Lebih sering menulis esai. Hampir lulus dari kampus UIN Surakarta

Kerja Bakti Menghidangkan Konten Bergizi Sepeninggal Koran dan Televisi

Dhima Wahyu Sejati

3 min read

Ketika masih kuliah semester empat, saya pernah makan di angkringan. Tepat di sebelah saya adalah seorang driver ojek online yang sedang bercakap-cakap dengan penjual. Percakapan dengan penjual angkringan itu menarik perhatian saya.

Kami mengobrolkan rencana mogok massal untuk tidak mengangkut penumpang. Alasannya, tarif minimum saat itu terlalu murah. Aksi tidak mengangkut penumpang adalah cara protes yang mereka lakukan. 

Memang awal kemunculan Gojek, platform penyedia jasa transportasi berbasis online, sempat diwarnai ketegangan. Tidak hanya ketegangan dari internal ojek online seperti yang dibicarakan di angkringan tadi. Ketegangan juga terjadi ketika ojol bersinggungan dengan ojek konvensional. Masuk akal karena mata pencaharian ojek konvensional terganggu oleh kehadiran ojek online

Hampir separuh penumpang mulai beralih menggunakan aplikasi ojek online karena lebih praktis dan, tentunya, murah. Harga per kilometer saat itu masih dipatok Rp2.500,00, bahkan sempat ada promo Rp10.000,00 untuk semua tujuan. Ketika itu, ojek konvensional masih mematok harga yang lumayan tinggi dan belum pasti, artinya masih bisa ditawar.

Ketegangan antar mereka segera pecah dengan disertai “perebutan wilayah”. Saya pernah pulang dari Jogja naik bus, lalu turun di terminal Tirtonadi, Solo. Di terminal, saya kesulitan memesan ojek online.

Kamudian, saya menghubungi teman, yang juga bekerja sebagai ojek online, untuk minta dijemput. Ia kemudian menyuruh saya sedikit menjauh dari area terminal. Ketika saya tanya alasannya, ia menjawab bahwa ada larangan bagi ojol untuk mengangkut penumpang di area terminal saat itu.

Pantas, hampir satu jam memelototi aplikasi, tidak kunjung ada driver yang menghampiri saya. Malah, banyak ojek konvensional wara-wiri menawari jasa tumpangan yang saya tolak dengan halus. 

Dalam perjalanan menuju rumah, saya tanya apa konsekuensi jika ojol ngeyel ambil penumpang di daerah terminal. Kawan saya itu menjawab dengan nada serius, “Bisa baku hantam.” Ia sendiri pernah baku hantam untuk rebutan penumpang.

Disrupsi di Sektor Media

Kecanggungan memang terasa di awal, ketika kita benar-benar memasuki dunia digital. Makanya, ketegangan itu pecah. Sebab, di tengah proses transisi itu akan ada yang memilih tinggal dan yang lain memilih pindah ke digital. Tidak cuma jasa transportasi, sektor lain pun mengalaminya, tak terkecuali media dan jurnalisme. Gejala inilah yang dinamakan disrupsi. 

Banyak media konvensional (cetak) oplahnya mulai turun, lalu terpaksa beralih ke medium daring. Perpindahan ke daring ini dalam rangka mengikuti tren di kalangan pembaca yang mulai mencari informasi melalui media sosial dan mesin pencari.

Sudah sejak 2000-an awal media-media cetak di Eropa merasakan gejala disrupsi. Namun, di Indonesia, hal ini baru terasa setidaknya 10 tahun terakhir ketika internet dan telepon genggam pintar mudah diakses oleh semua kalangan. Ketika masih SMA, sekitar tahun 2014, saya sempat terkagum-kagum melihat pengayuh becak sudah pada pegang telepon pintar.

Bahkan, hari ini, keluarga saya sudah bisa hidup tanpa televisi, yang dulu diterima secara umum sebagai penyedia informasi dan hiburan utama. Sebagai gantinya, orang-orang memasang Wi-Fi dan mengakses hiburan lewat internet. Setelah melihat gejala ini, mau tidak mau, kantor berita juga harus segera beralih ke digital.

Bukan berarti jika sudah beralih ke digital tidak akan ada masalah. Justru, masalah baru bermunculan. Tidak sesederhana mengonversi media cetak ke website. Ada kesulitan lain yang lebih gawat, misalnya soal model bisnis yang turut berubah. Dulu, media cetak setidaknya mempunyai dua produk untuk ditawarkan, satu untuk pengiklan dan satu lagi untuk pembaca.

Pengiklan sebagai klien akan bernegosiasi dengan biro iklan. Sementara itu, para pembaca akan dilayani oleh redaksi media dengan cara kerja jurnalisme. Dua-duanya, baik pengkilan maupun pembaca, membeli produk yang ditawarkan. Yang satu membeli jasa penyedia iklan, yang satunya lagi membeli jasa penyedia informasi. 

Hari ini, bisnis media kedatangan pihak ketiga, yaitu penyedia platform digital. Pihak ketiga itu tidak lain adalah para raksasa teknologi seperti Google, Meta, Instagram, Twitter, dan YouTube.

Media yang bergantung pada programmatic ads dari platform raksasa seperti Google Adsense atau YouTube Ads akan cenderung menganggap pembaca atau pemirsa sebagai sekadar umpan. Agar semakin banyak iklan yang masuk, maka media perlu klik yang banyak.

Saya katakan pembaca hanya sebagai umpan karena media justru memosisikan Google dan YouTube sebagai klien mereka. Apa yang ditawarkan? Tentu saja jumlah pembaca atau pemirsa. Google dan YouTube, misal, perlu banyak penonton untuk iklan mereka. 

Beberapa media lantas berstrategi. Mereka memanfaatkan layanan pesan singkat seperti WA dan Telegram untuk mengumpulkan komunitas pembaca mereka dalam satu grup. Tujuannya adalah untuk mempertahankan pembaca dan meningkatkan jangkauan. 

Jika kita lihat dari skema itu, jelas pembaca atau pemirsa ada di urutan akhir prioritas pelayanan media. Sebab, sekali lagi, pembaca atau pemirsa hanya umpan untuk iklan dari pihak ketiga. Ini lantas memengaruhi jenis konten—jika tidak mau disebut liputan—yang ditayangkan di media online.

Konten-konten itu kebanyakan asal jadi, asal sensasional, terkadang malah kontroversial. Sebab, jenis konten seperti itu yang akan dimakan oleh pembaca atau pemirsa. Memainkan sentimen orang untuk mendulang profit adalah cara mudah menuju cuan.

Begitulah bisnis media yang sedang marak. Biarpun begitu, ada juga media yang masih mencoba-coba model bisnis yang lebih sehat agar visi jurnalisme tetap bisa berjalan beriringan dengan tuntutan profit di industri media. Sebab, di sistem pasar, apa pun jika ingin langgeng harus beriringan dengan modal.

Banyak kritik dari kalangan jurnalis sendiri terkait kualitas konten media online yang seadanya dan mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Dosen saya di kampus, seorang jurnalis senior asal Solo, pernah berkata, “Jurnalis sedang bertarung dengan dirinya sendiri.”

Jurnalis jelas bukan problem satu-satunya, apalagi yang utama, dalam sengkarut kualitas konten media online. Artinya, ada problem lain yang jauh lebih mendasar yang memengaruhi buruknya kualitas produk jurnalistik. Apa saja problem itu? Banyak pihak masih mendiskusikan dan mendebatkan jawabannya hingga kini. 

Meskipun kita sudah cukup lama masuk ke dunia digital, ternyata ketegangan, keluguan, dan kecanggungan yang saya ceritakan di awal masih saja terasa. Pelaku media mainstream, jurnalis, content creator, pengamat, dan pembaca sekaligus pemirsa masih terus bersitegang untuk mendefinisikan konten yang ideal.

Satu sudut pandang menarik yang belum banyak dieksplor ketika melihat fenomena disrupsi ini, yakni peran aktif pembaca atau pemirsa konten digital dalam membentuk model dan cara kerja industri media online. Barangkali, peran pembaca atau pemirsa ini memang tak bisa sesignifikan raksasa teknologi yang punya modal untuk menyetir muatan dan peredaran konten secara tidak langsung.

Namun, jika mau mengamini prasangka bahwa perkembangan teknologi informasi memang bisa menyediakan ruang publik yang lebih demokratis, kita mesti juga mengapresiasi terobosan-terobosan kecil yang dibuat oleh sesama pengguna internet biasa dalam rangka mendorong produksi konten berkualitas.

 

Editor: Emma Amelia

Dhima Wahyu Sejati
Dhima Wahyu Sejati Lebih sering menulis esai. Hampir lulus dari kampus UIN Surakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email