Akhir-akhir ini, letupan-letupan konflik sosial berlatar belakang agama di Indonesia memicu keprihatinan dan kewaspadaan. Meskipun kehidupan beragama di Indonesia berlangsung harmonis dan damai karena adanya toleransi dan sikap saling menghargai, ancaman terhadap kerukunan beragama selalu ada bahkan bersifat laten.
Kerukunan hidup beragama sangat dibutuhkan untuk memperkecil potensi konflik masyarakat yang heterogen. Salah satunya adalah dengan membangun semangat toleransi umat beragama.
Ada yang mengatakan, toleransi adalah syarat mutlak bagi terwujudnya kerukunan. Hubungan antara toleransi dengan kerukunan adalah kausalitatif. Agama pada dasarnya dapat dijadikan alat kohesi sosial. Agar agama berfungsi sebagai alat kohesi sosial, ada beberapa dimensi yang perlu diperhatikan oleh pemeluknya, seperti runtuhnya ego sektoral, pola hidup sederhana, tidak ekstrem, dan saling hormat pada sesama.
Baca juga:
Sejatinya setiap agama telah memberi bekal doktrin dan praktik sejarah yang melimpah untuk menjalin hubungan yang rukun dengan siapa pun. Namun, doktrin ajaran dan praktik sejarah itu hanya salah satu modal untuk menegakkan kerukunan antarumat beragama.
Tak heran jika Fukuyama menggagas empat norma untuk membangun kerukunan sosial. Keempat norma itu antara lain hukum formal tertulis, kesepakatan sosial, hukum dan ajaran agama, serta tradisi dan budaya. Membina kerukunan adalah proses berkesinambungan yang melibatkan semua pihak.
Itu artinya, jika satu komponen saja dalam masyarakat tidak mengindahkan kerukunan, masyarakat akan bercerai-berai. Oleh karena itu, kerja sama yang berkesinambungan dari semua komponen masyarakat menjadi syarat mutlak dalam membina kerukunan. Jika kita gunakan gagasan Fukuyana, empat norma kerukunan sosial telah tersedia pada bangsa Indonesia.
Sejatinya Bangsa Kita Rukun
Ajaran agama dan budaya yang dipeluk dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia juga mengajarkan doktrin, nilai-nilai, dan pelajaran yang sangat jelas tentang pentingnya kehidupan rukun dan damai. Sebagai orang Timur, kita juga diajarkan kerukunan dan harmoni.
Kearifan lokal yang memenuhi memori kolektif bangsa Indonesia pun turut mendukung kehidupan rukun di antara warga negara Indonesia. Sementara itu, karya seni yang sarat dengan atraksi kekerasan, misalnya seni ketoprak masyarakat Jawa, dapat dibaca sebagai katalisator emosi kekerasan yang selalu ada pada manusia. Seni Ketoprak merupakan salah satu media yang diberikan oleh budaya Jawa agar kekerasan yang ada pada setiap manusia ditampilkan melalui panggung hiburan dan tidak dalam panggung kehidupan sosial yang nyata di masyarakat. Demikian juga Pancasila. Sebagai kesepakatan sosial tertinggi, Pancasila sangat menghargai toleransi dan kerukunan.
Oleh karena itu, sesungguhnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang rukun, cinta damai, dan penuh semangat kebersamaan. Hal ini sudah tidak terbantahkan lagi. Jika bangsa Indonesia akhir-akhir ini mewarnai panggung sejarahnya dengan kekerasan dan perpecahan, nampaknya mereka sedang tercabut jati dirinya. Mereka sedang kehilangan identitas yang sebenarnya. Mereka sedang hidup dengan karakter yang bukan miliknya.
Tampilan bangsa Indonesia akhir-akhir ini yang penuh dengan konlik dan kekerasan, bisa disebabkan oleh tiga faktor utama, yakni faktor eksogen, endogen, dan relasional.
Faktor eksogen (luar) meliputi peristiwa global dan nasional yang memengaruhi secara paksa kehidupan keagamaan bangsa Indonesia. Faktor eksogen sebagai sumber konflik meliputi isu-isu global, ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial politik, perlakuan diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu, terminologi mayoritas minoritas dan gangguan kepentingan.
Baca juga:
Faktor endogen (dalam) meliputi tingkat pemahaman umat beragama yang sempit tentang ajaran agamanya sehingga dapat mengarah pada fanatisme agama yang buta dan tidak toleran, formalisme agama yang berlebihan dan aliran sempalan.
Sementara faktor relasional sebagai sumber konlik di Indonesia menunjuk pada faktor-faktor yang sensitif, sebab terkait dengan interaksi antara umat beragama. Faktor relasional berkenaan dengan kemampuan pengendalian diri masing-masing pemeluk agama ketika merespons atau berhubungan dengan pemeluk agama lain.
Faktor relasional sebagai sumber konlik antara lain adalah pendirian rumah ibadah, penyiaran agama, bantuan dari pihak asing, perkawinan beda agama, penodaan agama, perayaan hari besar agama, mobilitas penduduk, dan ekslusivisme etnis.
Menyuburkan Toleransi
Implementasi sikap toleransi dihajatkan untuk mewujudkan persatuan di antara komponen warga negara tanpa mempermasalahkan latar belakang agamanya. Bukankah seluruh agama di muka bumi mengajarkan tentang kebaikan? tidak satupun agama mengajarkan untuk berbuat kerusakan atau kejahatan.
Sering kita jumpai pemaknaan toleransi dalam kehidupan masyarakat tersegradasi menjadi dua penafsiran.
Pertama, penafsiran negatif yang menyatakan bahwa syarat toleransi itu cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang berbeda maupun yang sama. Kedua, penafsiran positif yang menyatakan bahwa harus ada bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain.
Pada tataran implementatif, sikap toleransi haruslah didasarkan pula pada sikap lapang dada terhadap orang lain dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, rasa penuh keikhlasan dan dapat menerima hal-hal yang tidak sama dengan prinsip yang dipegang sendiri. Hal tersebut tak akan membuat dasar prinsip seseorang hilang, yang ada justru membuatnya semakin kuat.
Editor: Prihandini N