Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh DPR RI bukan sekadar perubahan legislasi, melainkan lonceng kemunduran bagi cita-cita reformasi. Rapat Paripurna yang digelar di Gedung Nusantara II, Jakarta, pada Kamis (20/3/2025), mengesahkan revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang membawa tiga perubahan krusial: perluasan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Pasal 7, pelonggaran penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dalam Pasal 47, serta perpanjangan masa dinas prajurit dalam Pasal 53 (Kompas, 2025). Lebih dari sekadar revisi administratif, kebijakan ini membuka kembali celah bagi militerisme dalam ruang-ruang sipil, mengaburkan batas antara kekuasaan militer dan supremasi sipil yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi.
Namun, dampaknya tak hanya soal politik dan tata kelola pemerintahan. Sejarah mencatat bahwa kembalinya militerisme sering kali membawa dampak paling pedih bagi kelompok yang paling rentan—perempuan. Di balik dalih stabilitas dan ketahanan nasional, ada jejak panjang represi yang menjadikan tubuh perempuan sebagai arena dominasi negara. Dengan menghidupkan kembali ruang bagi keterlibatan militer dalam kehidupan sipil, revisi UU TNI ini berisiko memperpanjang siklus kekerasan dan ketidakadilan yang bersembunyi di balik seragam dan simbol-simbol kekuasaan.
Militerisme dan Ingatan Kelam Perempuan
Sejarah Indonesia berkali-kali menunjukkan bahwa setiap kali militer diberi ruang lebih luas dalam politik dan pemerintahan, perempuan menjadi korban utama. Di era Orde Baru, militer bukan hanya alat represi politik, tetapi juga instrumen kekerasan sistematis terhadap perempuan. Kasus Marsinah pada 1993 menjadi simbol bisu dari kenyataan ini: seorang buruh perempuan yang dibunuh setelah memimpin pemogokan menuntut hak buruh. Jejak militer dalam tragedi tersebut menegaskan bagaimana kekuasaan yang tak terkendali dapat membungkam perlawanan dengan darah.
Baca juga:
Lebih besar dari itu, Aceh menyimpan catatan kelam dari operasi militer yang berlangsung selama hampir dua dekade (1989–2005). Laporan demi laporan mengungkap bagaimana pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan seksual menjadi senjata dalam konflik. Gelombang Reformasi 1998 pun tidak luput dari kekejian serupa, dengan perkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa yang hingga kini menyisakan tanda tanya besar: apakah negara sekadar lalai, atau justru membiarkan?
Namun, Kekerasan ini bukan sekadar bayang-bayang masa lalu, tetapi masih berlangsung hingga hari ini. Dalam periode 2020–2024, Komnas Perempuan menerima sedikitnya 190 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan prajurit TNI, baik dalam ranah domestik maupun ruang publik. Tragisnya, meskipun pelanggaran ini tergolong tindak pidana umum, seluruh kasus tetap disidangkan di peradilan militer—sebuah mekanisme yang lebih sering melindungi pelaku daripada memberikan keadilan bagi korban. Korban dan pendampingnya menghadapi berbagai hambatan, baik dalam aspek hukum, struktural, maupun kultural, mulai dari terbatasnya akses informasi hingga proses hukum yang tidak berpihak pada pemulihan mereka.
Selain itu, Komnas Perempuan juga mencatat sepuluh kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam konflik sumber daya alam, agraria, dan tata ruang, dengan prajurit TNI sebagai pihak yang dilaporkan. Perempuan adat, yang kehidupannya sangat bergantung pada tanah dan lingkungan sekitarnya, menjadi kelompok paling rentan terhadap represi dalam konflik-konflik ini. Luka sejarah ini bukan sekadar pengingat kelam, tetapi juga peringatan nyata akan risiko pengulangan jika supremasi sipil kembali dilemahkan. Dengan disahkannya RUU TNI, ancaman itu semakin nyata—dan seperti yang telah terjadi berulang kali, perempuan berisiko kembali menjadi korban utama dalam siklus kekerasan yang lahir dari bangkitnya kembali militerisme.
Kodrat Perempuan: Instrumen Kontrol Negara
Kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan bukan sekadar persoalan keamanan atau politik, tetapi juga tentang bagaimana negara meneguhkan kendalinya atas tubuh dan ruang privat perempuan. Sejarah telah membuktikan bahwa dalam setiap rezim otoriter, perempuan kerap dijadikan objek pengendalian demi kepentingan negara. Program Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu contoh nyata: alih-alih memberikan pilihan, negara justru mengintervensi tubuh perempuan dengan agresif, bahkan melibatkan militer dalam pengawasan pelaksanaannya.
Perempuan yang berani bersuara dan menentang kontrol negara pun kerap dihadapkan pada intimidasi, pelecehan, bahkan pembunuhan. Setiap gerakan perempuan yang mencoba mendobrak narasi negara segera diberangus, sebagaimana terlihat dalam penghancuran Gerwani dan propaganda tentang perempuan yang harus kembali pada “kodratnya” sebagai istri dan ibu. Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara, Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru menjelaskan bagaimana negara membentuk perempuan melalui konsep ibuisme negara—sebuah ideologi yang menempatkan perempuan dalam peran domestik demi kepentingan politik dan ekonomi negara.
Dalam sistem yang berpijak pada militerisme dan paternalistik, negara memanfaatkan ibuisme ini untuk menciptakan citra perempuan ideal—patuh, tunduk, dan tak melawan. Indoktrinasi ini bahkan dilembagakan melalui organisasi seperti Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang menempatkan perempuan sebagai subordinat suami, memastikan bahwa kesetiaan utama mereka bukan kepada diri sendiri, melainkan kepada negara dan institusi patriarki.
Ibuisme Negara: Alat Politik dalam Kendali Militerisme
Sejak Orde Baru, negara telah menggunakan ibuisme sebagai alat kontrol yang efektif. Konsep ini tidak hanya menundukkan perempuan dalam ranah domestik, tetapi juga memastikan bahwa mereka tetap berada dalam kendali negara melalui struktur sosial yang hierarkis. Organisasi seperti Dharma Wanita dan PKK menjadi kendaraan utama dalam melanggengkan gagasan bahwa perempuan harus “ikut suami” dan mengabdi kepada keluarga sebagai kepanjangan tangan negara.
Dharma Wanita, misalnya, bukan hanya organisasi istri pegawai negeri sipil, tetapi juga bagian dari sistem kontrol negara yang bersifat militeristik. Struktur organisasinya mencerminkan hierarki laki-laki dalam birokrasi, di mana istri pejabat otomatis memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan istri pegawai rendahan. Namun, lebih dari sekadar organisasi, Dharma Wanita membawa dampak ideologis yang dalam: ia menginternalisasi gagasan bahwa kesetiaan kepada negara lebih penting daripada kebebasan individu.
Di tingkat desa, PKK berfungsi sebagai alat negara untuk mengontrol perempuan kelas bawah, memastikan bahwa mereka tetap dalam peran domestik dan tidak memiliki ruang untuk bersuara. PKK tidak sekadar mendorong perempuan untuk aktif dalam pembangunan, tetapi juga membentuk mereka menjadi agen negara yang patuh. Dengan dalih “meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan”, negara sebenarnya sedang memobilisasi perempuan untuk kepentingannya sendiri, memastikan bahwa struktur sosial yang ada tetap menopang kekuasaan negara.
Kombinasi antara ibuisme negara dan kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan menciptakan ancaman serius bagi perempuan Indonesia. Bukan hanya dalam bentuk represi politik, tetapi juga dalam kontrol atas tubuh, pikiran, dan kebebasan perempuan. Pengesahan RUU TNI, dengan segala implikasinya, bukan sekadar ancaman bagi demokrasi, tetapi juga bagi perempuan yang selama ini telah menjadi korban dari sistem yang menindas.
Demokrasi yang Rawan, Perempuan yang Terancam
Sejarah telah memberi pelajaran bahwa militerisme dan kontrol negara atas perempuan berjalan beriringan. Dari penghancuran Gerwani, pembunuhan Marsinah, hingga perkosaan massal 1998, negara selalu menggunakan kekuasaan represifnya untuk membungkam perempuan. Kini, dengan disahkannya RUU TNI, kita kembali dihadapkan pada ancaman yang sama.
Baca juga:
Jika kita tidak bersuara dan melawan, maka bukan tidak mungkin sejarah kelam itu akan terulang. Perempuan akan terus dikekang dalam ideologi ibuisme, dianggap sekadar pelengkap dalam keluarga dan negara, serta kehilangan haknya untuk bebas berpikir dan bertindak. Reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata akan tergerus, digantikan oleh bayang-bayang otoritarianisme yang kembali menancapkan kukunya.
RUU TNI bukan sekadar produk hukum, tetapi sebuah pengingat bahwa demokrasi dan kebebasan tidak pernah diberikan begitu saja. Ia harus diperjuangkan. Sebab, ketika militer kembali masuk ke dalam ranah sipil, yang paling pertama dikorbankan adalah mereka yang paling rentan: perempuan. (*)
Editor: Kukuh Basuki