Mata Ibu
ruang tunggu
di depan kamar operasi
terasa begitu kaku
seperti kaki keram kesemutan
pandangan kelabu
bau obat dan darah beku
yang menguar terasa anyir
serupa luka yang selama ini
terbenam dan membusuk
di dadamu;
alangkah puitisnya-estetisnya
bila malam ini hujan turun
dengan deras lebatnya
menggenangi mataku
sedang mata ibu telah sayu
mata ibu—di kelopaknya telah tumbuh lampu-lampu temaram
yang tak seterang bulan, sebab dalam dirinya terpelihara ketakmengertian
“ibu, orang yang kuat, tapi mengapa
anak perempuannya berhati lemah?”
mudah sakit, mudah tenggelam
ibu kebingungan, sedang anak perempuannya telah menjelma
menjadi pagi yang pucat
dan bergemuruh
hampir runtuh.
–
Sudah Dua Hari Ini Mendung*
usianya sudah hampir tujuh puluh
tapi Pak Tua itu selalu terlihat menyebalkan
ia pemarah, dan suka sekali mengumpat keras-keras
tiap sore, dia akan menyirami tanaman sambil memaki siapapun yang lewat di depan pagar rumahnya
anak SD yang baru pulang sekolah, tukang bakso keliling, tetangganya sendiri yang hendak ke langgar, dan juga aku yang tiap pukul lima selalu melintasi rumahnya yang rindang dan berpagar kayu
lalu sudah dua hari ini, Pak Tua itu tak lagi menyirami tanaman
ketika kutanya tetangganya yang setiap ashar melewati rumah Pak Tua, ia bilang laki-laki itu sedang sakit dan tadi pagi mereka berpapasan ketika Pak Tua hendak berobat
dua hari berikutnya, sebuah pemandangan ganjil membuatku tersentak
tiap pagi Pak Tua akan duduk di teras seorang diri
di depannya terdapat sebuah meja kecil
dua cangkir keramik ditaruh di atasnya
dan asap kecil mengepul samar-samar
menerpa wajahnya yang tertunduk dalam,
bahunya bergetar naik-turun, perlu lima detik untukku menyadari bahwa ia tengah menangis
baru kutahu dari ibu, Pak Tua selama ini hidup sendiri di rumahnya yang seperti hutan hujan tropis, istrinya meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan,
kaki Pak Tua pincang dan di pelipis matanya terdapat luka sobek bekas sayatan kaca mobil,
tiga anak dewasanya telah menikah dan hanya berkunjung ketika hari raya
ibu bilang, dulu Pak Tua adalah tetangga yang ramah dan suka sekali tersenyum,
setiap sore dia akan menyirami tanaman sementara istrinya akan menyapu halaman sambil menyetel lagu-lagu dangdut
siapapun yang lewat di depan mereka akan disapanya dengan senyum lebar dan celetukan-celetukan lucu
tapi pagi itu, Pak Tua tampak begitu lelah dan merana
begitu suram dan begitu sedih
begitu sepi dan begitu menyesal
dari jauh, kulihat lekat matanya yang sayu dan tergenang
bukankah ia terlalu tua untuk mengalami kesakitan-kesakitan yang seperti itu?
bukankah ia sudah terlalu menderita untuk mengalami perasaan-perasaan bersalah yang seperti itu?
Pak Tua tak pernah memaki lagi, hari-hari selanjutnya ia selalu duduk di kursinya sampai matahari naik sepenggal, beberapa tanaman telah kering dan membusuk, dua cangkir itu tak pernah disingkirkannya dari meja, dan diam-diam aku mulai takut kalau dia akan tenggelam.
*puisi ini terinspirasi dari lagu Gardika Gigih dengan judul yang sama (pranala: https://www.youtube.com/watch?v=QMNVXJeYQV4).
–
Lily Putih
nenek sudah hidup selama 80 tahun lebih
tapi tiap kali mendengar derap langkah mirip sepatu lars
ia selalu gemetar dan bergeming beberapa saat
pandangan matanya buyar dan ia akan kesulitan bernapas
katanya, Jepang membawanya ketika ia tengah berlatih paduan suara bersama teman-temannya
nenek pandai nembang, dia hafal semua bait macapat
dia juga suka mengumpat, tapi aku tau dia orang yang sangat baik
“apa nenek pernah berpikir untuk bunuh diri?”
aku masih sakit kepala dan mual saat memimpikan hari itu,
hatiku hancur tapi nenek masih sempat tersenyum dengan mata keriputnya yang sayu
ia lalu bicara sambil menggenggam tanganku erat,
katanya, sambil berbisik, “hidup sebagai penyintas adalah hidup yang sangat sepi.”
kini nenek sudah berbaring tenang di pusaranya
tiap kamis sore aku akan mampir dan mencabuti daun-daun kering
menaruh lily segar di atasnya, bunga kesukaan nenek
sambil pelan-pelan merapalkan ancaman,
Tuhan harus menyembuhkan semua luka dan trauma nenek
sebab nenek begitu tua, begitu tirus, begitu pucat
sebab mengingat nenek adalah mengingat penderitaan
sebab mengingat nenek adalah mengingat betapa gelap dan menyakitkannya itu semua.
–
Eyang Putri
2006 ketika wanita itu meninggal
aku ingat malah bersembunyi di ruang tengah dan mencoba mencerna segala sesuatunya dengan kebingungan-kebingungan
mengapa orang yang barusan kutemani kemarin sore bisa tiba-tiba diam dan membeku?
mengapa sorot mata lembut dan berkilau bagai bulan sabit itu bisa tiba-tiba tenggelam dan memudar?
di wajahnya kulihat ada ketenangan sayu yang membuatku tertegun,
pernahkah ia merasa begitu kesepian di sisa hidupnya selama ini?
mengapa dengan melihatnya aku juga jadi melihat diriku sendiri?
bapak selalu berkata, aku adalah jelmaan dari wujud ibunya ketika usia muda
setiap kali melihatku, bapak seperti melihat kehidupan ibunya yang terputar seperti kaset film
pedahal di antara kami, terbentang jarak generasi yang begitu panjang, begitu asing
wanita tua itu bijaksana dan penuh kasih
sementara aku begitu kecil dan mudah sekali menangis
wanita itu selalu nampak tenang dan tak banyak merasa cemas
sedang aku selalu terburu-buru dan menolak berumur panjang
di kehidupannya yang lalu, wanita tua itu pastilah telah tumbuh dan bersemi
sedang aku tak pernah berhenti berpikir soal bagaimana jika tak dilahirkan
kini, aku hampir melupakan suara asli wanita itu ketika ia bicara
yang masih terus membekas hingga kini adalah bau pakaian tua-nya
pakaian sifon setel warna-warni yang masih tersimpan di lemari ruang tamu
serta kertas-kertas foto hasil afdruk yang telah berjamur dan menguning
mungkinkah kalau wanita itu masih hidup,
aku akan tidur menangis di sampingnya
seperti dahulu ketika aku terbangun panik
dan ketakutan karena bermimpi hantu?
mengapa hidup berjalan aneh seperti ini?
sementara bayangan wanita itu masih terngiang di kepalaku,
dan berkas-berkas kenangan masa kecil membaur samar-samar
melintasi pikiran dan berjejal dengan rusuh
di pusara waktu
…
–
Intuisi
percaya atau tidak, tetapi
hidup adalah perlintasan
yang membuatmu berhenti dan berpikir
ke manakah perginya harapan-harapan yang layu dan tak terpupuk?
doa-doa hening yang dirapal pelan di malam tenang yang tak pernah sekalipun mewujud?
hati-hati patah yang tercerai lepas dan membuatnya tak utuh?
barangkali mereka melayang ke langit-langit dan membentuk awan,
sebuah biru yang terang dan membuat hatimu lapang
barangkali mereka ikut hadir di antara sesuatu yang merentang lebar dan tak terjamah ujungnya itu,
menghibur dan menyambut pagimu yang selalu tampak keruh—seperti biasanya
bahkan barangkali mereka mewujud menjadi intuisi yang selama ini bermukim di dalam dirimu,
kata hati-kata hati yang tak pernah berhenti membisikimu:
“selalu ada segala sesuatu yang bisa diserap.”
yang jadi sia-sia itu ternyata selalu bisa dipelihara.
*****
Editor: Moch Aldy MA