Mahasiswa Program Doktoral Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia

Istilah Healing ala Netizen dan Perkara Wawasan Bahasa

Arina Mufrihah

3 min read

Sebelumnya, tulisan Bahasa Jaksel: Pengaburan Makna Gangguan Kesehatan Mental telah membahas penggunaan kata bahasa Inggris ala anak Jaksel pada istilah-istilah gangguan kesehatan mental yang rentan dikaburkan maknanya. Salah satunya adalah penyebutan kata healing untuk pergi liburan. Namun, tepatkah  menyebut bahwa netizen yang menggunakan kata healing untuk liburan tidak punya wawasan bahasa?

Setahun belakangan ini kata healing masif sekali digunakan di jagat maya. Penggunaannya pun sudah jauh dari pakem makna dan konteks awal istilah tersebut. Kenapa saya mengatakan keluar dari pakemnya? Karena padanan kata healing adalah penyembuhan.

Definisi healing merujuk dari Oxford Dictionary: “The process of becoming or making somebody/something healthy again; the process of getting better after an emotional shock.” Sementara definisi dari Cambridge Dictionary: “The process of becoming well again, or making someone well again, the process in which a bad situation or painful emotion ends or improves.

Artinya, healing adalah proses membantu seseorang yang mengalami gangguan emosional untuk menjadi sehat kembali.

Sementara di kalangan netizen, kata healing digunakan ketika sedang jalan-jalan atau liburan. Bahkan, ada audio khusus “healing kita….healing…” yang digunakan sebagai audio reel di Instagram. Kata healing dijadikan caption di berbagai foto liburan dan video jalan-jalan. Tren healing diikuti oleh banyak netizen sampai akhirnya muncul sebuah kritik tajam terhadap penggunaan kata tersebut. Kritiknya kira-kira begini, “STOP menggunakan kata healing untuk liburan. Gaul boleh tapi yang cerdas dong.” Kritik tersebut berargumen bahwa apa yang dilakukan netizen sebenarnya refreshing, bukan healing.

Netizen yang suka menggunakan kata healing disebut sebagai illiterate (tidak punya wawasan bahasa). Seorang profesor ternama juga menyindir, “sekarang apa-apa kok healing,” menurutnya, healing hanya digunakan untuk seseorang yang mengalami trauma masa lalu sehingga membutuhkan terapi psikologis berupa healing. Jelas contoh kritik tersebut didasari pada makna literal healing seperti dalam The Dictionary of Oxford atau Cambridge. Akar kata memang tidak dapat dipungkiri. Terlebih secara historis, healing (dari kata dasar heal) merupakan kosa kata bahasa Inggris yang diadopsi dari bahasa Jerman “heilen” dan bahasa Belanda “heelen”. Keduanya memiliki makna yang identik, yaitu memulihkan kesehatan.

Analisis dari Berbagai Perspektif

Sebelum diviralkan oleh netizen, terutama pascapandemi, istilah healing hanya lumrah digunakan dalam konteks psikologis. Healing bermakna proses untuk mendapatkan kesehatan emosional kembali atau yang lebih baik. Proses tersebut biasanya bagian dari terapi psikologis. Ini adalah persoalan etimologi bahasa, yaitu sejarah bentuk linguistik atau sejarah sebuah istilah atau kosakata. Dari etimologi, bisa dilacak asal muasal kata, serta makna dan penggunaan kata sebelum kata itu digunakan dalam konteks saat ini. Pada kasus healing ini, pelacakan etimologis menegaskan bahwa makna tekstualnya tidak mengalami perubahan signifikan.

Jika melihat satu sisi dari aspek epistimologi saja, tentu salah besar menggunakan healing dalam konteks hangout atau liburan atau jalan-jalan. Analisis dari perspektif lain perlu untuk dilakukan sebelum menjustifikasi kebutaan makna terhadap suatu kosakata di kalangan netizen. Misalnya, liburan atau jalan-jalan saat ini dimanfaatkan orang-orang untuk melepas penat dari rutinitas monoton di tempat kerja yang berisiko atau bahkan mungkin sudah memberikan dampak negatif terhadap kesehatan emosional mereka. Maka digunakanlah kata healing ketika liburan, yang berarti mereka melakukan proses pelepasan emosi negatif akibat tekanan pekerjaan tersebut, sehingga ketika kembali ke kantor, mereka dapat melakukan pekerjaan dengan hati yang lebih bahagia dan pikiran yang lebih positif. Hal yang mendukung penggunaan kata healing di sini adalah adanya istilah self-healing yang dapat dilakukan sebagai upaya preventif sebelum sebuah gejala gangguan emosional menjadi lebih serius dan akut.

Baca juga:

Kata Healing dalam Konteks Dinamis

Bahasa sebagai produk budaya terus berkembang. Tidak hanya tentang penambahan kosakata baru, melainkan perluasan dan pergeseran makna dari kosakata yang sudah ada. Dalam konteks penggunaan healing, kata tersebut mengalami perluasan makna. Healing tidak monoton bermakna proses penyembuhan aspek emosional pada seseorang yang mengalami permasalahan psikologis serius saja, tetapi digunakan juga untuk konteks liburan atau jalan-jalan sebagai upaya menghilangkan kepenatan dari rutinitas menjenuhkan yang berpotensi mengancam produktivitas seseorang.

Walau healing juga sering digunakan dalam bidang ilmu tertentu, terutama psikologi, healing yang dikehendaki netizen tidak terperangkap dalam teori mau pun praktik intervensi psikologi. Tidak kaku dan terbatas dalam otoritas suatu bidang ilmu. Healing dalam proses terapi berpedoman pada standar praktik dan dilandasi teori berbasis riset. Sebaliknya, self-healing ala netizen berkembang sesuai hukum dunia maya yang disruptif.

Terakhir, kata healing yang masif diramaikan di media sosial tidak bisa dipaksakan terikat dengan substansi historis saja.

Untuk memahami apa yang dimaksud netizen, kata healing perlu ditempatkan dalam konteks dinamis, sebab istilah healing dan istilah-istilah viral lainnya sering kali tidak dapat dianalisis dengan pendekatan klasik seperti epistimologi dan teoretis. Membuat kesimpulan bahwa penggunaan kata healing saat ini tidak tepat, dan menyebut bahwa penggunanya adalah individu tidak punya wawasan bahasa yang memadai, adalah tindakan yang agak terburu-buru dan hanya melihat dari satu sudut pandang.

Dan lagi, sebenarnya kita tidak perlu melarang orang lain menggunakan suatu kosakata, kecuali kosakata tersebut digunakan dengan tujuan menjelekkan, mendiskriminasi, atau menindas suatu hal. Itu lain soal dan lain perkara. Kurang bijak bila kita menyalahkan cara orang menggunakan sebuah kata, sebab kata itu selalu berada di alam interpretatif. Dalam perspektif hermeneutika, dua individu yang berbeda sangat mungkin menginterpretasikan suatu kata dengan sangat berbeda. Suatu kata bukan milik siapa-siapa, dan setiap orang punya hak untuk memaknai setiap kata.

 

Editor: Prihandini N

Arina Mufrihah
Arina Mufrihah Mahasiswa Program Doktoral Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email