Tiga tahun lalu, saya kenal Bandung Mawardi lewat Muhidin M. Dahlan dalam lokakarya daring bertajuk Inilah Resensi: Tangkas Menilik dan Mengupas Buku. Namanya muncul ketika Gus Muh memberikan lis peresensi yang bisa diikuti.
Nama Bandung Mawardi masih agak asing kala itu. Gus Muh membikin rasa penasaran saya kembali mencuat hingga akhirnya bulan lalu saya dipertemukan dengan karya Mawardi di iPusnas. Saya membaca catatan-catatan Mawardi dengan dua kacamata: pembaca dan peresensi. Sebab, niat saya memang ingin mencuri ilmu dengan menyelami pikirannya seperti yang disarankan oleh Gus Muh.
Baca juga:
Bandung Mawardi adalah penggandrung buku tulen. Catatan-catatan kecilnya memuat keintiman, kegemaran, dan keingintahuannya yang besar akan buku, terutama buku-buku lawas. Membaca catatannya seperti melakukan perjalanan pustaka ke masa silam.
Mawardi memperkenalkan buku-buku yang kehadirannya boleh jadi tidak pernah terpikirkan oleh kita. Wajar, buku-buku lawas yang dibicarakannya sebagian besar terbitan tahun 1950-an. Selebihnya beragam; tahun 1901, 1930-an, 1948, 1960. Menyusuri satu per satu jejak kegandrungannya akan buku-buku lawas membikin wawasan bertambah luas.
Kegandrungan dan keintiman Mawardi dengan buku terjalin sejak tahun 1998 saat ia belanja buku. Kemudian, ia berkeinginan mewariskan pengalaman membaca buku-buku lawas pada anak cucu. Jadilah, Mawardi bukan cuma penggandrung buku tulen, tetapi juga pencatat yang baik dan rajin. Buku Berumah di Buku (2018) adalah buktinya. Ia dengan serius mengabadikan kegandrungannya sampai hal-hal terkecil seperti tanggal pembelian buku hingga momen saat “panggilan” bukunya terpenuhi.
Catatan-catatan Mawardi sarat sejarah, baik dari isi buku-buku lawas yang dibahas, penelusuran keterangan, referensi pelengkap dari buku-buku lain dan majalah, maupun momen penemuan buku-buku lawas miliknya—yang kerap sentimental. Sejarah bahasa Indonesia, surat, kehebohan perdebatan tentang cabul hanyalah salah tiga contohnya. Dua puluh lima catatan Mawardi bisa dibilang amat lengkap, meskipun untuk beberapa buku saya tidak dapat menemukan keterangan tahun terbit dan penerbitnya. Entah di bukunya memang tidak ada atau terlewat olehnya.
Keinginan itu mengacu ke Daftar Buku Indonesia (1954). Aku membaca keterangan tentang buku Taman Siswa dan melihat gambar sampul depan: perempuan menari. Aku menulis doa sekian hari lalu di tulisan berjudul Buku, Gandrung Tak Terbendung. Doa itu terkabulkan. Jumat, 25 Januari 2013, aku telah mendapatkan dan mengkhatamkan buku Taman Siswa. (Halaman 130)
Sebagai pembaca, saya turut merasakan kebahagiaannya yang tak terbendung saat mendapatkan buku-buku yang ingin ia miliki. Seperti ketika harapannya memiliki buku Taman Siswa karya W. leFebre keluaran Penerbitan dan Balai Buku Indonesia tahun 1952 terkabulkan. Memperoleh buku itu ibarat menuntaskan rindu pada orang tersayang yang sudah lama tidak berjumpa.
Melihatnya tergiur memiliki buku-buku tertentu ketika membaca satu buku membikin saya seakan-akan sedang mengaca dan merasa tidak sendiri. Saya pikir antusiasme serupa kerap dialami para pembaca buku. Saat membaca Berumah di Buku ini pun saya mengalaminya. Mawardi mengenalkan buku Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito yang memengaruhi W. leFebre menulis buku Taman Siswa—otomatis saya tambahkan ke lis buku yang ingin saya baca.
Catatan-catatan kecil Mawardi penuh dengan keintiman. Dalam catatan tentang Sejarah Lelaki, misalnya, buku biografi lawas bisa membuatnya menjadi pembaca yang emosional.
Aku pernah berairmata saat membaca buku biografi lawas. Airmata kelelakian berdalih intelektualitas, ideologi, dan asmara. Buku itu sering membuatku merasa menjadi pengisah sejarah. (Halaman 94)
Kita akan mendapati keintiman-keintiman serupa dalam setiap catatannya. Hal ini menandakan bahwa buku bisa memberi efek beragam; tergantung pada seberapa intim hubungan kita dengan sebuah buku.
Aku obsesionis untuk urusan buku. Perkataan Edward W. Said adalah rujukan obsesi: “Kepala terkubur di keberlimpahan buku.” Aku menganggap kelumrahan jika Edward W. Said mengeluarkan kalimat berkaitan gairah buku. Aku cuma ingin berumah di buku. (Halaman 54)
Saya menduga judul Berumah di Buku dipilih atas keintimannya dengan buku yang dianggapnya sebagai rumah. Mawardi dan buku sudah melekat benar. Keduanya merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Buku setebal 136 halaman ini memperlihatkan kegandrungannya terhadap buku yang benar-benar tak tertandingi.
Baca juga:
Mawardi adalah guru bagi saya. Sebagai peresensi buku, saya banyak belajar dan menjadikan Berumah di Buku sebagai salah satu referensi dalam meresensi buku. Ia memberikan banyak pencerahan dan menyapu kekeruhan dalam otak saya lewat diksi yang renyah, membikin hanyut, lugas, dan kadang membikin mengikik. Ia ibarat peri penolong yang dikirimkan Tuhan untuk mengatasi kebingungan.
Resensi ini sendiri adalah eksperimen saya dalam menerapkan buah dari mencuri dan menyelami ilmu Mawardi. Saya menantikan buku-buku lain sejenis buku terbitan Basabasi ini—yang selain memperluas wawasan akan buku, juga mengatasi kebimbangan peresensi maupun pembaca yang berminat belajar meresensi buku.
Editor: Emma Amelia