Penanam kesan di Work Ti Farm.

Perjuangan itu Bernama Palestina

Tenu Permana

5 min read

Bayangkan Anda hidup dalam penjara terbesar di dunia dengan penjagaan ketat militer. Militer itu seperti anjing penjaga yang bisa menembak Anda kapan saja dan semaunya.

Di dalam penjara besar itu akses makan, minum, listrik, pengetahuan, bersosialisasi, dan bantuan dari dunia disekat. Setiap hari Anda hidup dalam keniscayaan bahwa kematian akibat dibunuh lebih dekat dengan Anda dibanding warga negara lainnya di dunia.

Penjara terbesar itu adalah Gaza. Dan militer itu adalah zionis. Dari itu semua, kehidupan semacam apa yang Anda bisa jalani? Pilihannya Anda hanya bisa hidup pasrah menerima atau menegakkan kepala melawan demi kebebasan, demi kehidupan.

Baca juga:

Rakyat Palestina yang ada dalam penjara terbesar tersebut menolak pasrah. Mati dalam merebut pembebasan adalah kemuliaan bagi mereka. Berjuang untuk terus melawan adalah darah yang ingin mereka wariskan.

Untuk melihat perjalanan itu semua. Mari kita mundur, kita set kompas waktu kita jauh ke belakang. Kita masuki pintu waktu akhir abad ke-19. Jauh ketika zionis belum punya apa-apa dalam pengakuannnya pada tanah air ataupun khayalannya pada kebangsaan.

Deklarasi Balfour Pemicu Panggilan Berjuang    

Diplomat senior dan tokoh Palestina, Dr. Fayez Sayegh dalam buku Kolonialisme Zionis di Palestina menceritakan awalnya warga Palestina menggangap para zionis yang datang ke tanahnya sebagai “peziarah” dan “pengungsi” saja.

Zionis datang, tulis Sayegh, dalam jumlah yang relatif kecil dengan menekankan alasan tindakan mereka pada alasan keagamaan dan kemanusiaan.

Bagi Sayegh, para pendahulunya percaya bahwa para imigran itu adalah “peziarah” yang didorong oleh kerinduan keagamaan terhadap Tanah Suci, atau “pengungsi” yang lari dari penganiayaan di Eropa Timur dan mencari keamanan di Palestina.

Dengan itulah warga Palestina sebagai tuan rumah memberikan sambutan hangat. Ini pun diiyakan oleh Theodore Herzl, orang yang pertama kali punya ide tentang pembuatan negara zionis di tanah Palestina. Di buku yang sama, Fayegh menyatakan bahwa Herzl dalam buku hariannya mencatat “sikap bersahabat dari penduduk setempat”.

Menyadari sambutan bersahabat dari warga setempat, zionis pendatang awal di Palestina lantas membuat gerakan zionis pada tahun 1897. Setelah adanya pelantikan, tahun-tahun berikutnya zionis Eropa mulai berdatangan ke pantai-pantai Palestina, menandakan kolonisasi zionis gelombang kedua.

Saat gelombang kedua inilah alarm warga Palestina mulai menyala. Sikap hangat mulai berganti menjadi marah dan curiga. Bagaimana tidak, para zionis yang menjadi pendatang ini langsung membuat koloni-koloni baru di tanah Palestina. Ditambah pembuatan koloni tersebut dibangun dengan pengusiran sistematis kepada para petani dan buruh warga Palestina.

Sekira tahun 1907—1908, para zionis ini mulai memperlihatkan tabiat buruknya. Para zionis sudah mempraktikkan keunggulan dan menyombongkan eklusivitas rasnya. hasilnya para zionis di wilayah koloni mulai melakukan pemboikotan sistematis pada setiap produk buatan Arab. Hal ini yang menjadi penyebab kemarahan warga Palestina dan Arab keseluruhan.

Tepat pada 2 November 1917, persemufakatan jahat imperliasme Inggris dan kolonialisme zionis melahirkan Deklarasi Balfour. Deklarasi yang berisi sebanyak 67 kata inilah yang jadi tameng legitimasi zionis dalam merampas kawasan Palestina.

Deklarasi Balfour jugalah yang membuka mata kaum Arab dalam memahami bahwa hari-hari ke depan akan menjadi hari yang mengerikan sebab tanah Palestina akan menjadi tempat perlawanan. Hal ini menjadi gendang panggilan bagi warga Palestina untuk berjuang mempertahankan tanah kelahiran dan memerangi zionisme.

Dalam benak kita sekarang, mungkin kita melihat kejanggalan. Dalam kepala kita, bagaimana bisa para zionis membuat rumah dan perkempungan sesukanya, padahal mereka pendatang? Kita harus ingat, pada masa itu belum banyak terpikir mengenai konsep kewarganegaraan atau kebangsaan yang mengharuskan penggunaan passport dan visa saat datang ke negara lain.

Terlebih masa itu adalah masa ketika kolonialisme dan imperliasme merebak mengekploitasi benua non-Eropa. Dan para zionis dari Eropa datang ke tanah Palestina dengan dibekingi imperalisme Inggris.

Perang senjata dan Pembangkangan Sipil Terlama

Setelah Deklrasi Balfour, tanah Palestina yang memang berhawa panas menjadi semakin panas dan mengkhawatirkan. Untuk itu, perlawanan dijahit kembali. Dan pertama kalinya pada 1919 dikemukakan “Perwakilan Diplomatik” dan “Deklarasi Kolektif”. Ini merupakan kehendak rakyat untuk menyatakan penentangan seluruh program zionis.

Tak hanya deklarasi penentangan sebagai ekpresi kehendak nasional saja yang digemborkan, perlawanan fisik juga terus ditempuh oleh rakyat Palestina, sebab kolonialisme zionis terus mengeker nyawa dan tanah yang didiami oleh rakyat Palestina.

Akhirnya, pada paruh abad ke-20 pertempuran bersenjata pecah di tanah Palestina. Maret 1920 perang senjata tiba di utara Palestina, April pecah di Yerusalem. Eskalasi semakin meningkat mulai dari tahun 1921, 1929, 1933 dan 1936. Saat kolonialisme zionis dengan bantuan penuh imperialisme lnggris mencengkeram kawasan Palestina, seluruh rakyat mengadakan pembangkangan sipil terlama di dunia.

Seluruh rakyat dari segala lapisan dengan fasihnya bersaksi dengan kata-kata dan perbuatan, ditulis dengan peluru, tinta dan darah. Mereka melancarkan pembangkangan sipil yang berdampak luas berbarengan dengan pemogokan di seluruh negeri yang bertahan hingga 174 hari, yang berdampak terhadap semua bisnis, komunikasi, dan layanan pemerintahan yang dijalankan oleh orang-orang Arab.

Berbagai cara ditempuh orang-orang Palestina untuk menyatakan penentangan mereka. Tidak terbatas pada pernyataan dan pemberontakan. Dengan cara yang lebih prosaik  dan barangkali juga lebih sulit dan mahal, rakyat Palestina menjawab “tidak!”pada penjajah.

Sekalipun harus menanggung biaya yang mahal, laki-laki dan perempuan Palestina bertahan dalam pemogokan, menolak segala upaya dari penguasa mandat untuk mengakhirinya, dan tidak berhenti sampai penguasa-penguasa negara Arab tetangga turun tangan dan berjanji untuk memulai perundingan kolektif Arab dengan pemerintah Inggris demi membenahi keadaan yang menyebabkan nestapa rakyat Palestina.

Perlawanan itu terus terjadi sampai 1937 hingga menjelang Perang Dunia II pada 1939. Dan puncaknya, sejak Desember 1947 rakyat Palestina ada pada perlawanan yang benar-benar dalam fase hidup dan mati.

Terakhir rakyat Palestina menggunakan satu-satunya senjata yang tersisa jika mereka tidak dapat mengendalikan imigrasi penjajah zionis, mereka masih memiliki kendali atas penjualan lahan terhadap penjajah-penjajah itu. Senjata pamungkas ini mereka gunakan tanpa henti selama periode Mandat.

Pada 1948, yang dunia kenal dengan Peristiwa Nakba, tanah Palestina akhirnya dirampas secara paksa. Kebanyakan rakyat Palestina diusir dari negerinya. Perlawanan mereka yang tak kenal lelah serta pengorbanan mereka yang amat prosaik dan mahal selama tiga dekade telah gagal mencegah terjadinya bencana nasional.

Berumah Tanpa Kewarganegaraan

Selama perang, lebih dari 400 desa Arab dihancurkan, pelanggaran HAM dilakukan: pembantaian Deir Yassin, desa di jalan antara Tel Aviv dan Yerusalem. Menurut bukti dokumenter sejarah, pendudukan Israel menguasai 774 kota dan desa serta menghancurkan 531 kota dan desa Palestina selama Nakba.

Lebih dari satu juta rakyat Palestina terusir setelah Peristiwa Nakba. Kekejaman kolonialisme zionis juga mencakup lebih dari 51 pembantaian, lebih dari 15 ribu orang Palestina menjadi syuhada.

Mengingat perlawanan itu, Yaser Arafat, pemimpin Palestina di tahun 1998 menciptakan Hari Nakba untuk memperingati hilangnya tanah air Palestina.

Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana setelah Peristiwa Nakba, banyak rakyat Palestina yang terusir dari tanahnya membawa bendera Palestina, membawa kunci bekas rumah mereka, bahkan membawa spanduk dengan simbol kunci.

Kunci tersebut, kata Sayegh, menggambarkan harapan untuk dapat kembali ke rumah dan apa yang dilihat masyarakat sebagai hak mereka untuk kembali.

Baca juga:

Berbekal harapan bisa kembali pulang ke tanah kelahiran, sampai hari ini, hanya sebagian kecil dari generasi penerus Palestina yang telah mengajukan atau menerima kewarganegaraan lain. Akibatnya, sebagian besar dari sekitar 6,2 juta orang Palestina di Timur Tengah tetap tanpa kewarganegaraan.

Melihat hal tersebut, tentu kita bisa memahami bagaiamana perlawanan rakyat Palestina sampai mendarah daging.

Di sisi penjajah, dalam putusan Kongres Pertama zionis di Basel pada 1897, mereka secara spesifik menulis “rumah bagi orang Yahudi di Palestina”. Para zionis itu detail mengeufisime bahasa. Alih-alih menyebutkan jelas “negara”, mereka memilih menggunakan kata “rumah”.

Dengan cerdasnya rakyat Palestina mampu melawan sampai kepada ranah semiotik-makna. Dan dalam buku harian yang sama yang ditulis Herzl, dia sengaja tidak menulis kata “negara”. Jika kata itu yang ia tulis, “aku bakal ditertawakan oleh seluruh dunia,” tulisnya.

Harapan dan Kemerdekaan akan Datang 

Rakyat Palestina, terlepas semua kesulitan dan kemalangannya, masih memiliki keyakinan yang tak tergerus pada masa depannya. Orang-orang Palestina tahu bahwa jalan menuju masa depannya adalah melalui pembebasan tanah airnya.

Hak-hak yang tidak dipertahankan adalah hak-hak yang dibiarkan untuk dilangkahi. Tanpa penentangan, perampasan menjadi absah dengan sendirinya. Hak-hak itulah yang terus rakyat Palestina perjuangkan.

Tak pernah ada kata sia-sia dalam perjuangan dan pengorbanan mempertahankan hak hidupnya. Generasi Palestina yang hidup di masa antara Perang Dunia tidak akan didakwa oleh generasi selanjutnya terkait perampasan warisannya. Mereka memang kalah, tapi tidak tanpa perlawanan. Mereka memang terusir, tapi bukannya tanpa keinginan untuk mempertahankan tanah kelahiran.

Israel (negara pemukim zionis) tetaplah negara perompak. Mereka tak memiliki apa pun yang dapat disebut sebagai keabsahan, sebab rakyat Palestina masih tetap setia pada warisan dan hak-haknya.

Semboyan from river to the sea, Palestine will be free adalah harapan yang dipegang kuat oleh rakyat Palestina dan warga dunia, sebab gerakan antikolonialisme dan pembebasan sejatinya adalah satu dan tak terpisahkan.

 

Editor: Prihandini N

Tenu Permana
Tenu Permana Penanam kesan di Work Ti Farm.

4 Replies to “Perjuangan itu Bernama Palestina”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email