Islam bukan agama teroris. Bukan pula agama radikal. Dalam ajaran islam, tidak ada satu pun dalil yang mengizinkan kekerasan digunakan sebagai agresi. Kekerasan hanya boleh dilakukan dalam rangka pembelaan diri. Argumentasi ini logis. Dasar pemikirannya adalah rasionalitas perdamaian. Di atas semuanya, perdamaian adalah hal yang paling utama. Bahkan bila kita sedikit dirugikan. Atas nama perdamaian, kita wajib menerima segala syarat yang bertujuan untuk mencari kedamaian.
Semua itu sudah pernah dicontohkan nabi. Rasulullah pernah menerima berbagai macam syarat perjanjian damai dalam Perjanjian Hudaibiah. Walaupun banyak sahabat nabi memprotes, nabi tidak bergeming. Nabi tetap menyepakati perjanjian itu, walaupun banyak pihak menilai perjanjian ini merugikan kelompok nabi.
Namun, kebijaksanaan damai nabi mampu melampaui zaman. Saat ini, kita bisa dengan jelas memahami alasan mengapa nabi mau mengalah dalam Perjanjian Hudaibiah. Nabi menginginkan perdamaian lebih dari siapa pun sebab perdamaian mendatangkan ketenangan pikiran. Ketenangan pikiran menghasilkan kebaikan. Kebaikan inilah yang ingin diraih nabi dengan seluruh tenaganya. Setidaknya itulah yang disimpulkan Gus Baha dalam beberapa ceramahnya.
Baca juga:
Kekerasan dan Perjuangan Kemerdekaan
Di Palestina kekerasan digunakan sebagai salah satu strategi perjuangan kemerdekaan. Kelompok militan Hamas menggunakan pendekatan militer untuk merdeka dari Israel. Partai penguasa jalur Gaza ini mirip kelompok Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka saat umur Indonesia masih belia.
Kelompok Tan Malaka menolak perundingan bila tidak didasarkan atas kemerdekaan Indonesia seratus persen. Asumsi ini ditegaskan dalam deklarasi terkenal Tan Malaka. Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.
Persatuan Perjuangan juga mempersenjatai kelompok sipil. Milisi berbasis laskar rakyat ini merupakan kekuatan progresif yang dijadikan pilar utama kemerdekaan. Tanpa bantuan laskar rakyat, perang semesta untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia mustahil diraih.
Alasannya, militer resmi Indonesia masih kecil. Bila dibandingkan dengan militer Belanda pasti kalah jumlah sekaligus kalah canggih dalam persenjataan. Peran laskar rakyat adalah penyeimbang kekuatan militer kedua belah pihak yang sedang berperang.
Hal ini mirip dengan perang antara Hamas vs Israel. Milisi Hamas dipersenjatai peluncur roket, senapan otomatis, dan persenjataan ringan lain. Sementara militer Israel mempunyai aneka alat utama sistem pertahanan yang lengkap seperti, iron dome, drone, dan pesawat tempur termaju di zaman ini.
Bila mengandalkan perang bersenjata, kemerdekaan Palestina akan sulit diraih. Ibaratnya manusia harus terbang ke bulan tanpa peluncur roket. Dibutuhkan keajaiban dan mukjizat untuk mengalahkan Israel dalam perang senjata.
Di sisi lain, kelompok Fatah yang lebih moderat mirip elite nasional Indonesia yang lebih tua. Mereka menginginkan kemerdekaan dengan jalan damai. Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim lebih gandrung dalam upaya-upaya diplomasi untuk meraih kemerdekaan.
Kelompok Fatah tergabung dalam Palestinian Liberation Organization (PLO) menginginkan kemerdekaan dengan jalur diplomasi. Yasser Arafat yang juga mantan presiden Palestina pernah berhasil memainkan peran penting untuk perdamaian Palestina-Israel.
Presiden Arafat pernah sukses mengakhiri konflik yang berlangsung selama satu dekade di Tanah Suci tiga agama. Ia punya sumbangsih penting dalam bermacam perundingan damai seperti Konferensi Madrid 1991, Perjanjian Oslo, dan pertemuan di Camp David tahun 2000.
Sayangnya, lawan-lawan politik Arafat sering menuduhnya sebagai orang konservatif, takut berkonflik, dan terlalu tunduk kepada persyaratan-persyaratan yang diberikan oleh Israel. Mungkin ia mirip Perdana Menteri Sjahrir kala dituduh kelompok kiri Indonesia sebagai orang yang terlalu lunak dan penurut pada tuntutan Belanda.
Namun, diakui atau tidak, dunia telah sangat kehilangan sosoknya. Pasca Arafat wafat pada 11 November 2004 , dunia kekurangan tokoh yang berdiri kokoh memperjuangkan Palestina lewat jalur damai.
Kini, saat Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB tahun 2024-2026 dengan suara terbanyak, sudah saatnya kita melanjutkan warisan Soekarno untuk memperjuangkan nasib kemerdekaan Palestina lewat jalur diplomasi.
Indonesia bisa memainkan peran utama untuk menggalang dukungan bagi warga Gaza yang sedang diteror serangan militer Israel. Lewat desakan di Dewan HAM PBB, Indonesia berpeluang menjadi perwakilan suara rakyat Gaza yang sudah lama tidak didengar dunia.
Indonesia juga bisa menuntut Dewan HAM PBB untuk melindungi hak asasi warga sipil Gaza yang mengalami pelanggaran HAM berat. Dengan begitu operasi militer tentara Israel tidak akan berani lagi melanggar hak-hak sipil warga Palestina secara terang-terangan.
Baca juga:
Kemerdekaan Lewat Jalur Diplomasi
Selain itu, citra islam Indonesia yang toleran, damai, dan lembut adalah alternatif yang sangat mungkin diterima masyarakat muslim dunia. Islam yang ramah ini juga merupakan solusi praktis dari konflik berkepanjangan di jazirah Timur Tengah, khususnya di tanah Palestina.
Umat muslim Indonesia juga telah membuktikan diri bahwa kemerdekaan bangsa bisa diperoleh lewat jalur diplomasi. Meski jalur diplomasi terkesan lunak, berbelit, dan memakan waktu panjang, buah manis yang dipetiknya terasa lebih nikmat. Mengapa? Sebab kemenangan yang diperoleh tanpa menggunakan kekerasan merupakan kemenangan sejati. Dalam istilah Jawa, hal ini disebut dengan “menang tanpo ngasorake” atau “menang tanpa merendahkan”.
Kemenangan lewat jalur agresi biasanya akan melahirkan dendam. Kemenangan seperti ini bersifat temporal karena menyisakan konflik laten di dalamnya. Dengan kata lain, kemenangan dalam perang hanya akan menambah tragedi.
Hanya cinta, perdamaian, dan kekuatan untuk memaafkan yang bisa menyelesaikan konflik kekerasan. Tanpa itu, kekerasan di Palestina akan terus ada dan berulang. Sudah saatnya Islam yang cinta damai dan anti kekerasan tumbuh subur di bumi Palestina.
Kita akan selalu mendukung upaya-upaya penyelesaian konflik di Palestina lewat jalur damai, sebab Islam memang cinta perdamaian dan juru damai bagi semesta alam.
Editor: Prihandini Nur R
One Reply to “Islam, Diplomasi, dan Usaha Mengakhiri Kekerasan di Palestina”