Pedagang Martabak dari Mars

Masa Transisi Menuju Masyarakat Informasi

Alfian Bahri

3 min read

Dalam setengah abad terakhir, dunia berangsur-angsur beralih ke dalam apa yang dinamakan “masyarakat informasi”, “abad informasi”, atau era pascaindustri”. Futuris Alvin Toffler menyebut transisi ini “Gelombang Ketiga”, yang menunjukkan bahwa gelombang ini pun akan membawa pengaruh yang sangat menentukan sebagaimana dengan dua gelombang sebelumnya sepanjang sejarah manusia: dari masyarakat pemburu-pengumpul menjadi masyarakat pertanian, kemudian dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Perubahan ini akan berdampak pada kemakmuran, demokrasi, dan kebebasan, dan tentu saja berdampak nyata pada kegiatan sehari-hari dalam masyarakat.

Baca juga:

Satu hal yang perlu diwaspadai dari perubahan ini adalah periode transisi. Suatu tahapan yang paling sulit di antara tahapan lanjutannya. Karena pada tahap transisi, proses gesekan lebih sering terjadi. Terlebih lagi bila tahapan tersebut dijalani tanpa kekuatan adaptasi dan modal strategi memadai.

Di Indonesia, transisi itu terjadi bersamaan dengan upaya keluar dari otoritarianisme untuk membangun demokrasi. Demokrasi kita bisa dibilang masih sebatas umur jagung. Sedangkan, di satu sisi dalam waktu bersamaan teknologi informasi hadir. Demokrasi belum dewasa, tetapi sudah harus merangkak ke dalam masyarakat informasi. Kondisi ini bisa kita sebut sebagai kejutan budaya. Hal inilah yang membuat pergesekan serius dalam masyarakat Indonesia kian nyata dan melebar.

Kita bisa sama-sama melihat bagaimana gesekan itu terjadi di panggung politik, budaya, pendidikan, dan agama. Semua aspek besar kehidupan terlihat gagap. Bertumbuh suburnya kasus intoleransi, SARA, ketimpangan, adu domba, bias politik, kedangkalan literasi, dan klasifikasi golongan, membuktikan itu semua.

Enam Tanda

Fenomena ini mengingatkan saya pada buku Hipersemiotika karya Yasraf Amir Piliang. Buku itu menerangkan bahwa dalam masyarakat informasi seperti sekarang ini (cyberspace), ada 6 tanda yang diproduksi dan dikonsumsi. Enam tanda tersebut yang sejatinya menjadi pemain sekaligus penentu. Dialah pesulap itu.

Pertama, tanda sebenarnya (proper sign). Tanda sebenarnya adalah tanda yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan konsep atau realitas yang direpresentasikannya. Tanda [A] menggambarkan sebuah realitas [A], meskipun dalam hal ini, tanda tidak dapat disamakan dengan realitas yang dilukiskannya. Ia adalah tanda yang mengungkapkan konsep atau makna yang sebenarnya.

Kedua, tanda palsu (pseudo sign). Tanda palsu adalah tanda yang bersifat tidak tulen, tiruan, berpretensi, gadungan, yang di dalamnya berlangsung semacam reduksi realitas, lewat reduksi penanda maupun petanda. Penanda seakan-akan ia adalah asli (sebenarnya), padahal palsu (bukan sebenarnya). Tanda palsu melukiskan realitas [A] dengan mengatakannya [A’] atau melukiskan realitas [A’] dengan mengatakan sebagai [½ A’].

Ketiga, tanda dusta (false sign). Tanda dusta adalah tanda yang menggunakan penanda yang salah (false signifier) untuk menjelaskan sebuah konsep yang, dengan demikian juga salah. Tanda [A] digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya adalah [B]. Terdapat hubungan asimetris antara tanda dan realitas. Tanda digunakan sebagai alat dusta.

Keempat, tanda daur ulang (recycled signs). Tanda daur ulang adalah tanda yang telah digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu, dan tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa kini (yang sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama sekali). Misalnya, daur ulang gambar-gambar yang diambil pada peristiwa Marsinah untuk merepresentasikan (seolah-olah seperti itulah) peristiwa pemerkosaan perempuan pada peristiwa 13 Mei di Jakarta.

Kelima, tanda artifisial (artificial signs). Tanda artifisial adalah tanda yang direkayasa lewat teknologi citraan mutakhir (teknologi digital, grafis komputer, simulasi), yang tidak mempunyai referensi pada realitas. Ia disebut juga tanda-tanda yang tidak alamiah atau buatan. Tanda artificial sama sekali tidak merepresentasikan realitas di luar dirinya (tanda virtual). Ia ada dalam dan untuk dirinya sendiri.

Keenam, tanda ekstrim (superlative sign). Tanda ekstrim adalah tanda yang ditampilkan dalam sebuah model pertandaan yang ekstrim, khususnya lewat efek-efek modulasi pertandaan dan makna yang jauh lebih besar ketimbang apa yang ada di dalam realitasnya sendiri, semacam intensifikasi realitas peningkatan efek, ektrimitas makna. Tanda [A’’’] digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari [A]. Ada efek pelipatgandaan makna yang terkesan hiperbolis dan superlatif.

Keenam tanda di atas dapat disebut sebagai bahan bakar dalam budaya cyberspace. Tidak relevan rasanya bila mengkambinghitamkan kehadiran permodelan tersebut. Semua itu sudah merupakan suatu konsekuensi modernitas. Kita hanya mampu menjalaninya dengan strategi yang pas dan jitu. Karena dalam cyberspace, semua lapisan masyarakat mengonsumsi sekaligus memproduksinya.

Belum Siap

Faktanya, masyarakat Indonesia belum punya rancangan strategi jitu yang pas itu. Kita lebih seperti manusia yang terdampar di dunia antah berantah, yang tidak jelas mau menjalani hidup seperti-dengan apa.

Kehadiran informasi yang seharusnya dijadikan bahan interaktif sehat dan membangun, justru bekerja sebaliknya. Informasi menjelma menjadi petarungan propaganda, pembenaran kehadiran, dan rekayasa citra. Permasalahan ini bukti bahwa kita memang belum siap berenang ke dunia cyberspace. Kita belum berhasil memahami tanda-tanda yang diproduksi cyberspace. Istilah bahwa internet memiliki dua mata pisau benar adanya.

Di politik misalnya, kita bisa melihat dengan jelas bahwa partai beserta tetek bengeknya itu (tak peduli oposisi atau koalisi) senantiasa memproduksi tanda palsu, tanda dusta, dan tanda ekstrem. Itu bisa dilihat dalam kasus Rana Sarumpet, Novel Baswedan, penangkapan aktivis, kampanye Kartu Sembako Murah, sampai citra Jokowi yang bak Superhero peduli rakyat. Sampai ada jargon, untuk memahami bahasa Presiden, kita harus membacanya secara terbalik.

Dalam aspek agama dan budaya lebih liar lagi. Isu toleransi, SARA, dan kebudayaan coba dibenturkan melalui tanda sebenarnya (proper sign). Konsep yang semestinya hitam dan putih coba dibaur-benturkan. Padahal sudah jelas, bahwa tanda A hadir untuk konsep A itu sendiri sebagai tanda. Tapi, para paktisi agama beserta golongannya justru membawanya ke dunia abu-abu melalui bantuan cyberspace atas nama agama yang berbalasan surga-neraka.

Lalu, dalam dunia hiburan, kita juga masih belum bisa bersaing dengan Korean Wave, Disney, dan Hollywood. Padahal, bila ditilik dari dasar pembuatan, wahana hiburan semacam itu tidak lebih dari pendaurulangan tanda dan keterlibatan intertekstualitas.  Tidak ada otentisitas di sana. Tanda artificial belum sepenuhnya kita gunakan sebagai strategi. Itu sebabnya kita senantiasa jadi penonton, bukan pemain.

Saya tidak pernah bosan mengatakan bahwa penguatan literasi merupakan harga mutlak yang harus dibayar oleh bangsa Indonesia agar unggul dalam masyarakat informasi. Menghindari keenam tanda seperti di atas, sungguh langkah yang mustahil. Karena dalam budaya cyberspace, itu semua sudah menjadi keniscayaan. Dunia hari ini satu dan lainnya terhubung-terjalin begitu luas dan rumit, serta berkomunikasi begitu kompleks. Kalau kita tidak mampu mengurai tanda dalam interaksi tersebut, kita akan jadi bangsa yang tertinggal, terjajah, dan terpecah.

Jalan keluar utama itu bukan ditanggung salah satu elemen, melainkan suatu konsep bersama secara sehat dan dewasa. Kita harus mulai dari diri kita sendiri. Jangan sampai kita ikut terjerumus dalam produksi tanda yang menyesatkan. Kalaupun ada perbedaan pemahaman dasar materi, itu harus dilihat dari kacamata konsekuensi modernitas (cyberspace). Strategi yang tepat hanya sebatas mengurainya, bukan mempermasalahkannya. Tanggung jawab kehadiran bukan lagi milik kelompok, melainkan individu itu sendiri. Karena sekecil apapun tanda yang kita produksi, dalam cyberspace akan bergulir-berkembang ke arah yang belum kita bayangkan sebelumnya. Kita harus mampu mengurai dan memahami itu.

 

Alfian Bahri
Alfian Bahri Pedagang Martabak dari Mars

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email