Tak lama lagi, tubuh Nedi akan ditemukan dalam lubang tertutup tanah yang memeluknya sedemikian hangat di kedalaman sumur berpuluh meter itu. Angin berkesiur, hujan turun. Lalu, dedaun yang berkecipak terhunus rintik air itu seperti berkejaran menyentuh tanah dan berlomba merajut hening. Dan di atas tubuhnya yang kini masih saja hangat dipeluk tanah, Mang Ujang yang dikerubungi banyak orang itu terus menghamtamkan ujung cangkulnya, berharap memperoleh keajaiban, mulutnya komat-kamit seperti merapalkan doa… atau barangkali mantra.
Sementara mulut Mang Ujang tak kunjung henti bergumam, di dalam dadanya ada sesal yang berkecamuk. Sejak tiga minggu lalu, Mang Ujang sudah berkali mengingatkan Nedi bahwa ia bisa saja mati serupa bapaknya, apabila enggan berhenti untuk mencari batu kalimaya di sumur tambang terkutuk itu—lubang yang sama yang merenggut nyawa bapaknya. Namun, setiap pagi ia masih saja berangkat dengan membawa sebuah palu, pahat dan beberapa lembar karung ke sumur tambang. Mang Ujang tak habis pikir, bahwa kejadian yang menimpa bapaknya tidak sedikitpun mengecilkan nyali Nedi untuk terus mencari batu kalimaya. Meskipun sebenarnya Mang Ujang mengerti alasannya bersikeras pergi ke sumur tambang adalah untuk memulihkan nama keluarga yang tercoreng akibat sesumbar bapaknya di hari-hari sebelum ia mati.
Dan benar saja, apa yang ditakutkan Mang Ujang terjadi. Tubuh Nedi kini tertimbun tanah yang dahulu juga mengubur tubuh bapaknya. Kemudian Mang Ujang mesti mengangkut sak demi sak tanah dengan cangkulnya lagi. Ah, barangkali ujung cangkul yang kini menghantam tanah berdentam-dentam itu, serupa dadanya yang berdetak-detak tidak mengenal jenak. Bukan! Cangkul itu bukan untuk mencari sebongkah batu atau sebecak tanah yang bisa saja ia jual, melainkan seonggok manusia yang ia ragukan masih bernyawa.
Padahal, sejak kematian bapaknya yang membuat heboh seantero kampung itu—yang bahkan membuat pemerintah desa melarang para penambang untuk mencari kalimaya selama seminggu— Mang Ujang berjanji pada dirinya sendiri untuk enggan bersentuhan lagi dengan batu maupun tanah yang di dalamnya menguburkan bongkahan kilau kalimaya bekerlip jarong itu. Ah, namun, siapalah Mang Ujang yang harus mempertahankan janjinya ketika ponakan satu-satunya itu bernasib sama dengan bapaknya. Dan dalam detak dada yang terus berdentuman serta rintik hujan yang menghantam sekujur tubuhnya itu, Mang Ujang tetap menggali tanah secangkul demi secangkul, dan tak mengizinkan siapapun membantunya. Sebab ia berkeyakinan kejadian yang menimpa keluarganya itu adalah kesalahan yang disebabkan olehnya.
***
Barangkali dadamu yang kini berdetak-derak tak kunjung henti serupa denting hantaman palu pada pangkal pahat yang kini kau genggam itu, tak akan sekosong-melompong seperti sekarang apabila sebulan lalu bapakmu tidak mati tertimbun tanah di sumur tambang kalimaya terkutuk ini. Lelaki tua itu mati setelah balok kayu dan bilah bambu yang disusun sedemikian rupa di dalam sumur itu tidak kuat menahan dinding dan menopang langit-langit tanah. Namun, meski hal itu telah diketahui olehmu juga ibumu—yang meratap tanpa henti dalam kamar—kau seolah tak peduli dan tetap mengikis dinding tanah dalam sumur itu selembar demi selembar.
Peluh akibat pengap dan panas lampu cempor yang menerangi lubang tak lebih dari satu meter persegi itu luruh bersama air matamu, dan Endin, kawanmu yang juga rekan penambangmu hanya bisa mendengar isak tangismu yang tersamarkan oleh denting besi. Berulang kali Endin menyarankan padamu agar tidak mencari kalimaya terlebih dahulu dan fokus saja kepada bapakmu yang baru saja dikuburkan serta sedang dipanjatkan doa-doa melalui tahlilan tiap malam. Tapi kau tak peduli dan bersikeras menambang, bahkan di lubang yang sama tempat bapakmu meregang nyawa.
Ah, kau tentu saja tak ingin begitu saja menghentikan ayunan tanganmu yang sedari kemarin sudah menghantamkan palu pada pangkal pahat itu—ya, sudah sehari-semalam kau dalam lubang itu dan tidak berhenti kecuali untuk minum dan menyantap nasi dengan angeun lodeh atawa jojorong yang sudah disiapkan istrimu—sebab kau ingin membuktikan perkataan bapakmu yang diucapkannya sebelum mati. Kalimat bapakmu tentang mimpi Mang Ujang yang disampaikan padanya, yakni mengenai Mang Ujang yang tinggal di sebelah rumahmu itu menemukan sebuah bongkahan batu kalimaya berwarna hitam besar yang di dalamnya terdapat jarong kembang gerimis, kembang kotak, bahkan golebag malang-melintang bekerlipan serupa gemintang di langit malam.
Duh, siapa yang tak tergiur dengan bongkahan kalimaya yang di dalamnya terdapat semua jarong malang-melintang itu. Dan mimpi adalah pertanda yang pasti bagi orang seperti bapakmu dan penambang-penambang lain di Kampung Ciburuy, Curug Bitung ini. Sebab, telah enam bulan lamanya bapakmu tidak menemukan kalimaya sebutir kerikil pun. Meski ia telah menggali sumur itu lebih dari 20 meter. Padahal dahulu sekali, kau sering didongengkan ninikmu, tentang asal-usul kampung yang sebenarnya adalah perbukitan yang di dalamnya bersemayam ular besar melingkar-lingkar dengan sisik penuh batu permata dan berlian. Maka dari itu, tak heran apabila sebagian besar mata pencaharian warga di desamu adalah sebagai penambang batu mulia, sebab barangkali yang ditambang mereka itu adalah sisik ular besar yang melingkar-meliuk di dalam tanah yang di atasnya berdiri kampungmu.
Maka kau pun mengerti apabila akhirnya setelah ucapan pamanmu tentang mimpinya itu, raut wajah bapakmu yang sehari-hari murung—sebab, mesti memikirkan asap dapur yang harus terus mengebul, sementara kalimaya tak kunjung muncul—ketika itu semringah-bungah, dan mengabarkan kabar baik ini kepada tetangga-tetanggamu. Bahwa, mimpi itu adalah titik tolak kehidupan keluargamu menuju kekayaan.
Aih, sebetulnya di dalam lubang hatimu yang bahkan lebih gelap dari lubang tambang yang sekarang sedang kau masuki ini, kau pun enggan untuk mencari batu terkutuk itu. Tapi bagaimanapun kau mesti melakukannya demi memulihkan harga diri keluargamu yang telah tercoreng oleh sesumbar bapakmu mengenai bongkahan kalimaya sialan itu. Sepeninggal bapakmu, tetangga-tetanggamu yang juga bekerja sebagai penambang, sering kali menggunjingkan sebab-musabab kematian bapakmu. Mereka mengatakan bahwa bapakmu mati akibat terkubur kesombongannya sendiri tentang mimpi yang sering ia katakan pada orang-orang itu, atau lantaran ia tak pernah memanjatkan doa-doa kepada demit-demit penghuni hutan-penghuni tanah sebelum menggali lubang tambang, atau sembarang saja menentukan lokasi galian tanpa mempertimbangkan kelestarian alam. Duh, berbagai gunjing yang akhirnya diterima pula oleh telingamu itu tentu saja membuat dadamu panas dan bergejolak, lantas kau ingin membuktikan bahwa bapakmu tak salah dengan mimpinya.
Dan kau terus menghantam pahat itu pada dinding tanah, menimbulkan gema trek-trek-trek di sumur yang kini membentuk cekungan ke dalam itu. Sumur yang menelan tubuhmu itu, seperkiraanmu sedalam 25 meter menembus bumi dan 6 meter memanjang ke samping. Balok kayu dan bilah bambu kau bentuk sedemikian rupa untuk menahan dinding dan langit tanah. Ah, kau tentu saja belajar dari kejadian yang menimpa bapakmu, maka kayu dan bambu itu kini kau perbanyak dengan seutas tambang yang kau ikat kuat-kuat. Dan Endin bertugas untuk membawa sisa-sisa tanah dengan karung ke permukaan agar sumur itu tetap terasa luas dan nyaman untukmu.
Sementara rintik hujan mulai menyentuh kepalamu, kau merasakan sesuatu yang keras menyentuh ujung pahat yang kau genggam. Dan di sana dengan cahaya lampu cempor yang asapnya membuat batang hidungmu menghitam, pada dinding tanah di hadapanmu kau melihat sebuah benda berwarna hitam yang berkilau, namun di dalamnya terpancar berbagai warna, merah, ungu, biru, putih, kuning, yang berlarian-menari-berlompatan ketika terpapar cahaya lampu cempor yang sengaja kau dekatkan. Ah, kau senang bukan main. Dalam dadamu berkecamuk berbagai rasa yang menggejolak sehingga membuatmu ingin teriak. Rasa itu seperti tiga burung merpati yang mengepakkan sayapnya bersamaan di dalam ruang dadamu. Dan kau pun berteriak sejadi-jadinya, meluapkan segala bahagia yang dirasakan ruang dada, memanggil-manggil Endin yang kini sedang berada di permukaan untuk membuang sisa tanah bekas pahatan serupa memanggil kekasih menuju ranjang perkawinan.
Namun, sebelum Endin sempat menengokkan kepalanya ke dalam sumur, atau bahkan sebelum ia sempat menyahut panggilanmu, tiba-tiba kau merasakan getaran hebat yang mengguncang tanah di sekelilingmu. Kemudian disusul suara trak-trak kayu dan bambu yang patah satu persatu. Alih-alih menyelamatkan dirimu, karena tahu sebentar lagi sumur itu akan runtuh kembali, kau terus saja menghujamkan pahatmu pada dinding tanah yang memendam bongkahan kalimaya itu, sebab kau melihat sesuatu yang membuat dadamu mendidih. Kemudian sebelum semuanya benar-benar kau sadari, cahaya tak lagi terpantulkan bola matamu dan kau hanya bisa mendengar dan merasakan deru napasmu yang panas.
***
Barangkali, memang bukan maksud Mang Ujang menjadi pemicu segala malapetaka yang telah terjadi. Sebab, bagaimanapun mimpi yang ia ceritakan pada bapaknya Nedi itu hanyalah untuk membuat lelaki tua itu kembali bersemangat dalam menjalankan hidup. Sebab, sejak kalimaya susah ditemukan bahkan di dalam tanah berpuluh-puluh meter itu, setiap penambang—termasuk Mang Ujang dan Bapaknya Nedi—harus berutang kepada setiap warung yang ia temukan guna menjaga dapur rumahnya tetap mengebul.
Tidak ada yang mengetahui mengapa batu kalimaya yang dahulu sangat mudah untuk didapat dan bahkan bisa membuat para penambangnya kaya raya itu kini susah untuk ditemukan. Apalagi, ketika para penambang dari kampung seberang—yang rumahnya kebetulan terkena Proyek Waduk Karian yang konon menenggelamkan tiga belas desa itu—ikut menambang di lahan sekitar sumur-sumur tambang yang digarap Mang Ujang dan kakaknya itu. Namun, sebagian orang menganggap, barangkali, proyek itu telah membuat leluhur murka dan mempersempit rezeki anak keturunannya.
***
Hujan masih terus berjatuhan, langit menghitam dan di kejauhan lalat-lalat ribut beterbangan keluar sarang. Sementara Mang Ujang dengan cangkul yang belum juga terlepas dari genggamannya mengayunkan lengan dan menghamtam ujung besi cangkul itu untuk mengoyak tanah. Ia menggali dan menggali. Dan sesaat lagi, tubuh Nedi akan ditemukan dalam lubang tertutup tanah yang memeluknya di kedalaman sumur berpuluh meter itu, lalu dalam dekapan tangannya yang telah dipenuhi cokelat tanah dipeluknya bongkahan batu kalimaya berwarna hitam besar yang di dalamnya terdapat jarong kembang gerimis, kembang kotak, bahkan golebag malang-melintang bekerlipan serupa gemintang di langit malam, dan di dalam lubang hidungnya itu menguar embusan napas yang panas.
***
Editor: Ghufroni Anars