Musisi, penggemar, merchandise, dan media memiliki relasi yang erat dan tak terpisahkan ketika membicarakan skena musik. Saking eratnya, relasi tersebut kadang menciptakan kisah-kisah yang banal dan mungkin absurd. Terutama dengan fenomena munculnya polisi skena di setiap gigs.
Polisi skena atau abang-abangan skena adalah sosok yang merasa paling mengerti seluk beluk skena musik. Terlebih jika membahas band idolanya. Mereka akan menjadi sosok paling depan jika ada yang membuka ruang diskusi.
Menjamurnya polisi skena acap kali membuat banyak penggemar musik risih. Kerisihan ini bukan tanpa alasan. Mereka yang merasa paling tahu soal musik suka memberikan penilaian kepada liyan. Terlebih terhadap para pemula di skenanya.
Baca juga:
Urusan berpakaian sering kali menjadi bahan gunjingan mereka. Seorang pemuda yang datang ke tongkrongan dengan mengenakan kaos band sering kali menjadi target. Ia bakal ditanyai berbagai pertanyaan mengenai seluk-beluk band yang logonya menempel di muka bajunya. Mulai dari anggotanya hingga lagu-lagu yang jarang dimainkan. Aneh dan wagu bukan?
Jika kemudian pemuda itu tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia bakal langsung mendapatkan cap poser. Ia dianggap bocah yang hanya ikut-ikutan tren musik yang sedang viral dan mencoba masuk skena tetapi tak mengikuti seluk beluk band idolanya.
Mata Rantai Skena yang Karatan
Sebenarnya, apakah menjadi poser itu salah? Mendengar pertanyaan tersebut, barangkali ada banyak kalangan yang langsung menyahut sinis bahwa poser itu menyebalkan. Mereka menganggap poser hanyalah hama untuk skena mereka.
Barangkali pemikiran itu tidak salah, memang banyak poser yang kelakuannya menyebalkan. Namun, sebenarnya ada pula yang melakukan itu karena masih pemula dalam memasuki belantika skena. Bahkan mungkin setiap orang pada mulanya juga pernah menjadi poser. Bukanlah sebuah aib maupun dosa jika kita menjadi seorang poser.
Waktu awal-awal mengulik dan mendalami hal yang kita minati–dalam hal ini musik–kita pasti pernah menjadi poser. Ini sebenarnya merupakan hal wajar, sebab segalanya butuh proses. Tidak ada yang instan.
Namun, yang menjadi masalah adalah rasa superior dan paling mengerti soal selera musik atau band yang didalami. Mereka telah menjadi snob dan menganggap orang lain tidak lebih paham dari dirinya. Padahal mereka hanya belum membuka perspektif baru dan masih berkutat pada pemahaman yang itu-itu saja. Dan terkadang sebagian dari mereka menganggap selera orang lain merupakan selera yang busuk dan tak layak mendapat pengakuan.
Kalau ditarik roda fenomenanya, poser-poser seperti inilah yang kelak akan bertransformasi menjadi polisi skena. Pengulangan ini akan terus menerus terjadi selama musik masih diputar dan ditampilkan. Potret mata rantai skena karatan akan sulit untuk disadarkan.
Pledoi Sir Dandy
Pada Mei 2020, Sir Dandy, pentolan Teenage Death Star mengelurkan single “Polisi Skena” melalui proyek solonya. Lagu ini sarat akan kritik terhadap polisi skena yang suka menilai dan mengatur cara orang menikmati musik. Ini menjadi semacam pledoi atas penghakiman bertubi-tubi polisi skena.
Lirik yang nakal dan lugas masih menjadi pembangun lagu Sir Dandy kali ini. Dibantu Riko Prayitno, Rizky Indrayadi, Vincent Rompies, dan Chevrina Anayang lagu ini sedikit berbeda dari lagu Sir Dandy biasanya. Terdapat nuansa new wave dan electronic di dalamnya. Namun, yang mengejutkan–tentu merupakan konsep–adalah adanya suara Jimi Multazam di lagu ini. Jimi memberikan pidato ala-ala polisi skena, alih-alih mengisi departemen vokal.
Baca juga:
Pentolan band The Upstairs dan Morfem ini berpidato dengan slengean:
“Hey, kamu itu yang di depan! Jangan diam-diam saja, gerakkan badannya! Coba itu ke atas! Ayo, semua! Kalau kamu diam-diam saja, pergi sana ke perpustakaan!”
Tentu ini merupakan sebuah kritik keras Sir Dandy (melalui suara Jimi) terhadap polisi skena dalam gigs atau konser yang suka mengatur cara orang menikmati musik. Padahal seperti yang kita tahu tidak ada cara pakem untuk menikmati musik. Semua tergantung selera dan kenyamanan. Mau duduk manis atau sambil stage diving tentu merupakan pilihan masing-masing.
Nalar Cekak Perdebatan Musik dan Skena
Dalam penggalan lagu “Polisi Skena”, terdapat lirik yang menarik:
“Kopi dan senja yang tak berdosa, jadi korban mereka yang berkuasa. Dijadikan bahan bully-an berkedok nyanyian. Kalau sudah begitu tak ada yang melawan.”
Ini merupakan sebuah contoh imbas dari perdebatan musik dan skena yang mandek di situ-situ saja. Tidak bermutu dan cenderung macet.
Dengan gamblang lirik ini tentu menyadarkan kita sebagai pendengar bahwa kopi dan senja sebenarnya tak bersalah. Keduanya hanya terseret dalam perdebatan musik yang picik. Kopi dan senja yang identik dengan folk digunakan sebagai media olok-olokan. Padahal sebelumnya keduanya tak ada hubungannya dengan musik folk.
Salahkah jika mendengarkan musik folk? Tentu tidak. Mendengarkan musik tentu pilihan dan tergantung selera, bukan sebuah keharusan apalagi paksaan. Jadi bukanlah masalah jika seseorang menyukai satu genre tertentu. Hal yang menjadi masalah adalah kebiasan mengolok-olok selera musik orang tanpa alasan mendasar. Kecuali dia seorang snobbish yang berusaha menaikkan marwah dan martabat musik Indonesia. Kalau cuma jadi polisi skena percuma.
Editor: Prihandini N