“Kau harus pegang betul-betul pedang ini!” Teriak seorang lelaki yang memakai zirah berlepotan darah.
Gemuruh teriakan dan suara sayatan daging di mana-mana. Tepat di sebelahku kepala seseorang terputus dan melanting ke depan. Tubuh yang kehilangan kepala itu memuncratkan deras darah sehingga membasahi wajahku.
“Komandan! Cepat beri kami perintah!” Pinta seorang lelaki lain yang ditujukan kepadaku.
Nyaris aku memekik melengking seperti wanita. Namun, pita suaraku sangat keluh tak bisa kukeluarkan sepatah kata. Tubuhku masih belum bisa menerima perintah apa pun. Badan dan pikiranku masih tergoncang. Aku belum siap menerima keadaan ini.
Lima menit sebelumnya, aku sedang menyantap makanan cepat saji. Dan tiba-tiba aku berpindah ke situasi ini.
Aku diharuskan membunuh dalam peperangan ini. Mengakhiri napas seseorang adalah hal yang paling kubenci. Kenapa tidak berdiskusi sambil menghirup teh atau kopi dalam mengambil jalan tengah? Mengapa pula nyawa seseorang harus dicabut dari raga bila tidak menemukan kata sepakat? Sungguh sinting orang-orang yang meyakini perang adalah satu-satunya cara menuju kejayaan.
***
Namaku Baya, anak dari janda penjual bensin eceran di rusun kumuh. Bapak sudah lama mati. Bapak mati terbakar karena menuruti ide goblok teman-temannya.
Dulu Bapak hanya tukang ojek sampai akhirnya menganggur karena motor Bapak ditarik oleh mata elang sewaan pihak leasing. Hari-hari yang Bapak lalui cuma sekadar menunggu orang beli bensin ecerannya di depan rusun. Kadang ada, kadang pula tidak ada sama sekali. Bapak hanya bengong menatap jalan, melihat motor dan mobil lalu lalang, berharap ada salah satu atau salah dua, atau salah sepuluh dari mereka berhenti lalu membeli bensin ecerannya ugal-ugalan, bahkan ada yang sampai memohon dan menciumi kaki Bapak agar diizinkan untuk membeli bensin. Namun sayang, itu hanya impian Bapak yang ia bawa sampai masuk kubur.
Pagi itu sepi seperti biasa: Bapak dan tongkrongannya hanya merokok, menyiram jalanan dengan air got, dan main judi kartu di gazebo dekat masjid. Bapak dan tongkrongannya memang terkenal usil dan suka bereksperimen. Mereka pernah membongkar baterai lalu mengambil serbuk yang ada dalam baterai. Serbuk itu mereka pakai sebagai hukuman kalau kalah taruhan main kartu. Yang kalah wajib mukanya diolesi pakai serbuk itu. Kebahagiaan mereka sangat sederhana: melihat teman yang cemong, mereka lalu terbahak-bahak. Esoknya, muka yang kalah itu bengkak-bengkak seperti habis digilir tawon, mereka pun terbahak-bahak lagi.
Kali ini, aku ingin menceritakan eksperimen terakhir mereka. Mungkin ini adalah eksperimen yang mereka sesali seumur hidup dan menjadi akhir dari kisah para ilmuwan gadungan itu.
Semua bermula dari bapaknya temanku, namanya Pak Dego. Sehabis menggoreng tempe untuk anak tirinya makan, ia mendapat ide seru dan nantinya bakalan sangat lucu menurutnya. Ia mencopot tabung gas, lalu langsung menenteng tabung itu ke tempat mereka biasa main kartu.
Semua orang terkejut sekaligus bingung, termasuk Bapak. Pak Dego pun menyuruh teman-temannya membuka tabung elpiji tiga kilo. Mereka melihat ada keanehan bahwa selama ini isinya bukanlah gas, melainkan cairan. Merasa tak terima karena selama dibodohi, mereka pun memvideokan penemuan itu dengan tujuan mendididik orang lain agar jangan mudah percaya.
Kamera sudah dihidupkan, saatnya berceloteh tentang gas elpiji selama ini tidak berisi gas melainkan air. Dari ujung tabung tersebut menyembur terus-menerus air berbau tengik.
Mereka merasa pintar saat itu. Hanya saat itu saja, sampai akhirnya si tukang video menyalakan rokok. Dari jilatan api korek ke rokok itu merambat ke cairan gas yang mereka bilang air tadi. Api itu merambat pula ke pakaian, badan, dan wajah mereka.
Sorak-sorai terdengar membabi buta dari kelompok ilmuwan gadungan itu. Terlihat beberapa warga memasuki gazebo. Dengan panik, salah satu warga melihat ada ember berisi air, lalu disiramkannya ke kelompok itu. Api semakin besar. Celakanya lagi warga itu ikut-ikutan terbakar. Ia baru sadar bahwa air yang dilempar adalah gas cair.
Keributan semakin menjadi, korban semakin banyak. Suasana pecah ruah. Ibu-ibu berteriak meminta tolong ke siapa pun, anak-anak ikutan menangis, termasuk aku yang kala itu baru saja berumur 13 tahun.
Kematian Bapak secara gosong adalah kejutan ulang tahun yang paling membuatku terkejut. Di hari itu rumahku ramai. Aku seperti sedang merayakan pesta ulang tahun, tetapi dengan tahlilan.
Semenjak hari itu juga aku memiliki kemampuan yang tidak diketahui orang banyak. Aku bisa tiba-tiba memasuki dimensi lain, aku juga bisa menjadi orang lain. Aku mampu berpetualang ke masa lalu atau ke masa depan.
***
“Kita harus menjunjung tinggi kepentingan rakyat!” Seru Baya sebagai dosen dari universitas baru itu.
Terlahir dan hidup sebagai keturunan Tionghoa bukanlah keinginan Baya. Ia harus menanggung segala perlakuan hanya karena berbeda. Dianggap tidak pribumi, padahal ia lahir di tanah yang sama dengan yang lain: Indonesia. Baya tidak menginginkan untuk menjadi Cina, cuma kebetulan saja ia keluar dari rahim keturunan Tionghoa.
Ibarat dosa, ia menanggung takdir ini dengan menabahkan hati kalau memang betul mereka minoritas. Dicecar, dimaki, difitnah, bahkan sering dilempar. Mulut-mulut nakal meludah, tangan dan kaki ringan menghantam tubuh.
Ia sangat cinta dengan tanah air ini. Ia membuka jalan agar kaumnya mampu beriringan dengan orang-orang. Lagi-lagi usahanya dirusak, dihancurkan, karena semata-mata kejadian besar. Kejadian yang melibatkan matinya orang-orang penting negara. Ibarat sebuah bola api, ia membakar semua yang berada di dekatnya. Termasuk universitas ini, Universitas Republik.
Universitas ini bisa dibilang sangat visioner. Melampaui zamannya dalam berinovasi. Lingkungan yang benar-benar sehat untuk bernalar mahasiswa. Mereka dibebaskan dalam berpikir dan dipercaya untuk melakukan apapun. Gedung-gedung kampus didirikan oleh mahasiswa itu sendiri sebagai praktik salah satu mata kuliah. Tidak ada perpeloncoan, membangun ruang diskusi, menanam pangan bersama, memberi kebebasan berekspresi. Mendatangkan orang-orang hebat agar mahasiswa bisa langsung menyerap sari-sari ilmu para tokoh itu.
Kebahagiaan itu hanya bisa dikenang. Serdadu bayaran yang mengatasnamakan kemarahan rakyat merusak, menjarah, membakar kampus. Seolah iblis dalam tiap diri orang itu terlepas. Mereka mengamuk sejadi-jadinya. Para mahasiswa berlari menyelamatkan diri. Ada pula yang mencoba melakukan perlawan kepada iblis-iblis berparas manusia itu. Seketika kemarahan itu berlanjut dengan melabeli para mahasiswa yang melawan balik dengan sebutkan antek yang harus diganyang.
Baya terjerembab, wajahnya diangkat oleh mereka. Popor senapan membabi buta mengantam wajah Baya sampai bersimbah darah. Baya lalu diseret dan dimasukkan dalam ruangan.
Baya tak tahu sudah berapa lama menghabiskan waktu di ruangan ini. Yang ia tahu, ia membusuk dalam sarang orang-orang yang dibungkam. Akhirnya Baya membusuk selamanya menjadi bangkai yang dibuang di sekitar sungai setelah menerima beberapa tembakan dengan kepala yang tertutup karung.
***
“Kita harus mengakhiri peperangan ini!” Sentak Baya kepada teman-temannya.
Hampir lima puluh hari mereka menghabiskan waktu untuk menghancurkan pertahanan kokoh dari kastil tersebut. Baya yang semula syok dengan keadaan peperangan, kini ia sudah terbiasa dengan perannya sebagai salah satu pimpinan perang.
Di saat Baya tengah beristirahat, ia membersihkan pakaiannya dari sisa-sisa lumpur dan darah yang mengerak. Ia benar-benar melepaskan penjagaannya saat itu.
“Baya!” ucap salah satu sahabat. Baya pun menoleh dan melemparkan senyuman kepada orang tersebut. Ia pun melanjutkan aktivitasnya.
Tak lama berselang, pandangan Baya memutar seolah sedang bergelinding. Ia hanya menatap ke depan, arah pakaian yang baru saja ia bersihkan. Baya tak sadar ketika kepalanya telah berpisah dengan tubuh.
“Maafkan aku, Baya.” Ucap lelaki itu dan langsung cepat-cepat pergi.
***
Setelah berbicara meracau, lelaki itu tiba-tiba ambruk di antara tumpukan buku-buku cerita.
“Hey, kali ini dia menjadi siapa lagi?” tanya seorang lelaki tua yang seolah tidak mau mendapat jawaban dari pertanyaannya itu.
“Entahlah, kalau aku tebak, kali ini jadi ksatria perang.” Jawab seorang lelaki yang tidak kalah tua dari penanya.
Mereka berdua sudah terbiasa melihat Baya, seorang pria yang ingatannya selalu tercampur dengan apa yang ia baca dan seolah-olah dialah yang mengalaminya.
*****
Editor: Moch Aldy MA
One Reply to “Perang yang Tak Pernah Dimenangkan”