Peminat kajian filsafat (khususnya fenomenologi dan eksistensialisme). Menulis puisi, cerpen, novel, esai. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

Cerita Merah

Candrika Adhiyasa

2 min read

Apa yang sebaiknya dilakukan saat melihat orang-orang terkasih terbakar di hadapan kita?

Barangkali jawaban terbaik yang bisa dipikirkan adalah menyelamatkannya. Namun, apakah jawaban terbaik selalu merupakan jawaban terlogis? Tidak selalu. Misalnya malam itu. Aku melihat rumahku terbakar. Api menjilat-jilat tembok dan atap. Terdengar pecahan kaca jendela dan gemeretak kayu-kayu akibat suhu tinggi. Kemudian aku mengingat-ingat bahwa keluargaku ada di sana—bersama api yang menjilat-jilat itu.

Aku duduk di depan rumah, menyaksikan kejadian yang untuk beberapa saat kukira merupakan ilusi. Namun, aku segera menarik kesadaranku agar tidak pergi lebih jauh. Itu jelas bukan ilusi.

Aku menebak-nebak bagaimana rupa keluargaku: istri dan anak-anakku yang barangkali telah hangus dilalap api. Tidak ada yang bisa kulakukan. Rumah kami terdiri dari dua lantai—bisa dikatakan cukup besar, tetapi merupakan rumah yang terpencil. Aku tidak bisa meminta bantuan siapa pun dan barangkali juga memang tidak memerlukan bantuan siapa pun. Keadaan sudah terlalu parah. Segalanya sudah terlambat. Tak ada cara memadamkan api sebesar itu dan berharap keluargaku terselamatkan. Maka untuk malam ini aku akan tidur di luar, menunggu api padam esok hari.

“Apa kamu benar-benar bisa tidur?” ucap seorang lelaki muda yang menyimak ceritaku. Saat ia bertanya, aku menenggak bir, dan berpikir sejenak sebelum melanjutkan pembicaraan.

“Tentu saja tidak. Malam itu aku…”

Malam itu aku memejamkan mata dan masih melihat api berkobar di dalam pikiranku. Barangkali benar, manusia tak memerlukan bola mata untuk melihat sesuatu, selama suatu pemandangan membekas dalam perasaannya. Namun, aku mengingat kata-kata menyebalkan dari sebuah koran lama yang kubaca entah kapan.

“…manusia hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.”

Itu benar-benar teori yang keliru. Buktinya, sepanjang malam aku melihat apa yang tidak ingin kulihat.

“Apa yang terjadi setelah malam itu?”

“Maksudmu keesokan harinya?”

“Iya.”

“Ah, benar. Setelah pagi datang, aku…”

Setelah pagi datang, aku lihat api di rumahku sudah padam, dan rumah itu sudah hangus. Sebagian besar konstruksinya rubuh—terutama yang tersusun dari material kayu. Aku berjalan perlahan dengan lesu, menelusuri puing-puing yang hangus itu. Kulihat istriku dan anak-anakku diselubungi abu, mereka tentu saja sudah tidak bernyawa. Aku tak bisa melihat wajah mereka dengan jelas, wajah mereka tertutup abu dan rusak (atau meleleh?). Hal itu memberikan perasaan yang aneh.

“Perasaan sedih?”

“Ya, semacam itu.”

“Apa kamu menangis saat itu?”

“Aku tidak menangis.”

“Tapi kamu bilang kamu sedih.”

“Tidak semua orang yang bersedih akan menangis. Aku tidak menangis, tapi aku…”

Aku tidak menangis, tapi aku merasakan dadaku berlubang. Lubang yang sangat besar, menganga, dan dapat dilewati oleh angin yang hampa. Itu benar-benar perasaan yang menakutkan dan tak terbahasakan.

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

“Keputusanku tidak akan berubah, kamu tahu?”

“Sayang sekali…”

“Ya, sayang sekali… aku tak punya pilihan.”

“Baiklah…,” ujarnya dengan nada kecewa. “Padahal aku berharap bisa lebih banyak belajar darimu,” lanjutnya.

“Tidak ada hal baik yang dapat kamu pelajari dariku. Aku hanya seorang lelaki pengecut yang menyedihkan.”

“Selama kamu berpikir pilihanmu adalah pilihan terbaik, lakukanlah tanpa menyesalinya di kemudian hari.”

“Tak ada ‘kemudian hari’ bagiku. Ini hari terakhir.”

“Ya. Setidaknya, sampaikan salamku pada Tuhan.”

“Kalau Dia ada, akan kusampaikan.”

Kami bersalaman, dan aku pergi ke luar bar. Jalanan begitu lengang, angin begitu gigil, air mataku kini keluar di sudut mata. Aku berjalan ke seberang, memasuki hutan beku yang sunyi. Pohon-pohon paku membisu, tanah diselimuti salju tipis. Setelah merenungi beberapa hal, kukeluarkan revolver dari tas kecil, memasukkannya ke dalam mulutku, lantas kutekan pelatuknya.

Saat itu, kulihat lagi dengan sangat jelas sebuah kobaran api besar—dalam waktu yang begitu sekilas, sehimpun kenangan menyakitkan, dan seembus penyesalan untuk yang terakhir kalinya.

(Yogyakarta, 15 Desember 2020)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Peminat kajian filsafat (khususnya fenomenologi dan eksistensialisme). Menulis puisi, cerpen, novel, esai. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email