Bara Berau
Dulu, saat umurku masih
angka-angka yang tak berat
Aku melihat kapal-kapal besar
membawa gunung hitam di tepian teratai
Manusia bisa memindahkan segalanya, gunung sekalipun
Pak Jupri berkata:
ada sumber daya alam
yang tak bisa diperbarui
batu bara termasuk
tapi kenapa kita diam saja?
Sekarang, ketika umurku angka-angka berat
Aku masih melihat kapal-kapal besar
membawa gunung hitam di tepian teratai
Aku sudah tak dengar lagi kabar Pak Jupri
Ke manakah kapal-kapal itu berlabuh?
Ke manakah umur-umur meringan?
Ke manakah manusia memindahkan segalanya? ke kematian? ke keabadian?
(2022)
–
Sepisau Manusia
setiap hari manusia membawa pisau
mereka selipkan pada kulit
kadang pisau naik ke buah bibir
menyayat badan manusia lain
sepisau manusia berdiri
tajam menukik dan lupa
–
Wajah Samarinda Menjelma Kedai-Kedai Kopi
: Cosugare, Searah, Kaldi, Kael
Samarinda:
hari-hari yang mengejarku
selalu berakhir di kedai kopi
datang dan pergi sesuka hati
datang dan pergi semak hati
tubuhku peta yang retak
kucari rumah-rumah hangat
selain tubuh berselimut cemas
sangkarku berkelana
siang menyongsong perapian
malam kian panjang menerjang dingin
wajah ini api yang aman
membakarku jadi kehangatan
aku selalu berniat
untuk berhenti di malam hari
dan melanggarnya di penghujung sore
aku rela makan mie di rumah
demi segelas kopi
aku butuh kopi dan api
membakarku lebih lama
abu yang tinggal di kepalaku
bermuka kedai-kedai kopi
di dalamnya ada wajah manusia
yang lalu-lalang dan tak bisa kembali
(2022)
–
Teluk Lerong
Samarinda tak punya banyak tempat bersembunyi
kucari walau tak sampai sepuluh jari
kota ini, tak punya banyak tempat
‘tuk melepas anak kecil di tengkorak
maka kuingin rahasiakan
sebuah taman kecil di tepi Teluk Lerong
ia mati dan terus hijau
di sana kukristalkan semua
yang tak bernama
dengan angin meniup hening
anak kecil berlarian melangit terbawa angin
dedaunan warna-warni menyaksikanku mengelupas diri
waktu punya banyak kaki, berlarian ia
menggusur langkahku menuju mati
tiba di hari aku tak lagi mengenalnya
taman ini, dihidupkan warna-warna terang
lampu-lampu dan plang nama taman
semua terasa palsu
dedaunan hanya bisa jadi saksi
aku tak lagi bisa bersembunyi
meneriakkan nama-nama
dan semua yang tak bernama bermuara
kristal-kristal menusukku di tengah kota
dan aku masih belum mati
(2022)
–
Dari Matamu
senyuman telah bercerai berkali-kali
hampa mengawini waktumu yang meleleh
berceceran menyesap binar bola mata
yang sejak dulu tak pandai merekam bahagia
dari matamu,
rumah hanya batang-batang kosong
(2022)
–
Aku Lamin
“because this body is my last address.”
—Ocean Vuong
akan kusajikan rumah
daging-daging ungu
biru gelap pucat
putih kematian
surat-surat berdarah
ambil semua yang menempel pada alamat
biar kupergi dengan bersih
walau mungkin tengkorak
membeberkan nanah yang tak sempat pecah
kesembuhan milikmu para pemburu warna
kau akan tenang di surga
selamanya aku akan cacat
di mata-mata yang mengalienasi cahaya
selamanya aku akan cacat
di mata-mata pemburu bias cahaya
dan tubuhku mencatat semuanya
kelam
kelamin
ke lamin
amin
(2022)
–
Aku Butuh Waktu, Waktu Bunuh Aku
hidup hari ini:
perihal menyeret kematian
memikul semua busuk di badan
lebam di dadaku masih ungu
mencari warna lain
kurenggut semua nanah
kelak menetas jadi sembuh atau wabah
aku hanya perlu waktuuuuu
tapi waktu memburukuuuuuuuu
terbukalah pintu
pintu lain masih sulit tertutup
di mana aku akan menemukan hirup
aku masih dekat dengan hidup
tapi rasanya semakin redup
kematian membuka kuncupnya satu-satu
membawaku
(2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA