Kalimat “berbuka dengan yang manis-manis” menjadi jamak di benak dan lisan masyarakat kita saat menahan lapar dan haus pada bulan Ramadan. Mengapa berbuka harus dengan yang manis? Mungkin karena selama setengah hari kita merasakan kepahitan tidak makan dan minum.
Penawar dari pahit adalah manis. Manis bisa juga melekat pada buah, buah selalu dekat pada hidup, kelahiran anak misalnya diartikan sebagai hadirnya buah hati. Buah juga selalu hadir pada bulan Ramadan di masyarakat kita, berbuka dengan yang manis-manis bisa diartikan menikmati semangkuk sup buah.
Di dunia ini, hanya dua sup buah yang melekat rasanya tidak bisa dilupakan oleh lidah saya. Pertama, sup buah Teh Ina di dekat rumah saat saya bermukim di Bandung. Kedua, sup buah Mang Asep yang berjualan di dekat sekolah saat saya SMA.
Resep sup buah yang dijual Teh Ina dan Mang Asep sebetulnya sederhana, gula tak berlebihan sajiannya, susu sebagai kaldu tidak terlalu banyak, potongan mangga yang dibelah-belah, serutan kelapa berukuran panjang-panjang, alpukat wajib hadir, belibis berteman dengan putihnya susu dan beberapa potongan ager berwarna hitam dan hijau, kadang merah. Menurut lidah saya yang tak sehebat mendiang Bondan Winarno, ini cukup maknyus. Hanya saja, yang membedakan sup buah Mang Asep dan Teh Ina itu porsi esnya, Teh Ina lebih unggul dalam hal ini.
Baca juga:
Saat saya menikmati sup buah dari kedua pedagang ini, yang saya incar adalah potongan manga juga alpukat. Cukup heran, mengapa mereka tidak mengizinkan semangka hadir dalam kolektif buah-buahan ini. Ah, mungkin ini resep rahasia pedagang.
Semangka dalam Sup Buah
Kerinduan pada sup buah itu hadir. Secara tiba-tiba saya ingin berbuka dengan yang manis-manis seperti masyarakat pada umumnya. Lalu, sebelum azan magrib berkumandang di hari ketiga Ramadan, saya membeli sup buah berkaldu susu campur Marjan, dibungkus dengan gelas cup di depan rumah di Padalarang, Bandung Barat.
Memang tak ada ukuran wajib, sunah, atau haram dalam menyajikan sup buah. Aneka buah-buahan boleh hadir dalam entitas sup buah. Saya beli sup buah ini di depan rumah dengan sepuluh langkah, sejurus kemudian kembali lagi pulang dan harap tenang menunggu magrib datang.
Saat gema azan berkumandang, dengan khidmat dan penuh rasa bahagia saya menikmati sup buah yang dibeli dengan harga lima ribu rupiah. Kaldunya berwarna merah, campuran sirop dan susu bersatu, tak ada alpukat, mangga, belibis, dan kelapa serut di sup buah ini.
Hanya ada manis yang keterlaluan, agar-agar berlebihan, dan beberapa bulatan melon serta semangka supaya ia masih disebut sebagai entitas sup buah. Tidak absennya semangka dalam sajian sup buah ini supaya namanya tetap disebut sup buah.
Palestina, Semangka, dan Kita
Mengingat semangka dalam sup buah yang saya nikmati, meski sebetulnya isinya agar-agar berukuran kecil kotak dan manis berlebihan akibat sirop menjadi gulanya, lantas bagaimana dengan semangka sebagai simbol membela Palestina?
Semangka sebagai simbol perlawanan rakyat Palestina digunakan pertama kali pada 1967, saat Israel telah menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan merebut Yerusalem Timur. Doktor Ilmu Perfilman, Media, Jurnalisme Monash University, Pratiwi Utami, dalam artikel berjudul “Buah semangka dan maknanya bagi advokasi pembebasan Palestina di media sosial” menuturkan, pengibaran bendera Palestina di tempat umum bisa menjadi tindakan kriminal. Kampanye semangka menjadi simbol rakyat Palestina mengadopsi semangat semangka dengan membawa bendera bergambar ke semangka dalam setiap aksinya.
Baca juga:
Dalam artikel tersebut, Pratiwi menyebut bahwa semangat semangka hadir pada kedaulatan rakyat Palestina. Pada Intifada pertama, 1987-1993, para petani Palestina dilarang oleh pemerintah Israel untuk menanam beberapa jenis bibit tanaman pangan, di antaranya buah semangka dari varietas asli Palestina.
Varietas asli negeri para nabi tersebut diganti dengan varietas hibrida dan mengakibatkan hampir punahnya varietas semangka lokal Palestina yang disebut Jadu’i. Kampanye semangka jadi representatif semangat rakyat Palestina mempertahankan hak atas tanahnya.
Beberapa waktu lalu dan sampai saat ini, warganet termasuk di Indonesia menggunakan simbol semangka sebagai aksi mendukung rakyat Palestina. Merah yang menjadi daging buah, hitam bijinya, dan putih dan hijau kulitnya mewakili warna bendera dan indentitas Palestina. Ada yang menggunakannya sebagai ikon di media sosial mereka atau bahkan foto profil.
Apakah melakukan kampanye semangka ini supaya kita disebut manusia, seperti hadirnya semangka sebagai bagian dari sup buah? Lantas sudah maniskah sup buah ini? Jangan-jangan belum, sebab rakyat Palestina belum merasakan kemanisan hidup, sementara kita nikmat berbuka dengan yang manis-manis.
Editor: Prihandini N