Hubungan kita dengan bahasa adalah hubungan love-hate relationship. Menilik sejarah, Bahasa Indonesia punya peran besar dalam kebangkitan nasionalisme dan perjuangan untuk kemerdekaan dan persatuan bangsa. Sumpah Pemuda adalah penanda penting keterkaitan bahasa dan nasionalisme. Namun, keterkaitan bahasa dan nasionalisme ini kerap dimaknai secara dangkal.
Pilihan penggunaan bahasa sering kali langsung dikaitkan dengan nasionalisme seseorang. Pertanyaan macam, “Kenapa yah mahasiswa Indonesia lebih senang mengerjakan tugas dalam bahasa Inggris?” atau “Ternyata tulisan berbahasa Inggris mereka lebih bagus, kok bisa?”, “Kok pakai bahasa lain padahal ada padanannya dalam bahasa Indonesia?” bisa dipelintir jadi pertanyaan yang mengandung maksud “Di mana nasionalismemu?”
Baca juga Terasing di Menara Gading: Susahnya Mahasiswa Menulis dalam Bahasa Indonesia
Aturan Berbahasa
Bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu. Namun, bahasa Indonesia juga dibentuk oleh bahasa-bahasa lain, terutama bahasa bangsa-bangsa yang pernah menguasai Indonesia, seperti Portugis, Belanda dan Jepang, juga bahasa-bahasa daerah, bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Bahasa selalu lahir secara spontan, dari bagaimana ia digunakan dalam percakapan atau dalam tulisan. Namun, seiring waktu, muncul upaya untuk memetakan dan mengenali ciri-ciri tertentu. Akhirnya bahasa Indonesia lahir dengan memiliki ciri dan aturan.
Aturan-aturan dan ciri-ciri ini kemudian juga mengatur bagaimana semestinya bahasa lain masuk dan digunakan dalam bahasa Indonesia. Tujuannya tentu saja adalah agar bahasa yang sebelumnya asing itu menjadi milik kita. Kalau bahasa itu sudah menjadi milik bahasa Indonesia dan sudah sesuai dengan aturan dan ciri bahasa kita maka kita akhirnya bisa menggunakan bahasa itu tanpa harus lagi bertengkar soal rasa nasionalisme.
Istilah-istilah teknologi macam e-mail, download, dan upload, sudah sangat tidak asing bagi telinga kita. Pos-el, unduh, dan unggah adalah padanan dari kata-kata tersebut dan baru beberapa tahun belakangan ini padanan ini menjadi semakin sering diggunakan. Tetapi masih banyak juga yang berpikir untuk apa repot menggunakan padanannya kalau bahasa aslinya lebih dimengerti oleh semua orang, toh berbahasa pada hakikatnya adalah untuk saling mengerti.
Tentu saja lazim menggunakan bahasa yang lebih sering terpapar pada kita. Kalau saja kata Pos-el, unduh, dan unggah terpapar lebih dulu dan lebih sering kita dengar, tentu kata-kata ini akan lebih sering kita gunakan.
Baca juga Jujurly, Ada Apa dengan Bahasa Anak Sekarang?
Bukan Milik Negara
Kebutuhan untuk menata dan mengatur bahasa mendorong lahirnya sebuah lembaga yang bertugas mengurusi bahasa.
Badan Bahasa pun hadir dengan tujuan melindungi aturan-aturan berbahasa yang sudah ditetapkan dan mengembangkan bahasa Indonesia sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Namun, Badan Bahasa juga punya tugas untuk tetap melihat bagaimana bahasa berkembang di dalam masyarakat dan berdasar pada hal itu, dapat mengubah aturan-aturan yang telah ada sebelumnya.
Tetapi tidak sedikit yang melihat otoritas Badan Bahasa sebagai polisi bahasa yang akan memberikan hukuman kepada para pelanggarnya. Apa yang dianggap orang-orang sebagai “razia bahasa” ini adalah sebuah bentuk edukasi dan upaya pelestarian bahasa Indonesia. Upaya pelestarian itu juga berakar pada rasa nasionalisme.
Rasa nasionalisme punya fungsi untuk menciptakan rasa bersalah. Karena keterikatan kita pada negara ini, segala hal yang berkaitan dengan Indonesia seolah harus sebisa mungkin menjadi prioritas. Sehingga mereka yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, benar, dan sesering mungkin dapat dicap tidak punya rasa nasionalisme.
Tentu saja kebanyakan orang tidak mau dikatakan tidak cinta pada negaranya. Wajar saja kalau orang-orang jadi sensitif dituduh seperti pengkhianat karena enggan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi memang tidak ada alasan lain kenapa orang Indonesia harus berbahasa Indonesia sesering mungkin selain rasa nasionalisme.
Yang harus juga dipahami adalah fakta bahwa penggunaan bahasa juga dipengaruhi banyak hal. Apa yang disebut sebagai “edukasi bahasa Indonesia” pun adalah salah cara mempengaruhi penggunaan bahasa. Lagu-lagu yang sedang populer, film-film dari berbagai negara, dan segala bentuk produk budaya populer lainnya adalah juga faktor yang mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia.
Ketika mengambil sudut pandang seperti ini bahasa menjadi sesuatu yang lebih dinamis. Satu-satunya yang tetap tentang bahasa adalah perubahan bahasa itu sendiri. Aturan-aturan kebahasaan hadir sebagai sebuah hasil observasi dari bagaimana orang-orang menggunakan bahasa sehari-hari dan akan tetap seperti itu. Namun, bahasa akan terus tumbuh mengikuti perkembangan dalam masyarakat, bukan mengikuti aturan tertulis dalam kamus.
Baca juga Do(s)a Berbahasa