa STAIN Mandailing Natal

Penyakit-Penyakit Politik dan Ide Merawatnya

Farhan Donganta

2 min read

Di tahun-tahun belakangan ini, Indonesia dilanda suatu bencana atau lebih tepatnya penyakit yang mewabah pada kalangan elite. Penyakit tersebut biasa kita sebut dengan sebutan: politik yang disalahgunakan.

Jika hal itu dirumuskan ulang, maka kita akan memulainya dari sejarah politik itu sendiri. Politik sebenarnya konsep yang netral. Bahkan filsuf Aristoteles membayangkannya sebagai suatu gerakan perubahan bagi peradaban untuk menuju kepada hal-hal yang lebih baik.

Berangkat dari perumusan tersebut, kemudian kita dapat menentukan apa kesimpulan yang pantas untuk politik. Dan definisi yang sesuai adalah: politik sebagai alat untuk menyebarkan keadilan.

Maka politik sebagai penyakit akan menjadi sesuatu yang salah. Kemudian kondisi politik akan membawa kita pada pemahaman bahwa partai politik dan politisi-lah penyakit dari politik itu.

Dalam hal ini politik seolah telah menjadi “narkoba”. Karena ada penyalahgunaan dalam memakai dan menggunakan politik, maka sangatlah wajar jika politik menjadi sesuatu yang buruk di mata dan pikiran masyarakat menengah kebawah. Penyalahgunaan terhadap politik dapat disingkat menjadi sebuah istilah yang biasa kita dengan dan kita baca, yakni: “abuse of power”.

Sangat mudah untuk membuktikan hal itu ada. Mulai dari Undang-Undang Cipta Kerja, revisi Undang-Undang KPK dan pemecatan beberapa pegawainya, serta pengesahan Undang-Undang IKN (Ibu Kota Negara) dan opsi urun dana dari masyarakat.

Semua hal itu terkesan tergesa-gesa, sehingga ia terlihat menjadi suatu tindakan pemaksaan demi kepentingan yang membuat kita menuju pada kesimpulan dan pengertian “abuse of power”.

Baca juga: 

Jika kondisi politik ini direnungkan lebih dalam lagi, maka ‘abuse of power’ akan terlihat menjadi suatu akibat dan penyebabnya adalah penyalahgunaan politik oleh para pekerja politik, partai politik dan politisi. Abuse of power ini akan semakin membelokkan arah politik menuju jurang yang suram.

Jika kita membicarakan konteks politik republik ini. Maka kita akan memaknai demokrasi lebih dalam lagi. Demokrasi menghendaki “keutamaan warga negara” tetapi sialnya mayoritarianism hadir dan membuat kehendak demokrasi itu menjadi terhambat.

Mayoritarianism dengan prinsip kerasnya: “the winner takes all” menghambat segala aktivitas demokrasi, karena mayoritarianism bersifat elitis-egois atau elit yang egoistis. Yang lebih mendahulukan kepentingan kelompok.

Tentu elitis-egois ini, jika disimpulkan secara tergesa-gesa, akan terlihat sebagai kandungan dari pragmatisme. Tetapi jika dugaan tentang adanya unsur pemaksaan pada setiap kebijakan, lebih diperdalam lagi, maka elitis-egois itu akan menjadi kandungan dari oportunisme.

Dalam politik, oportunis adalah satu dari sekian banyak penyakit yang menerpa politik. Penyakit yang satu ini bergerak untuk menghalalkan segala cara termasuk pembodohan (melalui money politics) dan kebohongan (melalui janji-janji).

Dan penyakit ini sangat relevan dengan kondisi post truth- pasca kebenaran.

Post truth yang dalam pengertian sederhananya adalah: berlimpahnya informasi sehingga kebenarannya menjadi simpang siur. Oportunisme kemudian memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan “undertable transaction” atau “transaksi dibawah meja” satu bahkan “bermain gelap dalam terang”.

Jika post truth terus-menerus dibiarkan maka yang akan lahir adalah apatisme terhadap politik, atau sikap tidak mau tahu. Tentu dalam hal ini kita kemudian akan melihat ada potensi untuk ikut tenggelam karena apatis yang diinginkan oportunis tersebut.

Tetapi di tengah riuhnya post truth, mengucapkan ulang tujuan murni dari politik yakni: untuk sosial, adalah suatu tindakan politik baik yang akan membuat oportunisme akan mati bersamaan dengan post truth yang ia manfaatkan kendati itu akan terjadi secara perlahan.

Adanya penyakit yang menyerang politik, yang dapat diidentifikasi dengan kewarasan akal adalah dalil untuk memunculkan ide merawat politik.

Oligarki yang bergerak hanya untuk keuntungan atau kebahagiaan kelompok telah mereduksi prinsip keutamaan warganegara yang menjadi prinsip dasar demokrasi dan konstitusinya.

Tetapi dengan kekuasaan politik, bisa saja penyakit-penyakit politik itu bergerak mengubah konstitusi yang seirama dengan demokrasi. Berangkat dari hal tersebut, mungkin politik warga negara, atau politik wong cilik, menjadi obat untuk merawat politik yang sedang sakit ini.

Politik warga negara menengah ke bawah yang dimaksud adalah: politik yang mengedepankan sosial dan kepentingan bersama.

Di era ini warga negara telah menjadi sasaran kebohongan, Kebohongan-kebohongan ini dengan bangganya dipamerkan oleh para pekerja politik.

Dan melalui perawatan terhadap politik, salah satu tindakan yang baik untuk dilakukan adalah warga negara menjadi produsen dari nilai-nilai baik politik itu sendiri. Sehingga “keutamaan warganegara” muncul dan dapat dinikmati.

Cara merawat politik di era post truth memang sangat sulit untuk dilakukan, tetapi jika penyakit-penyakit politik tetap dibiarkan, maka perkembangbiakan oligarki akan semakin subur, dan jalan evolusi oligarki menuju plutokarasi akan tercapai.

Hal ini yang harus dihentikan dengan menyodorkan ide politik citizenship, ide yang jelas demokratis dan menyasar sampai ke kalangan masyarakat bawah.

Farhan Donganta
Farhan Donganta Mahasiswa STAIN Mandailing Natal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email