Film Bid’ah dan Fenomena Kekerasan Seksual Berbalut Dogma

agnes Monica

2 min read

Beberapa waktu lalu, Film Bid’ah yang tayang di negara Malaysia mulai pada 6 Maret 2025 mendapatkan antusias yang sangat besar dari masyarakat. Bukan hanya di Negeri Jiran, gaung film ini sampai di Indonesia. Film yang menggambarkan sebuah realitas kekerasan seksual yang dalam ruang-ruang keagamaan ini menjadi buah bibir dan memicu pro kontra.

Berdasarkan keterangan sinopsisnya, Fim Bid’ah mengangkat isu tentang suatu sekte agama yang sesat serta kontroversial. Namun kepopuleran film ini membuahkan beberapa kecaman. Salah satunya dari Laskar Aswaja Aceh, yang menyebutkan bahwa film ini menyesatkan dan mencemarkan agama Islam. Pembina Laskar Aswaja Aceh, Tgk Umar Rafsanjani, mengecam keras film Bid’ah yang tayang di Malaysia. Ia menilai film ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga dapat memicu kebencian terhadap ulama dan menjadi senjata bagi pihak anti-Islam.

Namun film ini menurut saya turut memberikan pandangan terhadap realitas kekerasan seksual yang terbingkai dalam dogmatisme sehingga kasus kekerasan seksual ini sulit terungkap dan terus berulang.

Fenomena dalam film Bid’ah sebenarnya kerap kali juga terjadi di berbagai tempat yang berbasis keagamaan. Salah satunya adalah di pondok pesantren. Kita ambil contoh kasus pelecehan seksual di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Mochamad Subchi Azal Tsani yang menjadi terdakwa dan mendapatkan tujuh tahun kurungan penjara. Contoh lain yang dapat kita ambil adalah seorang Kiai di Trenggalek dan anaknya yang cabuli 12 santri, di mana kasus pencabulan tersebut sudah dilakukan sejak 2021 sampai 2024.

Baca juga:

Lembaga pendidikan khususnya yang berbasis keagamaan ternyata belum sanggup untuk memberikan ruang aman dan nyaman kepada para murid atau santrinya dari kekerasan seksual. Ini merupakan persoalan serius karena institusi pendidikan adalah tempat setiap anak mengembangkan kemampuannya. Ketika rasa aman dan nyaman itu tidak ada, bagaimana mereka dapat mengembangkan seluruh potensi yang ada di dalamnya dengan optimal?

Relasi kuasa sebagai salah satu faktor yang turut memperparah langgengnya kekerasan seksual ini menjadi senjata utama bagi para pelaku kekerasan seksual. Kita bisa menilik 2 contoh kasus yang sudah saya sebutkan di atas. Pelaku kekerasan berada dalam posisi yang dominan dibandingkan dengan korbannya, sehingga perbuatan kekerasan seksual menjadi kian mudah untuk dilakukan karena relasi kuasa yang begitu kuat.

Baca juga:

Dogmatisme yang melekat pada institusi keagamaan juga turut memperparah citra dan kebiasaan dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Doktrin keagamaan seringkali dijadikan dagangan laris maris untuk membuat korban merasa berada pada posisi yang subordinat sehingga mereka terjebak dalam pusaran setan kekerasan seksual. Ini sebenarnya yang kemudian dapat memberikan citra buruk terhadap ajaran agama itu sendiri, karena pelakunya adalah pemuka agama atau pimpinan tertinggi dari institusi terkait.

Dominasi laki-laki dalam konstruksi sosial juga kerapkali menempatkan laki-laki sebagai subjek pemegang kedudukan atau kekuasaan terhadap objek. Sedangkan perempuan menempati kedudukan sebagai orang lain atau bahkan hanya menjadi objek dan bukan subjek. Kondisi inilah yang membuat para pemimpin pondok pesantren, dalam hal ini laki-laki, kerap menggunakan kekuasaan dominannya untuk mendiskriminasi perempuan. Mereka berlindung dibalik ayat-ayat kitab suci sebagai legitimasi kekuasaan berlebih mereka.

Subchi merupakan seorang guru/wakil rektor di Pesantren Shiddiqiyyah dan memiliki usaha di lembaga pendidikan tersebut. Sementara korban adalah santriwati yang belajar di ponpes itu dan hendak melamar pekerjaan di tempat usahanya. Selain itu, ayah pelaku juga merupakan pengasuh ponpes. Ini semua adalah wujud nyata dari relasi kuasa yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Maka, rantai setan ini perlu kita putuskan sebelum memakan korban lebih banyak lagi.

Dalam film Bid’ah sebenarnya kita dapat mengambil pelajaran bahwa relasi kuasa dalam institusi pendidikan berbasis keagamaan justru lebih mengerikan. Pelaku berlindung di balik jubah keagamaan dan dogmatisme yang mereka tanam pada murid-muridnya. Pelanggengan terhadap kekerasan berbasis gender itu menjadi peluang pelaku kekerasan seksual melancarkan kejahatannya.

Realitas kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan kita khususnya yang berbasis keagamaan menjadi momok menyeramkan dari berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi. Fenomena gunung es ini kerapkali membuat kita semua tercengang. Di mana lagi kita bisa percaya bahwa masih ada ruang aman dan nyaman untuk menuntut ilmu?

Bingkai dogmatik kerapkali memperparah keadaan sehingga kita berada pada posisi yang sulit karena ajaran tentang keyakinan agama atau kepercayaan yang tidak boleh dipersoalkan. Dalam hal ini tidak terdapat ruang akademik yang bebas untuk mengutarakan isi pikiran karena doktrin menjadi alat utama dalam proses pendidikan tersebut.

Dari film Bid’ah realitas kekerasan seksual dalam bingkai dogmatik adalah kasus yang sangat dibutuhkan kehati-hatian baik itu dalam mencegah maupun penanganannya. Dibutuhkan prespektif adil gender dalam mengaruni lautan kekerasan seksual khususnya di institusi pendidikan berbasis keagamaan semata-mata untuk memberikan peringatan serta edukasi yang informatif mengenai konsep adil gender. Pisau analisis feminisme kurikulum adil gender sangatlah dibutuhkan untuk mematahkan dogma-dogma yang digunakan untuk memanipulasi dan mendiskriminasi perempuan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

agnes Monica

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email