Menuju Pilpres 2024: Polarisasi Politik Identitas yang Kian Kronis

Durohim Amnan

3 min read

Pemilu lima tahunan telah menapaki babak baru. Kini para aktor politik akan dan sedang menyiapkan amunisi menuju perang Pemilu 2024. Partai politik sebagai roda kendaraan sudah memanaskan mesin sejak awal. Saking panasnya, cara paling kotor pun digunakan demi merengkuh tahta kekuasaan. Patron politik semacam itu bukan lagi hal baru dalam politik Indonesia. Mengerikan, tapi begitulah adanya.

Pada 3 Oktober 2022 lalu, Nasdem mendeklarasikan calon presiden yang akan diusung pada Pemilu 2024. Ini merupakan pluit tanda pertandingan politik telah dimulai. Anies Baswedan selaku capres mengawali pertandingannya dengan narasi-narasi bijak khas kampanye-kampanye sebelumnya. Sontak kubu sebelah mau tak mau menyiapkan bekal counterattack. Dari sini muncul polarisasi pendangkalan politik identitas.  Politik identitas diprediksi akan terus diartikulasikan hingga puncak Pemilu serentak terselenggara pada 2024.

Politik identitas akan berbahaya bila dijadikan narasi untuk memolarisasi golongan tertentu demi memperoleh suara pemilu. Ini pendangkalan politik demokrasi yang memenggal diseminasi demokrasi deliberatif (Habermas, 1992).

Politik De Javu

Fenomena politik hari ini seolah mencerminkan konfrontasi Pemilu 2014 dan 2019. Dua pemilu terakhir tersebut sangat sarat politik oportunis yang menghentikan denyut nadi demokrasi. Ya seperti itu adanya, pragmatisme berada di atas segalanya. Asalkan mereka untung, cara apa pun akan digunakan tanpa memedulikan etika politik.

Tak heran jika agenda politik identitas menghiasi panggung politik saat ini. Sungguh ironis sesungguhnya, bagaimana mungkin bangsa ini bisa masuk ke lubang yang sama berkali-kali?

Bukankah slogan kita “Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia;  berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan berbahasa satu, bahasa Indonesia”? Lalu apa hakikat deklarasi pemuda pada 1928 jika kita hari ini masih berkutat dengan kenyamanan politik inferioritas berupa kotak-kotak pemecah belah seperti sukuisme, bahasa, ideologi, ras, agama, dan aneka kepentingan primordial lainnya? (Armada Riyanto: 130, 2011). Sangat mungkin Bung Tomo jijik dan muak di alam baka sana melihat situasi negeri yang tak tentu arah dewasa ini.

Baca juga:

Sejarah politik negeri ini memang panjang dan berkelindan. Mulai dari semangat patriotik pahlawan kemerdekaan, antusiasme demokrasi liberal pada generasi awal, masuk jebakan otoritarianisme global,  sampai reformasi politik kotemporer.

Dari perjalanan panjang itu, tampaknya tak banyak pelajaran moral yang bisa dipetik oleh sistem politik hari ini. Gejala post truth dengan kemas teknologi begitu seksi mencampuri pos-pos kosong politik intelektual. Akibatnya, masyarakat akar rumput kekurangan edukasi akan nilai adi luhung yang pernah ada pada abad lalu.

Politik Oportunis

Masyarakat menilai kontestasi politik begitu elitis dan oportunis. Elitis karena para aktor politik menyelesaikan deal-deal politik tanpa suara masyarakat kelas menengah, apalagi masyarakat akar rumput. Ini buruk untuk politik deliberatif. Semakin banyak pragmatisme di dalam politik, bargining position masyarakat akar rumput semakin rentan dikooptasi. Rendahnya partisipasi menjadi momok yang bisa mengkudeta keaslian suara pada Pemilu mendatang.

Politik oportunis merupakan konsekuensi logis dari politik elitis yang sudah mengesahkan ‘nota kesepahaman’ antara dua spektrum politik yang sering kali tak konsisten. Ketidakkonsistenan itu membuat para relawan dan tim sukses masing-masing kelompok melakukan agresi politik tanpa peduli moral standing dari masyarakat politik.

Oleh karena itu, hujatan, kebohongan, dan politik kebencian digunakan melalui bungkus identitas untuk menghajar lawan politik. Politik belas kasih sangat diperlukan guna meminimalisasi atau setidaknya mengendalikan pendangkalan politik identitas.

Politik identitas yang dangkal melahirkan diskriminasi dan berusaha meniadakan kelompok lain yang dianggap berbeda. Pengertian itu sangat relevan dengan politik dewasa ini yang berusaha mencengkram dan menindas. Ada banyak contoh konkret bagaimana pendangkalan politik identitas itu menyemai dan akhirnya tidak layak untuk dijadikan contoh.

Sebut saja narasi-narasi kolot dari salah satu channel YouTube dengan inisal “C-TV” yang diasuh oleh beberapa kalangan, salah satunya kalangan intelektual sekaligus pendidik di salah satu universitas negeri terkemuka Ibu Kota. Terlihat jelas bagaimana mereka membangun narasi politik yang memecah belah masyarakat dengan bungkus identitas yang seolah “nasionalis’’, dan sewaktu-waktu membelot menjadi spektrum “nasionalis-religius”. Sialnya mereka selalu lempar batu sembunyi tangan.

Begitu juga kelompok lawan mereka. Mereka masih menggunakan cara-cara lama, di mana identitas muslim seolah menjadi tema fundamental untuk merengkuh suara mayoritas, dan tokoh agama menjadi simbol perjuangan politik. Ada masih banyak lagi contoh politik amoral yang sejatinya tak pantas dicuplik.

Baca juga:

Kedangkalan itu semakin menjadi-jadi bila salah satu pihak merasa terpojokkan. Eksklusivitas adalah harga mati bagi kalangan yang mencoba mempermainkan identitas yang dirasa tak layak berkuasa. Itulah keadaannya. Mau tak mau kita harus sanggup menghadapi kondisi sosial yang sudah terbelah sejak dua pemilu lalu.

Tantangan Inklusivitas atau Status Quo

Berfilsafat politik berarti menggagas tata hidup bersama dari sudut makna yang mendalam (Armada Riyanto, 2011). Politik adalah paradigma, Thomas Kuhn menyebut secara indah bahwa ilmu adalah paradigma, begitu juga politik. Bahwasanya salah dan benar senantiasa berada dalam paradigma. Politik seharusnya tak diangaap sebagai kebenaran dari penguasa. Kekuasaan “bukan” pemegang dogma kebenaran. Prinsip-prinsip kebenaran harus selalu mengabdi pada kepentingan tata hidup bersama secara menyeluruh.

Pemikiran itu dikenal seantero bumi karena dianggap sebagai dasar filsafat untuk mereposisi ulang kesalahan-kesalahan elementer dalam urusan bernegara. Begitu juga dengan kesalahan politik negeri belakangan ini yang tak kunjung surut oleh perkelahian identitas priomordialistik. Merangkul politik arus utama antara religius dan nasionalis adalah pekerjaan yang tak mudah, tetapi wajib dilaksanakan.

Anak bangsa harus mulai mengilhami seluruh jenis tipologi politik yang merasuki alam bawah sadar antarkubu. Sikap teguh ini untuk mengembalikan diskursus kebangsaan yang tak tersekat pagar politik identitas.

Beberapa waktu lagi Indonesia akan dihadapkan dengan kondisi politik dunia yang semakin mencengkam. KTT G20 di Bali mungkin bisa mengubah siasat politik guna menemukan secercah harapan. Ada banyak forum anak bangsa pada rangkaian G20, khususnya bagi kaum muda. Mereka bisa unjuk kemampuan serta mengartikulasikan ulang identitas negeri ini, bahwa negeri ini pernah dan akan kembali pada posisi di mana pesan-pesan perdamaian akan pentingnya persatuan adalah tujuan negeri ini didirikan.

Begitu juga pesan tentang politik etis, bahwa pendangkalan politik identitas yang semakin kronis menjelang Pemilu 2024 tidak akan membuahkan pemimpin yang arif. Kosmologi politik seperti itulah yang akan membuat kita berpikir ulang.

Setelah agenda G20, setidaknya ada hasil untuk membangun ulang sendi bernegara yang sempat hilang. Posisi pemuda amat signifikan dalam menentukan arah bangsa. Oleh sebab itu, mari kita sebar luaskan ide tentang politik yang deliberatif, bukan eksklusif.

 

Editor: Prihandini N

Durohim Amnan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email