Jauh sebelum ide tentang konsumerisme menjadi candu pada tahun 1990-an, Chairil Anwar sudah menggambarkan gejala tersebut melalui sajaknya:
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Chairil Anwar tentu bukan seorang komunis layaknya Stalin atau Lenin yang membenci kapitalis sampai ke ubun-ubun. Ia individualis dan penganut pesimisme akut. Di waktu dan suasana tertentu, Chairil mampu menangkap realitas yang sedang berkembang di sekelilingnya.
Konsumerisme yang Memabukkan
Lewat penggalan ”bahagia sekarang”, Chairil seakan mengingatkan ilusi kapitalisme pascakemerdekaan yang menawarkan sugesti bahwa hidup dimaknai dari apa yang dikonsumsi, bukan yang dihasilkan. Menurut Martin Buber, telah terjadi kesalahpahaman di antara manusia. Mereka tak lagi berdiri sebagai neighbour, melainkan sebagai stranger. Manusia tanpa sadar sedang mengarah ke jurang pusaran konsumerisme yang memabukkan.
“Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic”, gaya hidup merupakan sesuatu yang diciptakan, dijiplak, kemudian didaur ulang sehingga dapat digunakan manusia, terutama masyarakat yang berada di dunia konsumsi. Untuk mendefinisikan individu, kita dapat melihat bagaimana orang itu mengonsumsi barang atau jasa. Dalam Derai-derai Cemara (1999), Asrul Sani menyebut Chairil kerap pergi ke pesta, bergaul dengan anak-anak Indo dan nongkrong di tempat-tempat para pelajar sekolah Belanda biasa berkumpul. Salah satunya Toko Artic yang menjual es krim di Jalan Kramat Raya.
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Dalam The Killing Fields, sutradara Rolland Joffe menggambarkan kekalahan rezim Lon Nol dengan satu adegan: jatuhnya tumpukan botol Coca-Cola di markas terakhir pasukan boneka AS itu. Nampaknya Chairil memperkirakan Coca-Cola yang merupakan produk kapitalis Barat dapat menjadi teman sekaligus lawan pada masa itu.
Baca juga:
“kuhiasi dengan susu + coca cola.” Coca-Cola terus menambah jumlah produksinya di bawah bendera The Indonesia Bottles Ltd Nv (IBL), perusahaan nasional yang didirikan oleh TH Ticoalu, Tatang Nana, dan Harry Handojo. Cukup mengejutkan memang, pada sekitar tahun 1947 Chairil Anwar sudah memasukkan produk yang dikonsumsi sehari-hari dalam sebuah karya puisinya. Seperti yang kita tahu, tren tersebut baru meluas sekitar tahun 1960-an ketika Andy Warhol memamerkan lukisan kaleng sup dengan merk Campbell yang sampai sekarang menjadi ikon seni yang disebut” Pop” tersebut.
Di Indonesia sendiri, khazanah sastra baru menemukan “celana” yang dimasukkan Joko Pinurbo pada unsur karya puisinya pada akhir tahun 1990-an. Nampaknya sastrawan Angkatan’45 lain waktu itu belum terlalu ngeh untuk memasukkan sebuah produk kapitalis dalam karya mereka. Tapi Chairil Anwar nampak betul merasakan perubahan di tengah masyarakat yang baru membangun kembali peradaban dalam landasan “modernisme global”. Seperti kepala dan buntut ular, di mana “modernisme” hadir, maka “kapitalisme” akan selalu mengikutinya dari belakang. Dan di mana “kapitalisme” merajai suatu wilayah, niscaya “konsumerisme” menjadi candu di tengah masyarakat. Mungkinkah akan “kita hentikan jam berdetik”?
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
– ketika kita bersepeda kuantar kau pulang –
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Tuti dalam puisi tersebut nampaknya seorang wanita yang edgy (istilah anak zaman milenial bagi seorang yang gaul dan mengikuti perkembangan zamannya). Waktu itu dan usianya jauh lebih muda di bawah Chairil “Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,”. Anak muda yang lingkup pergaulannya berada di lingkungan konsumtif, tidak menutup kemungkinan akan memiliki sifat konsumtif pula. Mereka akan mengikuti gaya, penampilan, maupun hal lain agar tidak kalah dengan teman di lingkungan pergaulannya. Jika kita mau menggambarkanya dengan situasi saat ini, mungkin akan seperti para ABG yang harus selalu up to date terhadap ragam goyangan yang sedang merajai TikTok.
Mewabah di Negara Dunia Ketiga
Konsumerisme bagi Chairil bagai urusan mengejar langit di atas langit; “Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang”. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani. Pada satu sisi, konsumsi memang bersifat mutlak. Keberlangsungan hidup manusia tidak bisa terlepas dari asupan pangan yang mereka nikmati. Peningkatan intensitas kebutuhan komoditas konsumsi secara rasio memang berkorelasi positif dengan pertumbuhan jumlah manusia.
Maslow dalam teori piramida kebutuhan mengemukakan bahwa kebutuhan manusia secara berurut meliputi: kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan), kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, kebutuhan rasa aman, serta kebutuhan akan status sosial.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali
bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.Aku juga seprti kau,semua lekas berlalu
Aku dan Tuti+Greet+Amoi…hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
Dalam beberapa penelitian, konsumerisme ini cenderung mewabah di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Doktrin yang berlaku di masyarakat kita seakan-akan mengharuskan setiap warga negara dunia dicetak menjadi kelas pekerja. Kelas pekerja ini tidak punya kemampuan memproduksi, mereka hanya ahli dalam membeli atau mengonsumsi “Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;”
Dalam sajak ini, entah Chairil Anwar hendak memperingatkan masyarakat Indonesia akan dampak merugikan konsumerisme yang “tidak kenal tahu: Sorga hanya permainan sebentar”, atau mungkin ia sendiri sudah terjebak dalam arus konsumerisme bagaikan ia terjebak cinta Tuti hingga pada akhirnya menuai “…Bahaya yang lekas jadi pudar”. Apakah mungkin bahaya itu akan segera pudar? Atau malah justru menjalar seperti kanker yang menggerogoti aspek moral kemanusiaan?