Penulis majalah The Nation, Steve Tesich dianggap sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan istilah post-truth pada tahun 1992. Oxford Dictionary menjelaskan bahwa post-truth diklasifikasikan dalam kata sifat yang mendeskripsikan keadaan ketika kebenaran fakta tidak lagi diperlukan dalam menyusun opini argumentasi. Justru, yang dibutuhkan ialah emosi, perasaan, dan kepercayaan masing-masing individu ketika dihadapkan pada fenomena terkait.
Dari keadaan ini, muncul motivasi-motivasi yang memengaruhi seseorang ketika menerima dan memproses informasi. Menurut Joseph Kahne dan Benjamin Bowyer, terdapat dua tipe motivasi yang memengaruhi seseorang, yakni directional motivation dan accurancy motivation. Pada kasus accurancy motivation, ketika seseorang memperoleh informasi, mereka akan mengkritisi dan menggali kebenaran dari isu yang diterima. Mereka tidak melahap mentah-mentah kabar tersebut. Justru, mereka mengedepankan sikap berhati-hati ketika menerima setiap informasi dari beragam fenomena yang bertebaran.
Baca juga:
Kasus directional motivation adalah kebalikan dari accurancy motivation. Pada tipe ini, seseorang lebih senang menerima informasi yang sejalan dengan pemahamannya saja. Apabila dihadapkan pada fenomena yang bertolakbelakang dengan kepercayaannya, mereka dengan suka rela memperlihatkan ketidaksetujuan. Sederhananya, mereka yang berpaham directional motivation kurang menyukai dan menentang kebenaran yang tidak sejalan dengan persepsinya.
Sayangnya, kebanyakan orang cenderung mengamini paham yang kedua saat dihadapkan dengan topik-topik tertentu. Akibatnya, mereka memiliki bias ketika menilai isu karena telah tersugesti oleh emosi, perasaan, dan kepercayaan pribadi.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan Informasi, Usman Kansong, mengatakan bahwa era digitalisasi mengakibatkan orang-orang menafaatkan media sosial guna mencari informasi dengan maksud untuk mengonfirmasi hal tertentu. Lebih lanjut, Usman mengatakan bahwa khalayak hanya mencari tahu sesuatu yang sesuai dengan pemikirannya.
Salah satu contoh nyata dari penjelasan Usman ialah adanya ketidakpercayaan terhadap golongan lain yang berbeda keyakinan. Munculnya kelompok ekstremis dengan haluan garis keras turut mengambil andil dalam pergolakan era post-truth saat ini. Belum lagi, derasnya arus informasi yang tersebar di internet sering kali tidak melalui verifikasi kebenaran terlebih dahulu. Keadaan seperti ini sudah barang pasti terjadi mengingat hilangnya sekat antara ruang dan waktu di era digital.
Membingkai Kebenaran Beragama
Seperti yang terurai pada pembahasan sebelumnya, munculnya kelompok ekstremis yang menganut paham garis keras dapat dikatakan mengambil peran dalam kisruh fenomena sosial ini. Fakta yang bertebaran bisa saja benar adanya. Hanya saja, apabila dikorelasikan dengan konteks yang tidak tepat, justru paham beragama yang seperti ini akan menjadi bumerang untuk mengerdilkan kepercayaan lain.
Isu terorisme maupun gerakan dengan dalih agama adalah problematika yang belum tampak akan surut dalam waktu dekat. Pemahaman mengenai ayat-ayat jihad sebagai bentuk menegakkan dan memurnikan kembali ajaran Tuhan terkadang hanya dimaknai sekenanya saja. Firman Tuhan dimaknai sesuai dengan yang diyakini oleh umat post-truth. Tak ayal, tindakan ini mengakibatkan golongan garis keras berlaku ekstrem terhadap kepercayaan yang tidak sepemahaman dengannya.
Glorifikasi agama dengan ayat suci justru salah diartikan oleh kelompok garis keras ini. Mereka menghakimi ajaran lain dengan mengagungkan yang dianutnya. Mereka lupa bahwa proses dan sebab turunnya firman Tuhan kepada utusan-Nya tidak serta merta diwahyukan tanpa adanya sebab-akibat. Mereka lantas meninggalkan tafsir-tafsir ayat hasil jerih payah ulama dan justru mengaminkan firman-Nya dengan memahami secara sepenggal-sepenggal.
Di sisi lain, adanya pelabelan “baju teroris” acap kali disandarkan pada kelompok ekstremis ini. Gelar ini didasari dari seringnya mereka mengenakan identitas yang sama ketika beraksi. Tentu, “baju teroris” ini telah menjadi ciri khas penampilan kelompok ini ketika bersitegang dengan golongan lain. Satu dari sekian contoh ialah pengeboman gereja di Makassar pada tahun 2020 lalu yang dilakukan oleh oknum dengan pakaian syar’i seperti cadar.
Akibatnya, muncul framing bahwa teroris erat kaitannya dengan pakaian syar’i. Muncul stigma menakutkan akibat framing tersebut kepada pihak-pihak yang bisa saja berbeda haluan dengan golongan garis keras tersebut. Framing ini berdampak pula pada korban-korban intoleransi yang merasakan tindakan keji para oknum teroris tersebut. Dalam konteks ini, post-truth tidak hanya menyasar pelaku teroris, tetapi juga berpengaruh pada psikis korban tindakan intoleran sehingga menimbulkan penghakiman negatif terhadap golongan berpakaian syar’i.
Wacana Kebebasan Beragama
Sejatinya, kebebasan beragama telah diatur secara resmi dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.” Kemudian, setiap warga dijamin haknya oleh pemerintahan untuk melaksanakan ritual-ritual keagamaan mereka dalam Pasal 29 Ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Atas jaminan ini, sudah selayaknya kita memahami hak dan kebebasan mengekspresikan agama yang dianutnya. Negara dengan tegas menjamin kebebasan beragama warganya yang dibuktikan dengan tidak hanya mengakui satu agama saja. Ini mengindikasikan bahwa perilaku beragama telah memperoleh perhatian khusus dari konstitusional pemerintahan sebagaimana tertera dalam pasal tadi.
Kebebasan beragama telah diatur pula dalam kitab suci mereka. Dengan kata lain, kebebasan beragama termasuk cara makhluk-Nya mengekspresikan sikap tenggang rasa terhadap sesama yang berbeda keyakinan. Tidak perlu memaksakan agama yang dianut untuk diikuti pula oleh orang lain. Juga, tidak selayaknya menghakimi kebenaran agama yang diyakini oleh pemeluknya, dengan mengatakan agama yang kita anut sebagai keyakinan paling benar. Tidak perlu cemas dan khawatir akan terpengaruh setelah menyaksikan aktivitas peribadatan agama lain secara langsung.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 256)
Sebagaimana firman Tuhan di atas, dalam menganut kepercayaan, yang diperlukan adalah keikhlasan, bukan paksaan terhadap keimanan. Bukan pula disebabkan oleh ketakutan dan kekhawatiran akan terseret ke ajaran agama lain.
Baca juga:
Menjadi umat beragama yang taat dan patuh menjalankan perintah-Nya tidak harus secara fanatik. Tuhan selalu mengajarkan untuk menghargai perbedaan agama. Tindakan intoleran justru sangat bertentangan dengan seluruh agama yang melanggengkan perdamaian. Toleransi dan kebebasan beragama termasuk sikap yang perlu dibudayakan agar tercipta masyarakat heterogen yang saling menghargai dan hidup dalam kerukunan. Seperti kata Gus Dur, “Kita tidak seharusnya memaksakan interpretasi kita pada orang lain.”
Editor: Emma Amelia
Keren sekali tulisannya Mbak Azizah. Thumbs up.
Terima kasih Kak sudah mampir membaca tulisan saya😀