Saat optimisme dalam melihat dunia digulung ombak realitas, pesimisme muncul tak terbendung. Apakah perdamaian panjang dan abadi hanyalah angan-angan yang tak bisa dicapai, ataukah memang manusia saat ini yang belum mampu memformulasikan resep untuk mencapainya? Dalam pekatnya kegelapan pesimisme selalu ada secercah harapan. Pesimisme bukanlah pilihan.
Belum usai konflik antara Rusia dan Ukraina serta Israel dan Palestina, tiba-tiba pada Minggu pagi tanggal 14 April, Iran dikabarkan melakukan serangan udara ke Israel. Sebagaimana keterangan kementerian luar negeri Republik Islam Iran, serangan ini merupakan balasan atas serangan Israel terhadap konsulat jenderal mereka di Suriah, yang menurut kabar berita menewaskan tujuh anggota korps garda revolusi Iran.
Amerika Serikat, sebagai sekutu Israel, segera merespons eskalasi tersebut. Presiden Joe Biden segara melakukan rapat dengan Dewan Keamanan Nasional didampingi Menteri luar negeri Anthony Blinken. Sikapnya jelas dan tentu mudah ditebak: Amerika akan mendukung Israel dan mendukung pertahanannya dari ancaman Iran. Itulah ringkasan keterangan yang disampaikan juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Adrienne Watson.
Baca juga:
Melihat realitas dewasa ini, tidak berlebihan apabila kita menyimpulkan bahwa dunia yang damai dan bebas perang masih jauh dari jangkauan. Inilah realitanya. Optimisme yang membumbung tinggi tentang perdamaian dunia, digulung habis ombak realita.
Perang dan Damai
Selama ribuan tahun, sejarah umat manusia tak pernah dipisahkan dari perang. Perang seakan menjadi episode pelengkap jalannya sejarah umat manusia. Bahkan, dalam episode sejarah tertentu, perang sering menjadi penyebab perubahan total sistem sosial-politik-budaya di suatu wilayah. Entahlah, perang apa yang pertama kali terjadi dalam sejarah umat manusia. Namun, paling tidak kita mengenal perang yang terjadi ribuan tahun lalu, seperti Perang Persia (480-479 SM) yang terdokumentasi dalam tulisan Herodotus dan Perang Peloponesos (431-404 SM) yang ditulis oleh sejarawan Thucydides.
Perang karena agama juga terjadi. Perang Salib menjadi bukti sejarah yang kelam. Hasrat religiusitas superior yang dipadupadankan dengan klaim teologis atas suatu wilayah, membuat ayat-ayat suci agama menjadi basis legitimasi untuk membunuh sesama manusia yang keyakinannya berlainan.
Hasrat penguasaan wilayah para monarki juga menjadi sebab perang berdarah, terutama di Eropa. Dilanjutkan dengan episode munculnya nasionalisme kebangsaan yang menjadi legitimasi paling kuat terjadinya perang antarbangsa di dunia. Kepentingan nasional yang tak bermuara pada kesepahaman para entitas negara akan berwujud menjadi kobaran perang. Hasrat ekspansionis para pemimpin politik juga bisa menjerumuskan negara, bahkan dunia, pada lembah penderitaan perang. Napoleon Bonaparte, Wilhelm II, dan Adolf Hitler telah melakukannya.
Namun, perang bukanlah permainan yang menyenangkan. Apalagi untuk para tentara garis depan yang harus mempertaruhkan hidupnya untuk tujuan-tujuan yang sejatinya dirumuskan oleh para elite politik. Rakyat biasa juga terdampak. Perang sungguh menyedihkan dan menyakitkan. Ekonomi terguncang, negara bangkrut.
Semasa dua Perang Dunia, Jerman menjadi bukti yang nyata dan muram. Ambisi Wilhelm II dan Hitler membawa Jerman pada kebangkrutan tak terperikan. Perang memiliki efek destruktif yang mengerikan. Lantas timbul pertanyaan, mengapa orang masih mau berperang? Mengapa perang masih terjadi? Anggaplah ini pertanyaan naif. Tak apa. Namun mari kita renungkan bersama.
Baca juga:
Si vis pacem, para bellum. Jika kamu menginginkan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang. Adagium tentang perang ini terkenal, yang tentu saja sering dikutip oleh banyak orang. Namun pertanyaannya, apakah memang setiap orang menginginkan perdamaian? Bagaimana kalau klausa dalil ini direvisi sedemikian rupa. Misal, saya menginginkan perdamaian, karenanya saya tak siap untuk berperang. Atau bisa saja, saya sangat siap untuk perang, karena saya tak mengharapkan adanya perdamaian. Bukankah ini bisa terjadi.
Dalil pertama, saya menginginkan perdamaian, karenanya saya tak siap untuk berperang. Ini tentu bersumber dari idealitas tertinggi. Karena menginginkan perdamaian, apa pun yang berhubungan dengan potensi perang, termasuk persiapan untuk perang, harus dihindari. Oleh sebagian orang, idealisme ini dianggap naif. Ya, boleh saja. Namun tiada salahnya berharap dan mengangankan bahwa dunia kita akan mencapai, apa yang oleh Kishore Mahbubani disebut titik zero untuk perang, seperti yang telah berlangsung di Uni Eropa dan hubungan AS-Kanada, misalnya. Semangat pasifisme mendasari dalil pertama ini.
Sedangkan dalil kedua, saya sangat siap untuk perang, karena saya tak mengharapkan adanya perdamaian. Hal ini tentu bersumber dari agresivitas ide dan tindakan. Mereka adalah para penganut kata-kata Heraclitus: war is father of all, and king of all (perang adalah bapak dan raja semuanya). Para pecinta perang akan berusaha untuk memantik perang, dengan sama sekali tak mengindahkan perdamaian. Bahkan secara hiperbolis kita bisa mengatakan, kata perdamaian telah terhapus dari kamus para hawkish penggila perang. Begitu banyak pemimpin dunia yang gila perang. Wilhelm II dan Hitler di Jerman bisa menjadi contoh paling mencolok pada abad ke-20.
Pasifis vs Hawkish
Melihat realitas dunia dewasa ini, dengan berat hati harus diakui, perdamaian universal di dunia masih jauh untuk dicapai. Beberapa negara masih berkutat pada egoisme nasionalistik semu yang cenderung chauvinis, yang sering kali diejawantahkan dalam tindakan kebijakan irasional, seperti perang. Kadang, celah diplomasi yang masih bisa diusahakan dengan sedikit kesabaran langsung tertutup begitu rapat dan berakhir dengan saling serang. Rakyat yang tak tahu apa-apa terdampak dengan begitu kejamnya. Ratusan bahkan ribuan bayi mati. Ratusan rumah hancur jadi debu. Ceceran potongan tubuh jadi pemandangan biasa. Benar kata Jenderal William T. Sherman, perang adalah neraka.
Baca juga:
Mari satukan pandangan: perang begitu merugikan dan kejam. Oleh karena itu harus dicegah agar tak terjadi. Saya memiliki pandangan menyangkut perang dan pencegahannya, serta upaya untuk menghilangkannya.
Pertama menyangkut para aktornya. Perang bersumber dari gesekan kepentingan nasional yang tak bertitik temu. Oleh karenanya, hal tersebut harus diselesaikan. Dengan kesadaran penuh dan komitmen luhur, perbedaan atau pertentangan pandangan antarnegara harus selesai di meja perundingan. Pemikiran rasional para pemimpin dan diplomat diperlukan di sini. Kedua belah pihak, yang diwakili para negosiator, harus menyepakati bahwa opsi perang harus disingkirkan sama sekali dari opsi penyelesaian konflik. Para elite politik harus mengedepankan diplomasi dibanding perang, tidak peduli betapa kuat dan berbobotnya pertahan negara mereka.
Jika poin pertama lebih fokus pada peran pemimpin dan diplomat sebagai aktor diplomasi, poin kedua ini menyangkut negara. Negara tentu lebih holistik dan kompleks dari sekadar soal elite yang memimpinnya. Eksistensi rakyat yang berwujud opini publik tentu harus dilibatkan dalam pembuatan keputusan publik, termasuk perang.
Idealnya demikian. Sayangnya, sering kali rakyat dan opini publik tak diindahkan. Para elite pembuat kebijakan lebih sering memutuskan untuk berperang, dan kemudian mendapatkan protes demonstrasi dari rakyat yang tak setuju. Hal ini membuktikan absennya partisipasi opini publik dalam kebijakan luar negeri. Saya bisa jamin, tak ada rakyat di negara mana pun yang ingin berperang mengingat dampak buruk ekonomi, politik, dan keamanan yang menghantui mereka. Dengan adanya opini publik yang menekan elite, potensi untuk pecahnya perang bisa ditahan.
Ketiga menyangkut sistem politik dunia. Eksistensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentu dimaksudkan untuk menihilkan perang di dunia ini, serta menyelesaikan setiap sengketa antarnegara dengan jalan diplomasi. Namun, PBB justru sering mengalami kelumpuhan tak berdaya. Bobot keputusannya sering tak dihiraukan oleh negara yang bersangkutan. Bahkan PBB, terutama Dewan Keamanan, hanya dijadikan tempat saling amputasi kepentingan antara negara anggota tetapnya yang sedang memupuk rivalitas.
Namun, apabila kita ingin berbicara sesuatu yang ideal, tentu PBB harus dijadikan sebagai otoritas yang berwenang mencegah terjadinya perang. Kekuasaan PBB harus lebih superior daripada negara mana pun. Walaupun masih cukup mustahil untuk menciptakan pemerintahan dunia, paling tidak PBB bisa menjadi otoritas yang setiap keputusannya memiliki bobot politis dan hukum yang membuat negara mana pun sukar menolaknya. Sulit? Tentu, namun mengupayakannya bukanlah suatu kesalahan.
Ya, begitu sulit menjadi pasifis yang anti terhadap perang di tengah dunia yang hawkish gila perang. Begitu sulit menjadi setitik air di tengah kobaran api. Begitu tak berarti menjadi secercah cahaya di tengah pekatnya gelap. Begitu lemah menunggang rakit di tengah amukan badai. Namun, janganlah menyerah dan berhenti untuk berbicara tentang kebenaran dan sesuatu yang ideal. Sekali lagi, pesimisme bukanlah pilihan.
Editor: Prihandini N