Oktober diawali dengan pita hitam tanda duka cita yang mendalam bagi dunia persepakbolaan Indonesia. Saya bukan maniak sepak bola tetapi bukan berarti tak peduli terhadap tragedi di dunia olahraga yang menyangkut nyawa orang banyak.
Kata ‘Kanjuruhan’ bertengger paling atas dalam topik yang sedang hangat diperbincangkan. Terlihat cuitan paling pertama muncul di layar ponsel adalah rangkaian kalimat yang berisikan jumlah korban jiwa. Kaget bukan main dengan jumlahnya, saya berpikir “apa yang terjadi?”
Satu persatu cuitan memberi saya informasi; kericuhan terjadi pasca pertandingan antar dua klub raksasa Jawa Timur. Semakin banyak informasi yang bertebaran di linimasa twitter, hati terasa sakit dan sesak sesaat mendengar kabar jumlah korban jiwa yang terus bertambah. Sampai tulisan ini selesai ditulis, terkonfirmasi bahwa kerusuhan yang terjadi telah menewaskan lebih dari 120 orang, dan menjadi tragedi yang menelan korban jiwa terbesar kedua dalam sejarah kerusuhan di stadion sepak bola di dunia. Semakin sulit dipercaya melihat ini terjadi dalam ‘ring 1’ yang disebut sebagai kasta tertinggi dalam sistem liga sepak bola profesional di Indonesia.
Laga pamungkas yang digadang-gadang sebagai derbi Jawa Timur ini dihelat di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang hari Sabtu tanggal 1 Oktober 2022, mempertemukan Persebaya dan Arema FC sebagai tuan rumah.
Hasil akhir pertandingan ditutup dengan kemenangan Persebaya melawan Arema FC dengan skor 3-2. Suasana mulai tidak kondusif pasca pertandingan usai. Melansir Metro TV News, sekitar pukul 22.15 WIB polisi menembakkan gas air mata ke berbagai arah termasuk tribun penonton yang tidak ada andil dalam kericuhan. Tindakan yang polisi anggap akan meredakan dan membubarkan kericuhan ini malah membuat suasana semakin tidak dapat dikendalikan. Belum ada pernyataan resmi sejauh ini dari pihak PSSI terkait peristiwa tersebut.
Ada seorang ibu yang histeris di tengah chaos karena melihat anak balitanya sudah tak bernapas. Orang-orang tergeletak tak berdaya karena sesak. Ada yang berpencar hilang arah hanya karena ingin selamat dari kondisi yang parah hingga saling terpisah. Penjaga keamanan yang juga gugur dalam medan tugas. Lalu gambar-gambar korban jiwa yang terpampang, darah bercucuran, anak kecil yang terluka sedang dievakuasi petugas, dan penggambaran lainnya yang mencekam.
Saya tanyakan pada Anda, sebandingkah nyawa-nyawa tersebut dengan sebuah pertandingan sepakbola? Jawabannya tentu tidak. Menuju penghujung tahun 2022, peristiwa ini menjadi catatan buruk bahwa sepakbola Indonesia mengalami degradasi dan membuat luka serta trauma bagi para korban.
Tentu saya tidak akan membahas bagaimana permainannya, biar itu menjadi urusan mereka yang paham tentang bola. Fokus saya hanya satu, yaitu nyawa-nyawa manusia yang hilang hanya dalam kurun waktu beberapa jam saja. Lalu di mana letak esensi sepakbola sebagai olahraga dan hiburan bagi masyarakat yang kini malah menjadi jurang kematian bagi penikmatnya?
Persetan dengan apa yang terjadi nanti bilamana PSSI mendapat sanksi tegas dari FIFA untuk menghentikan segala acara yang berkaitan dengan sepakbola, sebab nyawa manusia tidak sebanding dengan apa pun itu.
Nyawa hilang sia-sia hanya karena keegoisan segelintir orang yang berusaha untuk mengekspresikan kekecewaannya. Di mana letak kedewasaan kita dalam menerima kemenangan dan kekalahan? Kericuhan dalam sepakbola Indonesia agaknya sudah sering kita lihat, bukan? Yang kalah tidak terima dengan lapang dada dan yang menang merasa di atas angin sehingga tak perlu mengulurkan tangan terbuka. Kemudian polanya berlanjut dengan munculnya anarki pasca pertandingan yang banyak terjadi di liga kampung bahkan di liga 1. Lalu pola berikutnya pihak keamanan menggunakan cara represif untuk meredam anarki yang terjadi dengan mengesampingkan kode etik keamanan.
Siapa yang salah kalau sudah begini?
Lempar-melempar kesalahan, adu siapa yang paling membuat salah, menunjuk bebas biang keonaran yang terjadi, dan tentu perdebatan yang tak henti di media sosial. Lantas inikah wajah sesungguhnya persepakbolaan kita? Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dalam pikiran saya hanya untuk memahami situasi yang gelap bahkan tidak sanggup saya bayangkan.
Berkaca dari peristiwa yang terjadi banyak hal yang perlu kita evaluasi bersama, baik sebagai penikmat juga sebagai penyelenggara. Kini bukan saatnya kita tunjuk-menunjuk. Hargai nyawa-nyawa yang sudah hilang dengan segenap doa yang kita panjatkan untuk kedamaian dan ketenangan mereka.
Nyatanya, kita memang belum cukup bijak dan dewasa untuk menikmati, apalagi menyelenggarakan sepakbola. Bila tragedi seperti ini tidak dievaluasi dengan serius oleh setiap pihak terkait, peristiwa yang sama akan terus terjadi. Maka sepakbola kita bukan lagi menjadi laga permainan, melainkan laga kematian.
***
Editor: Ghufroni An’ars