Penulis adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep

Hayya: Kisah Kemanusiaan dalam Perang Palestina

M. Kholilur Rohman

3 min read

Novel Hayya yang terdiri atas 293 halaman dan 47 bab ini merupakan karya kolaborasi Helvy Tiana Rosa dan Benny Arnas. Pengalaman dan pengetahuan dari dua penulis tersebut menciptakan suasana yang begitu hidup dalam novel, baik yang berbentuk narasi pendek atau panjang, dialog antar tokoh, ataupun konflik yang terjadi dari setiap bab yang ada. Dan yang tak kalah membuat menarik adalah alur maju-mundur yang disajikan oleh penulis.

Tentu, bahasa yang renyah dan ringan layaknya percakapan sehari-sehari membuat saya mudah memahami dan menangkap ekspresi dari masing-masing tokoh.

Hayya merupakan anak palestina berumur 5 tahun yang menjadi korban kekejaman zionis Israel. Akibatnya, ia harus terpisah dari keluarganya. Kejadian tersebut kemudian disambung dengan datangnya Rahmat dan Adin sebagai jurnalis dan relawan Hubbu.

Membahas tentang Rahmat dan Adin, keduanya merupakan sahabat dekat. Kedua sahabat itu memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing. Misalnya Adin yang disebut sebagai jurnalis yang takut ketinggian dan penganut gulingisme. Ya, Adin hanya bisa tidur jika ada guling meski tanpa bantal. Hal itu pula yang menjadi salah satu bahan guyonan antara Rahmat dan Adin. Sementara Rahmat, jika saya perhatikan secara lebih cermat, adalah tokoh yang berwatak keras kepala dan penuh semangat. Sebagaimana tercermin dari dialognya:

“Aku siap turun langsung di medan perang, mengumpulkan kerikil dan batu-batu, lalu melemparnya ke pasukan zionis laknatullah.”

Kehadiran Rahmat dan Adin sebagai jurnalis dan relawan Palestina merupakan bentuk implementasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang peduli dan tanggap terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Tanpa memandang perbedaan ras, nasab, atau bahkan negara. Apalagi konflik antara Palestina dan Israel merupakan peristiwa besar yang juga berhubungan dengan Islam. Tentu, apa yang dilakukan oleh Rahmat dan Adin dalam novel Hayya adalah sebuah tindakan mulia yang belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang.

Kisah perjalanan novel Hayya semakin lengkap dengan adanya tokoh-tokoh yang lain. Sebut saja Bibi Nurul, Amrul, Lihin, Yasna, Ria, Pak Hamid, Ustaz Awang, Ustaz Ishaq, Irwan, Pak Maher, Amira, Afifa, Pak Wildan, Ustadzah Khalida, Abrar, dan yang lainnya. Secara keseluruhan, mereka memiliki peran dan porsi masing-masing di setiap bagian cerita.

Dalam perjuangan sebagai jurnalis dan relawan, Rahmat berhasil memberikan warna baru dalam kehidupan Hayya. Hayya yang awalnya dikenal sebagai gadis pemurung, kini mulai bisa mengembangkan senyumannya setelah bertemu dengan Rahmat. Sehingga tak heran jika disebutkan bahwa setiap kali bermain dengan Rahmat, Hayya merasa sedang bermain dengan kakak sulungnya yang syahid akibat peluru nyasar. Lebih dari itu, dari saking dekatnya Hayya dengan Rahmat, Hayya sampai memanggil Rahmat dengan sebutan Abi yang berarti ayah.

Kedekatan itu pula yang membuat Rahmat semakin betah di Ramallah dibanding melaksanakan tugasnya sebagai jurnalis. Tentu, meski secara profesional tidak bisa dibenarkan, tapi panggilan hati sering kali menang untuk membawa seseorang untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana yang dilakukan Rahmat dalam menemani keseharian Hayya.

Salah satu bentuk kedekatan Rahmat dan Hayya adalah dengan bermain puzzle bersama dan menyanyikan lagu You Are Allah yang mampu dihafalkan dengan baik oleh Hayya.

Konflik dalam cerita pun memanas saat Rahmat dan Adin melakukan perjalanan pulang ke Indonesia yang tanpa mereka sadari, Hayya menyelinap masuk ke dalam koper Rahmat. Koper yang rencananya ditinggal di Ramallah akhirnya terbawa pulang. Dalam peristiwa ini, Amrul dan Lihin menjadi relawan yang membantu kepulangan Rahmat dan Adin.

Setelah itu, Rahmat merasa mendapatkan teror dari seseorang pada suatu malam. Suasana rumah dan perasaan Rahmat pun menjadi kacau. Ia mengira-ngira bahwa pelakunya adalah Adin. Hingga akhirnya tertangkaplah seorang gadis kecil bernama Hayya yang bersembunyi di dalam koper. Spontan Rahmat terkejut saat melihat apa yang ada di depannya.

Masalah pun semakin runyam. Berita tentang hilangnya seorang gadis Palestina menyebar ke mana-mana. Motif penculikan Hayya dikabarkan sebagai kasus human-trafficking dan usaha adopsi ilegal. Pencarian oleh pihak berwajib pun dilakukan. Adin menyarankan Rahmat untuk jujur dan mengaku saja perihal Hayya pada Pak Wildan sebagai ketua Hubbu (rombongan relawan). Tapi Rahmat tidak bersedia karena alasan keamanan dan kenyamanan Hayya. Tentunya, dalam peristiwa tersebut banyak perbedaan pendapat berdasarkan asumsi masing-masing yang membuat cerita semakin menarik.

Tidak hanya itu, rencana Rahmat untuk mengadopsi Hayya juga mendapatkan perlawanan dari Adin. Ia menyampaikan bahwa mengadopsi anak dari wilayah terlarang, selain persyaratan administrasinya yang sulit, juga bisa berujung penjara. Mendapatkan respon seperti itu, Rahmat tak tinggal diam. Ia juga menyampaikan berbagai alasannya untuk membawa Hayya ke Indonesia dan mengadopsinya sebagai anak. Lagi-lagi panggilan jiwa kemanusiaan Rahmat menggerakkan dirinya.

Kehadiran Hayya di tengah-tengah keluarga Rahmat sempat menuai salah paham. Abah Rahmat dan yang lain mengira Rahmat sudah menikah dengan perempuan bernama Ria yang sebenarnya menjadi pengasuh Hayya setelah melalui proses seleksi. Padahal waktu itu, Rahmat sedang menindaklanjuti proses khitbah terhadap Yasna. Untungnya, salah paham tersebut terhapus setelah adanya penjelasan yang sebenarnya dari Adin. Rahmat juga berani mempertahankan tekadnya untuk merawat dan melindungi Hayya saat semua anggota keluarga berpendapat untuk segera mengembalikan Hayya ke Palestina.

Tak hanya Rahmat, dalam menjaga dan melindungi Hayya, Adin pun memiliki peran yang penting. Disebutkan di awal-awal cerita bagaimana Adin berjuang menjaga Hayya dalam gendongannya dari kejaran polisi dan tiga laki-laki banci yang ditemui di sebuah gubuk tengah hutan. Yang mana peristiwa itu kembali disebut pada bab di bagian akhir. Juga saat Rahmat hendak melaksanakan ijab qabul, Adin-lah yang menjaga Hayya. Hal tersebut menjadi bukti sikap peduli  Adin terhadap sesama, meskipun ia sadar risiko yang dihadapinya saat itu sangat besar.

***

Dari sisi pembaca, rasanya akan sangat kurang jika saya hanya menyajikan sisi-sisi unik dan menarik dari novel Hayya. Karena menurut saya pribadi, setelah berhasilkan menamatkan buku ini, terdapat beberapa pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran. Salah satunya ialah mengapa peran Rahmat sebagai jurnalis kurang tampak dalam cerita? Juga awal-mula kedekatan Rahmat dan Hayya yang terbilang sangat singkat, dan tiba-tiba mereka merasa saling menyayangi layaknya saudara kandung atau serupa anak dan orangtua. Padahal seandainya jika bisa dikisahkan lebih detail, mungkin cerita akan menjadi lebih menarik.

Faktanya, cerita lebih banyak dihabiskan pada hal-hal kecil yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, seperti rasa takut Rahmat saat terjadi hal-hal aneh di rumahnya, guyonan Rahmat dan Adin yang berbentuk dialog, dan narasi-narasi panjang mengenai suatu keadaan yang sebenarnya tidak perlu sampai sangat detail. Ya, kira-kira begitulah yang saya rasakan sebagai pembaca setelah mengkhatamkan novel Hayya ini.

Namun, secara keseluruhan, novel ini sangat cocok dan layak dikonsumsi oleh publik sebagai bahan renungan dan pembelajaran dalam hidup. Bahwa di negeri yang jauh sana, masih ada saudara kita yang membutuhkan bantuan dan uluran tangan demi menjaga kelangsungan hidup dalam situasi perang.

***

 

Editor: Ghufroni An’ara

M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Penulis adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email