Dalam slogan-slogannya di media sosial, Polri Polri membangun narasi sebagai lembaga humanis: pelindung masyarakat, pengayom rakyat, dan representasi hukum yang adil. Namun, ketika berhadapan dengan demonstrasi sipil seperti protes mahasiswa dan gerakan buruh, wajah lain Polri muncul: penuh kekerasan dan represif. Polri juga intoleran terhadap kritik. Kontradiksi ini tentu mengundang pertanyaan: benarkah Polri humanis? Atau Polri hanya menyajikan humanisme palsu?
Erich Fromm, dalam karya monumentalnya Escape from Freedom (1941), menyuguhkan argumen bahwa manusia modern justru kerap melarikan diri dari kebebasan, alih-alih merayakannya. Fromm menggambarkan kebebasan bukan sebagai sebuah hal yang mutlak, tetapi sebagai kondisi psikologis yang rumit: manusia modern telah kehilangan keterikatan tradisional—salah satunya agama—tapi belum menemukan pengganti yang bermakna. Akibatnya, kebebasan yang seharusnya memerdekakan justru menciptakan kecemasan, keterasingan, dan kerinduan terhadap otoritas baru, yang tampak hadir dalam bentuk negara modern dan lembaga-lembaga otoriternya.
Polri (Kepolisian Republik Indonesia), sebagai salah satu representasi otoritas negara, menunjukkan gejala menarik dari tesis Fromm tersebut.
Membaca Wajah Polri yang Sesungguhnya
Fromm menjelaskan bahwa salah satu bentuk pelarian dari kebebasan adalah otoritarianisme, yaitu kecenderungan manusia untuk menyerahkan kebebasan pribadinya kepada kekuasaan eksternal. Polri, dalam konteks ini, bukan hanya institusi hukum, tetapi juga aktor dalam psikologi sosial yang menciptakan dan memelihara ketundukan.
Ketika negara menghadirkan kekerasan sebagai mekanisme respons terhadap suara rakyat, itu adalah bentuk pelarian institusional dari kebebasan rakyat. Negara tidak siap menghadapi individu atau kelompok yang otonom secara politik dan moral, sehingga memilih represi sebagai jalan aman untuk mempertahankan stabilitas semu.
Baca juga:
Humanisme palsu—istilah yang dapat dipinjam dari membaca Fromm—adalah kondisi ketika kasih dan perlindungan yang ditawarkan oleh negara bersifat instrumental, bukan autentik. Dalam Escape from Freedom, Fromm menjelaskan bahwa cinta sejati adalah ekspresi kebebasan individu yang matang.
Sebaliknya, pseudo-love atau cinta yang palsu adalah bentuk cinta yang lahir dari ketergantungan dan rasa takut. Ketika negara mencintai rakyat hanya sejauh mereka patuh, cinta itu bukanlah kasih, tetapi alat kekuasaan. Polri sering menunjukkan cinta semacam ini: ia melindungi masyarakat yang tidak bersuara, tetapi membungkam yang bersuara.
Peristiwa kekerasan terhadap demonstran adalah titik kulminasi dari humanisme palsu itu. Penggunaan gas air mata, pemukulan, penanangkapan massal, bahkan kriminalisasi para pendem menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi tidak mendapat tempat dalam struktur negara.
Sementara itu, melalui media sosialya, Polri mengaku humanis dalam menangani aksi demonstrasi. Negara, melalui institusi Polri ini, seperti dijelaskan Fromm, tidak membenci kebebasan karena ideologinya, tetapi karena kebebasan memicu ketidakpastian. Persis logika otoriter; keteraturan lebih penting daripada keberagaman suara.
Komunikasi Afektif dan Populisme Digital
Dari kacamata John Fiske, komunikasi dapat dipahami bukan sekadar sebagai proses penyampaian pesan, tetapi sebagai praktik budaya yang penuh makna dan diproduksi dalam konteks sosial tertentu. Dalam kerangka ini, komunikasi afektif yang dilakukan Polri melalui media sosial menjadi semacam produksi makna yang ditujukan untuk menciptakan representasi institusi yang humanis dan dekat dengan rakyat.
Konten-konten yang menggambarkan polisi membantu warga, memberikan edukasi, atau bersikap empatik, tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menciptakan narasi simbolik tentang peran ideal polisi sebagai pelayan masyarakat. Media sosial, dalam hal ini, menjadi ruang produksi budaya di mana citra Polri dibentuk dan dimaknai oleh publik.
Fiske juga menekankan bahwa makna tidak bersifat tunggal dan stabil; ia selalu dinegosiasikan oleh audiens dalam berbagai konteks. Ketika publik menyaksikan tindakan represif Polri dalam menghadapi demonstrasi—misalnya pemukulan massa aksi, penangkapan paksa, atau penggunaan kekuatan berlebih (abusive)—maka makna yang sebelumnya dibentuk melalui media sosial menjadi nihil.
Publik tentu tidak hanya menerima begitu saja citra humanis yang ditawarkan, melainkan membandingkannya dengan pengalaman dan observasi nyata mereka. Di sinilah terjadi pergesekan antara kode dominan yang coba dikomunikasikan institusi dan kode oposisi dari publik yang menginterpretasikan realitas berbeda.
Tampaklah populisme digital; representasi Polri di media sosial bisa dilihat sebagai bagian dari upaya mengonsolidasikan kekuasaan simbolik melalui estetika yang populer dan emosional. Fiske menyatakan bahwa media populer sering menjadi arena pertarungan makna antara kekuasaan dan resistensi.
Maka dari itu, ketika Polri menggunakan argumen humanisme dalam kampanye digitalnya tetapi tetap melakukan kekerasan di lapangan, terjadi disonansi simbolik yang memancing resistensi makna dari publik.
Dengan demikian, komunikasi afektif Polri tidak hanya menjadi strategi hubungan masyarakat, tetapi juga bagian dari medan budaya yang terus-menerus dipertarungkan antara citra yang diinginkan dan realitas yang ada.
Senada dengan Fiske, Stanley Deetz juga menyatakan bahwa Komunikasi bukan sekadar proses menyampaikan informasi, melainkan juga merupakan praktik pembentukan makna dan kekuasaan. Struktur vertikal kaku, seperti yang ditemukan dalam institusi Polri, menunjukkan bagaimana perintah dari atas harus dilaksanakan tanpa banyak ruang negosiasi di bawah. Hal ini menghasilkan budaya komando, bukan budaya diskusi. Dalam struktur seperti itu, nilai-nilai humanisme cenderung direduksi menjadi prosedur administratif belaka, bukan sebagai refleksi etis yang hidup.
Baca juga:
Komunikasi publik Polri, sebagaimana dapat ditelaah melalui lensa komunikasi politik, kerap menggunakan strategi simbolik untuk membentuk citra. Media sosial menjadi alat baru bagi Polri untuk membangun hubungan dengan masyarakat. Namun, relasi ini tidak bersifat timbal balik. Tidak ada ruang sejati bagi kritik publik untuk direspons secara struktural.
Yang terjadi justru sebaliknya, sekadar manajemen wacana dengan membentuk opini publik melalui narasi ganda yang beracun, bahwa Polri pengayom pengayom rakyat, sekaligus sebagai penegak ketertiban yang tak mau diganggu. Ini adalah bentuk dominasi simbolik sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu, di mana kekuasaan menginternalisasi norma kepada publik melalui bahasa yang tampak netral, namun sesungguhnya hegemonik.
Hal ini mempertegas pula argumen Cheris Kramarae. Dari perspektif Muted Group Theory-nya, kelompok minor (demonstran) adalah kelompok yang dibungkam secara epistemik. Mereka memiliki pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai alternatif, tetapi seolah tidak memiliki bahasa yang bisa diterima dalam sistem komunikasi pemerintah.
Suara mereka dianggap bising dan bukan wacana. Dalam dunia komunikasi yang dikendalikan institusi, hanya narasi resmi yang diberi legitimasi. Maka dari itu, represi bukan hanya tindakan fisik, tetapi penghapusan kapasitas bicara. Demonstrasi bukan semata urusan jalanan, tetapi perjuangan merebut ruang representasi simbolik. Hal tak kasat mata seperti itu menjadi persoalan demokrasi kita.
Dalam masyarakat seperti ini, kesadaran kritis dianggap gangguan. Aparat hukum hadir seolah bukan untuk membebaskan rakyat, tetapi untuk melatih mereka agar patuh. Polri dalam masyarakat seperti ini tidak menjadi alat keadilan, tetapi perpanjangan tangan dari ketakutan sistem yang kontradiktif terhadap kebebasan rakyat dalam negara demokrasi.
Reformasi Polri menjadi hal yang mendesak. Fromm mengingatkan bahwa kebebasan sejati hanya mungkin dicapai ketika individu mampu mengembangkan keberanian untuk menjadi diri sendiri, dan masyarakat menyediakan struktur yang mendukung aktualisasi diri tersebut.
Dalam konteks Polri, ini berarti membangun sistem komunikasi internal yang memungkinkan diskursus horizontal—di mana anggota tidak hanya menerima perintah, tetapi juga berhak mengkritik, berdiskusi, dan menolak jika diperlukan. Secara eksternal, ini berarti mendesain ulang cara Polri berinteraksi dengan masyarakat: bukan sebagai instruktur sosial, tetapi sebagai mitra diskusi.
Demokrasi memang riuh, tapi kita telah memilihnya. Pemerintah melalui Polri bisa belajar membangun komunikasi dialogis, sebagaimana diusulkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed. Dalam model ini, aparat tidak lagi memosisikan diri sebagai subjek yang mengajar rakyat, tetapi sebagai peserta dalam proses pembelajaran bersama.
Demonstrasi tidak dilihat sebagai ancaman, tetapi sebagai ekspresi demokrasi. Kritik seyogianya tak dianggap subversif, tetapi sebagai masukan yang membangun. Hanya dalam struktur komunikasi seperti ini, humanisme yang kerap digencarkan Polri bisa terwujud. Bukan sebagai topeng kekuasaan, tetapi sebagai dasar etika interaksi.
Editor: Prihandini N