Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Mengenal Al-Ghazali

Salman Akif Faylasuf

4 min read

Sosok Al-Ghazali penganggit kitab Ihya’ Ulumuddin yang masyhur itu bisa dilihat dengan berbagai sudut pandang. Pada diri Al-Ghazali kita jumpai pelbagai ragam “profil” yang kompleks. Lebih penting dari itu, Al-Ghazali merupakan satu contoh yang mewakili model keulamaan dan intelektualitas dalam sejarah Islam di masa lampau. Sosoknya bisa dijadikan inspirasi bagi para kiai, sarjana, intelektual, dan cendekiawan di era modern.

Baca juga:

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan pada 450 H (1058 M). Ayahnya bekerja sebagai pembuat pakaian dari bulu wol dan menjualnya di pasar Thusia.

Sebelum meninggal, ayah Al-Ghazali berpetuah kepada seorang ahli tasawuf temannya supaya mengasuh dan mendidik Al-Ghazali dan adiknya Ahmad. Sepeninggal ayahnya, hiduplah Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawuf itu. Warisan yang diterimanya sedikit sekali. Ayahnya—seorang miskin yang jujur—hidup dari usaha sendiri. Beliau selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa, dan memberi bantuan kepada mereka.

Ketika mendengar uraian para alim ulama itu, ayah Al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya memohon kepada Allah SWT kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu. Pada masa kecilnya, Al-Ghazali mempelajari ilmu fikih dari Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian, ia pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili.

Setelahnya, berangkatlah Al-Ghazali ke negeri Nisapur untuk belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu. Sebut saja ilmu mantik (logika), falsafah, dan fikih mazhab Syafi’i. Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan, “Al-Ghazali itu lautan tak bertepi.”

Sepeninggal Imam Al-Haramain, Al-Ghazali terus berangkat ke Al-Askar mengunjungi Menteri Nizamul-muluk dari pemerintahan Dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar.

Para alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan di sana mengakui ketinggian dan keahlian Al-Ghazali. Pada tahun 484 H, Menteri Nizamul-muluk melantik Al-Ghazali menjadi guru besar di Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di Kota Baghdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa ketika ia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.

Pada tahun 488 H, Al-Ghazali pergi ke Mekah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Setelah selesai mengerjakan haji, ia melanjutkan perjalanan ke negeri Syam (Suriah) untuk mengunjungi Baitul-Maqdis. Kemudian, ia ke Damaskus dan menetap di sana sembari beribadah di masjid Al-Umawi. Daerah dekat masjid ini sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah, diambil dari nama ulama besar itu.

Pada masa itulah Al-Ghazali menuis kitab Ihya’ Ulumuddin. Kehidupannya amat sederhana. Ia berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, memperbanyak ibadah, serta melatih diri menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan yang Maha Esa.

Ia lalu kembali ke Baghdad untuk mengadakan majelis pengajaran guna menerangkan isi dan maksud dari kitabnya, Ihya’. Tak lama sesudah itu, ia berangkat lagi ke Nisapur dan mengajar sebentar di Perguruan Nizamiyah Nisapur. Sekembalinya ke kampung asalnya, Thusia, ia mendirikan sebuah madrasah untuk ulama-ulama fikih dan sebuah pondok untuk kaum sufi di samping rumahnya.

Waktunya dipergunakan untuk membaca Al-Qur’an, mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, memberi pelajaran kepada para murid, mendirikan salat, dan ibadah-ibadah lain. Cara hidup ini diteruskan sampai akhir hayatnya. Al-Ghazali meninggal dunia secara husnul khatimah pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M) di Thusia.

Jenazahnya dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal, Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon, seorang filsuf Inggris, “Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku di lipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa depan.”

la meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh umat Islam maupun cendekiawan secara umum berupa karangan-karangan yang berjumlah hampir 100 buah banyaknya. Salah satunya adalah kitab Ihya’ yang terdiri dari empat jilid besar. Di kalangan pembelajar agama Islam, tak ada yang tak mengenal kitab Ihya’ Ulumuddin, bacaan wajib tentang akhlak.

Di Barat, dua karyanya, kitab Maqashid al-Falasifah (Maksudnya Ahli-Ahli Falsafah) dan kitab Tahafut al-Falasifah (Kesesatan Ahli-Ahli Falsafah) sangat fenomenal sampai-sampai menyebabkan pecah perang pena antar ahli-ahli filsafat. Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam ilmu falsafah, mantik, metafisika, dan fisika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke-12 M.

Kitab kedua memberi kritik yang tajam terhadap sistem filsafat yang telah diterangkannya satu per satu dalam kitab pertama tadi. Al-Ghazali menerangkan dalam kitab yang kedua bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama ialah untuk mengumpulkan lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca yang nantinya akan dikritiknya satu per satu dalam kitab yang kedua.

Beberapa puluh tahun kemudian, lahirlah Ibnu Rusyd (1126-1198) di Andalusia yang bergelar Filsuf Cordova. Dia membantah pendirian Al-Ghazali dalam hal filsafat itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya Tahafut al-Tahafut Falasifah (Kesesatan Buku Tahafutul-Falasifah).

Di buku ini, Ibnu Rusyd menjelaskan kesalahpahaman Al-Ghazali dalam mengartikan apa yang dinamakan filsafat dan pokok-pokok pelajaran filsafat. Hadirnya Ibnu Rusyd menambah dinamika keilmuan Islam; yang satu menyerang dan menghancurkan filsafat, yang satu lagi mempertahankan filsafat itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia pemikiran umat Islam.

Kitab Tahafut al-Falasifah hadir ke tengah-tengah umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Alhadil, karangan Ibnu Rusyd seakan menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasanya Al-Ghazali. Tidak keliru kiranya untuk mengatakan bahwa pemikiran Al-Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang.

Sebagai filsuf, Al-Ghazali mengikuti aliran atau mazhab Hissiyat, yang artinya mazhab perasaan. Sejalan dengan Al-Ghazali, ada pemikiran filsuf Inggris, David Hume (1711-1776), yang mengemukakan bahwa perasaan adalah alat yang terpenting dalam filsafat. Kala itu, Hume menentang aliran rasionalisme yang semata-mata berdasar pada pemeriksaan pancaindra dan akal manusia.

Al-Ghazali berargumen bahwa perasaan (hissiyat) itu boleh keliru, tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dua hal itu tidak akan dapat mencapai kebenaran yang sempurna apabila hanya berdiri sendiri, pun tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semau-maunya saja. Kemudian, Al-Ghazali menyarankan kembali pada dharuriat atau aksioma sebagai hakim bagi akal dan perasaan, serta kepada hidayah yang datang dari Allah SWT.

Al-Ghazali tak kurang mengupas filsafat Sokrates dan Aristoteles, serta memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji dibandingkan dengan karangan-karangan filsuf yang lain. Pemikirannya begitu tajam. Ia pun begitu rendah hati, tidak enggan berkata wallahu a’lam.

Di zaman Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli fikih. Kiprah Al-Ghazali termasuk pula merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Semasa hidupnya maupun sesudah wafatnya, Al-Ghazali mendapat teman sepaham, juga lawan yang menentang pendiriannya. Yang tidak sepaham antara lain Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan banyak lagi dari golongan ahli fikih. Di Barat, Al-Ghazali menginspirasi filsuf-filsuf seperti Renan, Casanova, Carra de Vaux, dan lain-lain.

Tulisan lain oleh Salman Akif Faylasuf:

Seorang ahli ketimuran Inggris bernama Dr. Zwemmer pernah memasukkan Al-Ghazali sebagai salah seorang dari empat orang pilihan kalangan Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang. Keempat orang tersebut adalah Nabi Besar Muhammad SAW, Imam-Al-Bukhari sang ulama hadis yang terbesar, Imam-Al-Asy’ari sang ulama tauhid yang termasyhur, dan Imam-Al-Ghazali sang pengarang Ihya’ Ulumuddin yang terkenal. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Editor: Emma Amelia

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email