Ramai-Ramai Melanggar Kode Etik demi Konten

Anisah Meidayanti

2 min read

Dengan adanya media sosial, hal yang awalnya sekadar obrolan antar sejawat profesi seketika bisa menjadi santapan publik. Belum lama ini, konten Tiktok seorang perawat melecehkan pasien yang membutuhkan pemasangan kateter viral dan menuai kemarahan warganet. Mengiringinya, kembali viral konten Tiktok seorang perawat menguyel-uyel bayi-bayi yang baru lahir.

Di tahun 2021, seorang dokter muda menyebarkan konten yang menunjukkan tindak pelecehan seksual oleh dokter tersebut terhadap pasiennya. Kasus ini bagai kotak pandora karena memantik respons berupa cerita-cerita pengalaman buruk serupa pada interaksi antara dokter dan pasien. Dokter muda tersebut lantas mendapat sanksi pembekuan kegiatan selama enam bulan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Baca juga:

Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata ada banyak tenaga kesehatan yang dengan santainya mengunggah konten berisi pengalaman kerja dan privasi pasien ke media sosial. Dalihnya, konten-konten tersebut dibuat dan disebarluaskan dalam rangka edukasi. Padahal, alih-alih edukasi, ada indikasi terjadi pelanggaran serius terhadap kode etik profesi tenaga kesehatan dalam konten-konten semacam itu.

Tentu, bukan hanya tenaga kesehatan yang kerap kepergok melakukan pelanggaran kode etik profesi, khususnya yang berhubungan dengan penyalahgunaan platform digital. Banyaknya pemberitaan, terutama tentang musibah dan bencana, di media daring yang judul beserta isinya sensasional dan dramatis adalah bentuk pelanggaran kode etik profesi yang kerap dilakukan oleh jurnalis.

Baca juga Idealisme di Antara Kejar Tayang dan Jumlah Klik

Pelanggaran kode etik profesi jurnalis tidak hanya terjadi di ranah daring. Jurnalis TV yang melontarkan pertanyaan sensitif dan tidak berbobot kepada narasumber juga melakukan pelanggaran kode etik profesi. Pertanyaan tersebut misalnya, “Bagaimana perasaan Ibu sebagai orangtua mengetahui anaknya menjadi korban kecelakaan?” Fenomena praktik jurnalisme yang mengutamakan kecepatan daripada ketepatan membuat produksi berita dilakukan dengan mengesampingkan segala kode etik jurnalistik.

Kasus terbaru pelanggaran kode etik profesi jurnalis adalah pemberitaan tentang menghilangnya Eril, anak pertama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di sungai Aare, Swiss dengan judul yang tidak empatis terhadap keluarga yang bersangkutan. Menanggapi hal ini, Dewan Pers melalui ketuanya, Azyumardi Azra, mengingatkan kepada seluruh insan pers atau media untuk tidak membuat pemberitaan terkait prediksi dan ramalan atas hilangnya Eril.

Melihat banyaknya fenomena pelanggaran kode etik berbagai profesi yang terjadi belakangan, kita dibuat bertanya-tanya tentang bagaimana penerapan fungsi dan peran kode etik profesi selama ini.

Tidak Sekadar Pajangan

Pada dasarnya, kode etik mempunyai fungsi ganda, yakni perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Poinnya adalah pelaksanaan tugas secara profesional. Sebab, kode etik juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi terkait. Kode etik ini tak hanya pajangan yang dibingkai apik di tempat kerja, tetapi seharusnya sudah dipahami dan jadi prinsip yang dipegang kuat oleh setiap anggota profesi. 

Kode etik profesi perlu dipahami dan wajib jadi prinsip karena nilainya sangat penting sebagai dasar membangun hubungan baik kepada seluruh pihak. Apabila sudah menjalin hubungan baik, maka akan tercipta kepercayaan antarpihak yang nantinya saling bekerja sama untuk memberikan dampak.

Contoh penerapan kode etik profesi, misalnya, perawat dalam menjalankan tugas praktik tidak seharusnya memberi tindakan medis terhadap pasien. Perawat seharusnya hanya melakukan asuhan keperawatan terhadap pasien. Namun, pengecualian untuk kondisi tertentu, perawat diperbolehkan memberi tindakan medis dengan pertimbangan etis sesuai prosedur dan situasi. Tanpa kode etik, masyarakat akan menyangsikan pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, serta akan muncul konflik internal di antara para tenaga kesehatan. 

Di profesi lain pun kode etik tetap diperlukan sebagai acuan bagi pekerja untuk tetap menjalankan tugas sesuai jalurnya. Tanggung jawab pekerja bukan sekadar beban kerja yang menumpuk atau tenggat waktu penyelesaian suatu pekerjaan. Lebih dari itu, setiap profesi punya tanggung jawab sosial, pendidikan, ekonomi, dan budaya yang berkaitan erat dengan kehidupan bermasyarakat sehingga perlu diatur dalam kode etik profesi. 

Misalnya, di tengah tingginya arus informasi dan pemberitaan palsu, peran jurnalisme sebagai media arus utama memiliki dampak yang masif dalam membentuk opini publik. Apalagi di era post-truth, fakta obyektif hanyalah fana. Masyarakat memilih informasi sesuai selera atau keinginan mereka sendiri. Kode etik bagi profesi jurnalis perlu ditegakkan agar berita yang diproduksi dapat jadi sarana pembelajaran yang kredibel bagi masyarakat. Ironisnya, banyak praktik jurnalisme yang malah memberi ruang bagi informasi yang hanya bermodal sensasi. 

Baca juga:

Media sosial yang akhir-akhir ini ramai membahas seluk-beluk profesi adalah pengingat akan betapa pentingnya kode etik profesi sebagai prinsip yang mesti dipegang teguh oleh setiap pekerja. Organisasi profesi perlu bersikap terbuka dan terus mengedukasi para anggotanya dan masyarakat luas tentang segala permasalahan yang menyangkut profesi yang bersangkutan.

 

Editor: Emma Amelia

Anisah Meidayanti

One Reply to “Ramai-Ramai Melanggar Kode Etik demi Konten”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email