Mengenang Marsinah: Menjaga Memori Kolektif atas Kekerasan Negara

Rahul Diva Laksana Putra

3 min read

Nama Marsinah selalu muncul di benak orang-orang ketika membicarakan kasus pelanggaram HAM yang dilakukan oleh negara, khususnya terhadap buruh perempuan. Kasus pembunuhan Marsinah adalah representasi konkret bagaimana negara merespons kritik rakyat menggunakan mekanisme kekuasaan koersif.

Marsinah, yang ditemukan meninggal dunia dengan luka berat penyiksaan dan pemerkosaan, sebelumnya diketahui melakukan aksi mogok kerja menuntut upah layak dan kesejahteraan kerja bersama rekan-rekan buruhnya. Kasus Marsinah membuka ruang analitis terhadap kompleksitas hubungan antara negara, militer, dan korporasi dalam rezim otoriter.

Tiga dekade setelah peristiwa pembunuhan Marsinah, tidak pernah ada penyelesaian hukum atas kasus tersebut. Oleh karena itu, mengenang Marsinah adalah upaya politis dan epistemologis agar kita tidak melupakan kekerasan struktural yang terus dilakukan negara. Mengingat Marsinah adalah praktik mengaktifkan kembali ingatan kolektif sebagai perlawanan terhadap dominasi wacana negara yang kerap memarginalkan korban.

Kekerasan Struktural terhadap Buruh dan Genderisasi Represi

Kematian Marsinah merupakan puncak dari rantai kekerasan struktural yang dialami buruh di era Orde Baru. Buruh tidak hanya mengalami eksploitasi ekonomi, tetapi juga represi politik yang dilegitimasi oleh kebijakan stabilitas nasional.

Baca juga:

Penolakan Marsinah terhadap penangkapan yang dilakukan aparat terhadap rekan-rekannya mencerminkan resistensi terhadap dominasi militer dalam ruang kerja sipil. Dalam studi kekuasaan Foucaultian, langkah Marsinah mendatangi Kodim menjadi representasi tubuh subordinat yang menolak dikendalikan oleh wacana hegemonik keamanan negara.

Kekerasan yang Marsinah alami tidak bisa dilepaskan dari konteks gender. Sebagai buruh perempuan, Marsinah berada di simpul interseksional antara subordinasi kelas dan patriarki negara. Tubuh Marsinah yang disiksa dan dibuang bukan hanya hasil dari pembungkaman politik, tetapi juga representasi dari bagaimana negara memanipulasi tubuh perempuan sebagai objek kontrol dan kekuasaan.

Oleh karena itu, kekerasan terhadap Marsinah bukan hanya individual, melainkan institusional dan simbolik. Ia menjadi contoh dari bagaimana negara memproduksi kekerasan melalui kerja sama laten antara institusi militer, perusahaan swasta, dan penegakan hukum yang selektif.

Impunitas, Pengingkaran Historis, dan Reproduksi Kekuasaan

Tidak adanya akuntabilitas hukum dalam kasus Marsinah menjadi bukti kuat dari keberlanjutan budaya impunitas dalam sistem peradilan Indonesia. Upaya penyelidikan yang direkayasa, serta pengadilan yang menyasar pelaku-pelaku fiktif, mencerminkan bagaimana hukum dipergunakan untuk melindungi institusi negara daripada mencari kebenaran substantif. Dalam konteks transitional justice, kegagalan negara menangani kasus Marsinah merupakan kegagalan untuk membangun narasi sejarah yang inklusif dan akuntabel.

Budaya pengingkaran terhadap sejarah kekerasan ini tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari strategi reproduksi kekuasaan. Pengingkaran ini memungkinkan negara tetap mempertahankan narasi hegemoniknya tentang stabilitas dan pembangunan, sekaligus menghindari tanggung jawab moral dan hukum atas kejahatan yang dilakukan oleh aparatnya.

Dengan kata lain, impunitas adalah bentuk lanjutan dari kekerasan itu sendiri, yang tidak hanya menghilangkan keadilan bagi korban, tetapi juga menormalkan kekerasan sebagai mekanisme pemerintahan.

Secara historis, pola ini tampak berulang dalam banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, mulai dari Tragedi 1965, penculikan aktivis 1997–1998, hingga kekerasan terhadap Papua kontemporer. Negara seolah-olah menjadikan waktu sebagai strategi pelupaan, berharap bahwa ingatan kolektif masyarakat akan memudar seiring berjalannya waktu. Dalam pendekatan teoretis tentang kekuasaan dan memori, hal ini menunjukkan bagaimana negara berupaya mengatur historiografi nasional demi menjaga legitimasi kekuasaannya.

Marsinah sebagai Arsip Perlawanan dan Wacana Kritis Demokrasi

Dalam studi memori sosial, Marsinah adalah arsip hidup yang terus diproduksi ulang dalam perjuangan buruh dan aktivis HAM. Ia bukan sekadar simbol, tetapi node epistemik yang memungkinkan kita mempertanyakan demokrasi prosedural yang tidak menjamin keadilan substantif. Demokrasi yang dibangun di atas fondasi pengingkaran terhadap pelanggaran HAM berat, adalah demokrasi cacat secara etis dan politis.

Hingga hari ini, perlawanan buruh tetap menghadapi ancaman yang mirip dengan era Marsinah: kriminalisasi, union busting, hingga kekerasan aparat. UU Cipta Kerja merupakan manifestasi dari rezim neoliberalisme yang mengorbankan kepentingan buruh demi investasi.

Di tengah kondisi tersebut, Marsinah tetap menjadi referensi moral dalam membaca relasi kuasa negara terhadap rakyat. Perjuangannya adalah pengingat bahwa demokrasi sejati hanya mungkin tumbuh jika hak untuk berserikat, menyampaikan pendapat, dan mendapatkan penghidupan layak dijamin secara nyata.

Tidak hanya itu, dalam konteks pendidikan politik warga, Marsinah juga menjadi elemen penting dalam membangun kesadaran kritis. Kisahnya menjadi materi naratif yang dapat digunakan dalam pendidikan kewarganegaraan kritis untuk memperkenalkan relasi struktural antara kekuasaan negara dan hak-hak sipil masyarakat. Artikulasi kisah Marsinah dalam ruang-ruang publik adalah bagian dari strategi kontra-narasi terhadap dominasi wacana negara yang terus berusaha mengaburkan peristiwa-peristiwa kekerasan masa lalu.

Baca juga:

Mengenang Marsinah setelah 32 tahun berarti menempatkannya sebagai situs kritik terhadap kegagalan negara menjalankan keadilan transisional. Marsinah adalah luka kolektif yang menunjukkan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah hal yang sudah selesai, melainkan luka yang sampai hari ini masih terus dipelihara melalui impunitas dan kebungkaman. Kasus Marsinah harus dibaca bukan sebagai peristiwa kriminalitas individual, melainkan sebagai manifestasi dari sistem kekuasaan otoriter yang belum tuntas dibongkar.

Kini, tugas kita bukan hanya merawat ingatan, tetapi juga mengintervensi diskursus dominan yang mensterilkan sejarah dari kekerasan negara. Marsinah bukan sekadar martir, tetapi subjek politik yang menantang negara, dan melalui itu ia mengajarkan kita bahwa keadilan tidak datang dari diam, melainkan dari keberanian untuk terus bersuara.

Maka dari itu, dalam setiap upaya untuk melawan kekerasan struktural hari ini, nama Marsinah harus tetap disebut sebagai wujud perlawanan dan pengingat bahwa keadilan yang tertunda adalah bentuk lain dari kekerasan yang dilembagakan.

Marsinah tidak hanya mengingatkan kita pada kegagalan negara di masa lalu, tetapi juga memanggil kita untuk mempertanyakan ulang komitmen demokrasi hari ini. Ia adalah ujian moral dan politik bagi bangsa yang belum selesai berdamai dengan sejarahnya sendiri.

 

 

Editor: Prihandini N

Rahul Diva Laksana Putra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email