Apa makna gender bagi kita? Ada banyak orang yang menganggap bahwa gender identik dengan jenis kelamin atau sex. Padahal, anggapan itu tidak terlalu tepat.
Secara istilah, jenis kelamin atau sex terkait dengan struktur biologis khas—dan hanya terdapat dua jenis meski dalam beberapa kasus ada “anomali”. Dalam tradisi Islam, kasus anomali jenis kelamin itu dikenal dengan istilah khuntsa.
Lantas, apa yang dimaksud dengan gender? Meski berkaitan, gender tak selamanya lekat dengan jenis kelamin. Lain dari jenis kelamin, gender adalah identitas yang cair dan dapat bertransformasi. Sebab, gender artinya suatu karakter atau sifat yang berkembang seiring dengan pola interaksi individu.
Baca juga:
Ada cukup banyak kampanye yang menyuarakan bahwa gender dan jenis kelamin bukan satu hal yang sama secara definitif. Keduanya adalah hal berbeda yang interdependen sampai batas tertentu. Perbincangan semacam ini akan sampai pada wacana mengenai orientasi seksual; bagaimana orang dengan gender tertentu harus tertarik dengan pihak lain secara seksual.
Di Indonesia, perbincangan mengenai orientasi seksual lebih sering dimasukkan dalam kategori “topik haram”, atau setidaknya, tabu. Akan tetapi, penabuan itu tidak lantas menghentikan gerakan yang berupaya memperjuangkan hak asasi manusia dalam mengekspresikan orientasi seksual di sini, terutama yang menggunakan medium seni seperti film.
Bulan Agustus lalu, saya mengunjungi suatu Grand Launching Festival Film Kuningan yang diselenggarakan di Gedung Wanita. Penggagasnya adalah Yayasan Mega Citra Kreasi. Di awal pembukaan acara itu, ditampilkan satu film tentang orientasi seksual yang berjudul Ultimatum. Salah satu pemerannya saya kenal baik, A. Tifani Kaustar. Ia memerankan seorang bapak yang menentang orientasi seksual anak laki-lakinya. Tentu, poin yang hendak diangkat dalam film lebih daripada itu.
Dalam Ultimatum, ada asosiasi jenis kesenian tertentu dengan karakteristik gender tertentu. Di situ, seni tari digambarkan sebagai suatu ekspresi kesenian yang feminin. Premis ini kemudian dikembangkan menjadi cerita yang mempermasalahkan laki-laki “tidak seharusnya” menjadi penari. Apabila demikian, maka status kelaki-lakiannya—yang apabila dilihat melalui perspektif gender yang tidak lebih daripada konstruksi jaringan kuasa dominan—mesti dipertanyakan.
Ada cukup banyak adegan yang menjabarkan kecenderungan non cisgender si tokoh utama. Kecintaan si tokoh utama pada dunia tari memunculkan anggapan bahwa seni tari sendiri adalah “penyebab” dari kecenderungan itu. Mitos semacam ini lekat dalam benak cukup banyak orang.
Di akhir film, diperlihatkan si tokoh utama melakukan bunuh diri. Hal itu disebabkan oleh tindakan si Bapak yang merobek kain miliknya, yang merupakan perangkat utama dalam seni tari yang ia geluti. Terlebih, kain itu secara emosional memiliki hubungan historis dengan si tokoh utama sebagai warisan dari mendiang ibunya.
Prinsip asosiatif semacam itulah yang kemudian memberi tekanan batin tak tertahankan pada diri si tokoh utama. Menontonnya memantik refleksi yang cukup membekas dalam diri saya bahwa ternyata—dan memang demikian faktanya—orientasi seksual yang berbeda tidak diterima dalam masyarakat Indonesia. Kemudian, yang tidak saya sepakati, poin bahwa suatu bentuk kesenian tertentu dilihat melalui prinsip kepemilikan gender. Misalnya, menari adalah kegiatan bagi perempuan.
Dua elemen itu, orientasi seksual dan asosiasi bentuk kesenian dengan gender, membuat film Ultimatum memiliki nilai yang penting untuk direnungkan. Apabila elemen lain dapat dihadirkan, saya bisa melihat bagaimana keterasingan individu yang menganut nilai tertentu karena ditolak oleh nilai kolektif yang represif dapat membuat film ini menjadi dokumenter yang kaya. Namun, saya agak pesimis akan ada cukup banyak yang dapat membedah nilai-nilai melalui elemen-elemen yang tumpang-tindih dalam suatu film, atau bentuk karya lainnya, untuk dievaluasi secara fenomenologis dan jernih.
Baca juga:
Topik yang diangkat dalam film pembukaan acara Grand Launching Festival Film Kuningan cukup sensitif dan “berbahaya” sampai batas tertentu. Saya salut kepada siapa pun yang berpartisipasi dalam proses kreatifnya. Suatu lompatan melampaui yang klise dalam ekosistem nilai. Selain itu, saya mengapresiasi keberadaan upaya-upaya penyemarakkan proses kreatif semacam ini yang memang masih cukup hening di Kabupaten Kuningan.
Editor: Emma Amelia