Kepedulian dalam melihat kesalahan atau yang dianggap salah dari orang lain kerap diejawantahkan dalam perilaku mengoreksi berjemaah. Hal semacam ini masih sering kita temui. Mulai dari dunia maya hingga nyata, dari ruang media sosial hingga ruang salat. Ketika terjadi sedikit saja, netizen atau jemaah salat akan dengan cekatan mengoreksi beramai-ramai.
Dari Ruang Media Sosial hingga Ruang Salat
Bahan koreksi berjemaah di media sosial biasanya terang-terangan terjadi di kolom komentar. Bukannya menanggapi unggahan dengan bijak, beberapa orang akan segera mengalihkan perhatiannya ke komentar seseorang yang dianggap salah dalam hal yang cukup sederhana, misalnya menuliskan lafaz tertentu dalam bahasa Arab yang sering diafiliasikan dengan Islam. Komentar yang menjurus kepada koreksi berjemaah itu biasanya dapat ditemui pada konten yang mewartakan keindahan hingga dukacita.
Penulisan yang sering sekali dikoreksi secara keroyokan adalah ‘masya Allah’ dan ‘husnulkhatimah’. Begitulah penulisan keduanya yang benar di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Memang semestinya rujukan kita terkait benar atau salah dalam menuliskan sesuatu, utamanya pada ranah formal, adalah KBBI. Akan tetapi, yang sering kali dipermasalahkan adalah bukan penulisannya dalam konteks berbahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan maknanya di dalam bahasa Arab.
Baca juga:
Demikianlah kenyataannya, ketika misalnya seseorang sudah berkomentar dengan penulisan ‘masya Allah’ yang benar sesuai KBBI, masih saja ada yang berkomentar “harusnya masha Allah” atau “yang benar ma syaa Allah”. Begitu juga dengan ‘husnulkhatimah’, seseorang akan diserbu ketika menuliskannya dengan ‘khusnul khatimah’ dengan seruan ”jangan pakai ‘khusnul’, itu artinya buruk.”
Selain itu masih ada pula yang bersikeras mengganti huruf ‘a’ menjadi ‘o’ pada kata tertentu, sehingga menjadi ‘masya Alloh’ dan ‘husnul khotimah’. Menurut hemat saya, sesungguhnya cara mana pun yang dipilih dalam menuliskan itu sah-sah saja, apalagi bukan sebagai karya ilmiah atau untuk diterbitkan sehingga butuh kurasi khusus.
Sangat disayangkan ketika orang-orang mulai bersikap terburu-buru dalam mengoreksi hal-hal yang sebenarnya hanya cukup ditoleransi.
Koreksi berjemaah yang juga membuat kurang nyaman adalah ketika salat di masjid. Hal ini juga saya alami berkali-kali. Ketika imam salah melafalkan ayat atau surah tertentu, maka makmum akan beramai-ramai membetulkan sang imam. Lucunya, itu terjadi hanya pada ayat atau surah-surah pendek yang makmum akrabi. Apalagi jika sang imam lupa ayat tertentu, maka mereka yang merasa hafal buru-buru menyambar bacaan imam yang masih berupaya mengingat.
Sependek yang saya tahu—sangat dipersilakan untuk mencari referensi lain yang lebih sahih—koreksi terhadap bacaan maupun gerakan imam telah tercukupi oleh orang yang dipercaya salat tepat di belakang imam. Hal itu cukup membantu untuk mencegah timbulnya kegaduhan di dalam salat. Bergesa-gesa dalam mengoreksi dan beramai-ramai pula itu malah mendatangkan mudarat yang lebih besar, terganggunya khusyuk jemaah.
Mengganti Kacamata
Jejak Pendapat Litbang Kompas tahun lalu yang juga dimuat oleh situs resmi Kemenag dengan tajuk Catatan Tahun Toleransi 2022 menunjukkan bahwa masih ada 47,6% masyarakat yang merasa toleransi butuh ditingkatkan di Indonesia. Wajar saja, sebab berkaca pada kenyataan di atas, ternyata intoleransi juga mengakar pada praktik-praktik sederhana dalam beragama di masyarakat.
Pada praktiknya, intoleransi kita berlindung di bawah kata peduli dan berniat memperbaiki, tetapi nyatanya kita hanya berupaya membela gagasan kita. Beberapa di antara kita masih tidak nyaman dengan perbedaan. Berbeda langsung disamakan dengan kesalahan. Padahal ada banyak hal nisbi di dalam kehidupan ini. Memandang sesuatu dengan kacamata kita yang butut hanya akan mengaburkan realitas bahwa ada banyak kebenaran ganda. Oleh karenanya kita perlu toleransi.
Baca juga:
Penting untuk mengganti kacamata dan menukar perspektif. Alih-alih melihat sesuatu dengan kacamata baik-buruk atau benar-salah versi kita, lebih baik melihat kenyataan bahwa sangat mungkin terlalu sedikit yang telah berhasil kita ketahui. Dengan mengosongkan perspektif terlebih dahulu saat melihat sesuatu, kita akan lebih mudah menerima apa yang disampaikan atau dilakukan orang lain, ketimbang langsung menyalahkan.
Kita boleh saja ragu terhadap pernyataan atau tindakan orang lain. Bukan pula sebuah ketidakpatutan bahwa apa yang orang lain nyatakan dan lakukan bertolak belakang dari yang semula kita ketahui. Akan tetapi, bukankah lebih baik jika kita berlaku “lugu” dan mulai bertanya terlebih dahulu perihal alasan orang lain berkata dan berbuat begitu. Jangan sampai pola komunikasi yang kita lazimkan tinggal hardikan semata.
Jika telah berhasil menukar perspektif dari mengindra kesalahan menjadi mengindra perbedaan, kita akan menyadari terlampau sulit sebenarnya untuk buru-buru menyalahkan orang lain.
Bayangkan betapa damainya hidup yang dapat kita jalani jika berdampingan dengan perbedaan. Bukankah memang begitu nafas dari semboyan yang kita hafal mati sebagai Bhinneka Tunggal Ika? Demikian pula agama mengajak kita untuk bersatu dan saling memahami, bukannya berlomba-lomba untuk menghakimi.
Editor: Prihandini N