Mengapa sering kali muncul seruan “waspadalah terhadap bahaya Islam liberal”? Sebenarnya, apa itu Islam liberal? Bukankah ia hanya bentuk respons dari tafsiran sejarah pemikiran? Apakah Islam liberal mengganggu kesakralan dan kemapanan normatif Al-Quran sehingga banyak yang mengatakan bahwa ia berbahaya. Lalu, bagaimana dengan Islam modern, Islam tradisional, Islam Fundamentalis, Islam Timur Tengah, Islam Quba, atau Islam asli Indonesia?
Unsur Relatif
Di sini ada kesan labelisasi kata “Islam” yang dilekatkan melalui unsur-unsur relatif, kata “liberal” misalnya. Jika merujuk kepada KBBI, liberal bermakna: bersifat bebas, berpandangan bebas, luas, dan terbuka. Ada pula yang mengartikan liberal sebagai sesuatu yang bebas nilai. Begitu juga dengan kata “Timur Tengah” atau kata “Indonesia” yang melekat pada kata “Islam”, semuanya memiliki makna relatif.
Artinya, sebagai produk pemikiran atau keadaan tempat, unsur relatif pada Islam seperti “liberal, “Timur Tengah”, atau “Indonesia” dapat saja dipengaruhi oleh budaya, lingkungan sosial, pandangan hidup, dan lain-lain. Oleh karena itu, dari segi pemaknaan Islam liberal sendiri, unsur relatifnya tidak perlu dicemaskan apalagi dimusuhi. Sebagai produk pemikiran, ia akan tetap ada. Terlebih lagi di negara yang paham demokrasinya tumbuh subur, di mana penghargaan terhadap pluralitas pandangan menjadi keniscayaan.
Maka dari itu, supaya tidak keliru memahami maksud kata “liberal” di sini, perlu dibedakan antara liberal (bebas nilai) dan liberalisasi (pembebasan). Bebas nilai dapat mengarah kepada diskursus multikulturalisme. Sedangkan liberalisasi biasanya hanya membicarakan satu nilai. Katakanlah Islam sebagai sebuah sistem nilai, kemudian memasukkan bahan-bahan lain untuk dijadikan alat analisisnya. Misalnya dengan menggunakan teologi pembebasan, teologi transformatif, teologi pembangunan, dan lain-lain yang mempunyai semangat liberalisasi (pembebasan).
Islam dan Liberalisasi
Diskusi kita hanya akan diarahkan kepada isu liberalisasi dan Islam, bukan liberal dalam pengertian bebas nilai. Sebab, kalau kita membicarakan liberal dalam arti bebas nilai, kita harus melibatkan kajian budaya dan multikulturalisme.
Untuk meluaskan pandangan, agaknya kita perlu menguliti makna Islam itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Islam, selain makna harfiahnya berserah diri, sedikitnya memiliki dua pemahaman besar:
Pertama, Islam dipahami sebagai dokumentasi ajaran yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw. Konsep ini dipahami secara eksklusif dan harfiah sebagai sesuatu yang telah ajek pada sebuah produk (syari’at). Pesannya jelas, tidak ada ruang toleransi dan keselamatan di luarnya. Komunitas selain lembaga Islam adalah kafir, sesat, terkutuk, dan seluruh amaliahnya tidak berefek sedikit pun.
Ayat al-Qur’an yang sering dijadikan sumber adalah: “Innaddinaa inda Allah al-Islam”(Sesungguhnya agama yang paling diridhai Allah adalah agama Islam). Dalam penjelasan agama yang sangat doktriner dan monolitik seperti itu, Islam berada di bawah dimensi uniformisme. Patokan kesalehan dipersempit pada ornamen-ornamen perilaku dan ritual. Monopoli tafsir berlaku di semua wilayah yang disebut agama.
Baca juga:
Atas konsep yang seperti itu, tidak heran kalau muncul sebuah pertanyaan: apakah Islam yang seperti ini objektif? Apakah mungkin Islam yang seperti ini membawa kedamaian bagi kalangan lain bila segenap aktivitasnya tidak bisa membedakan antara pendapatnya (tentang Islam) dan ajaran Islam itu sendiri?
Kedua, Islam yang inklusif. Konsep Islam ini ajek, tetapi memberikan ruang dialog, toleransi, dan pluralisme. Walaupun mengakui kebenaran yang tunggal, wilayah ini menyediakan kemungkinan perbedaan penerimaan pesan-pesan suci pada struktur persepsi dan kultur umat. Di sini, Islam dimaknai sebagai suatu sifat alamiah, melekat pada kesegalaan, telah berlaku pada masa-masa sebelumnya, dan telah terobjektifikasi.
Jadi, sesuatu itu buruk bukan karena dilarang Allah Swt dan sesuatu itu baik bukan karena diperintahkan-Nya, melainkan sesuatu itu buruk karena memang pada hakikatnya buruk dan sesuatu itu baik karena memang pada hakikatnya baik. Untuk itu, setiap perilaku keagamaan menyiratkan sebuah upaya untuk melakukan purifikasi, mendapatkan nilai-nilai yang lebih benar. Tidak ada klaim yang memutlakkan berhentinya perjalanan mencari kebenaran.
Pemutlakan (pada sesuatu yang belum teruji) oleh segolongan umat adalah upaya mereduksi nilai-nilai kebenaran universal agama itu sendiri. Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa seluruh potensi nonmaterial yang dimiliki manusia sejak lahir memungkinkan mereka untuk dapat membedakan hal yang benar dan salah serta meraih kebenaran agama yang sejati.
Mencari Jejak Islam Liberal
Sekarang, bagaimana memotret Islam Liberal? Mohamad Iqbal dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam mengatakan: “Masyarakat yang dibangun atas dasar pandangan tentang realitas haruslah dapat memadukan segala sesuatu yang abadi dengan yang berubah dalam kehidupannya.” Maksud Iqbal adalah masyarakat harus memiliki dua karakteristik. Pertama, memiliki segi-segi yang abadi, seperti kepercayaan pada sesuatu yang mutlak (agama pedoman atau idiolog hidupnya). Kedua, memiliki segi-segi yang berubah, seperti kesadaran pada dinamika zaman yang harus disikapi dengan cara-cara yang berbeda.
Oleh karena itu, harus dipahami bahwa upaya integrasi nilai-nilai keyakinan yang berasal dari kebenaran (sesuatu yang mutlak) memungkinkan terjadinya perubahan substansial pada format akhirnya. Kebenaran yang bersifat mutlak atau absolut hanya terjadi pada wilayah di mana ia menjadi tujuan ideal, yang mustahil terjabarkan pada laku buku sosiologis-empiris.
Tetapi, lanjut Iqbal, proses pemaknaan yang terus-menerus terhadap kehendak yang mutlak itu justru akan semakin mengokohkan jabatan manusia sebagai khalifah di bumi. Implikasi dari proses pemaknaan manusia terhadap Tuhan, alam, dan dirinya sendirilah yang pada urutannya memunculkan varian paham keagamaan. Di sinilah kita bisa memahami lahirnya berbagai aliran pemikiran keagamaan sebagai sesuatu yang lumrah dan natural. Termasuk liberalisasi dalam Islam.
Baca juga:
Pemahaman keagamaan disadari atau tidak selalu bergumul dengan dua aspek: teologis dalam pengertian normatif dan sejarah. Munculnya pandangan keagamaan yang beraksentuasi tradisional, modern, ekstrem, liberal, dan sebagainya dapat diduga akibat pergumulan manusia dengan keyakinan, pengalaman, kemampuan, lingkungan, cita rasa. Itu semua disebut oleh Iqbal sebagai dimensi yang berubah. Pada akhirnya, kesadaran akan sesuatu yang berubah ini menghasilkan corak pemahaman keagamaan yang beragam.
Di negeri-negeri muslim selain Indonesia, kita bisa menyaksikan betapa dinamika pemahaman itu menjadi kekayaan intelektual tersendiri. Kita bisa menyebut Dr. Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) dan menulis karya monumental Min al-Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi) sebanyak 5 jilid. Ada juga Ziaul Haque (Pakistan) yang menulis buku yang provokatif, Revelation and Revolution in Islam (Wahyu dan revolusi dalam Islam). Kemudian Fazlur Rahman (Pakistan) dan Muhammad Arkoun (Aljazair). Selain itu, harus pula menyebut Asghar Ali Engineer (India) yang terkenal dengan bukunya, Islam and Its Relevane to Our Age (Islam dan Relevansinya dengan zaman kita).
Karya intelektual seperti yang ditulis Hassan Hanafi, Ziaul Haque, Asghar Ali Engineer, Fazlur Rahman, dan M. Arkoun merupakan refleksi zaman. Karya tersebut adalah dekonstruksi terhadap pemahaman klasik. Mereka berbicara Islam dengan melibatkan analisis filsafat, sosiologi, dan antropologi yang mendalam.
Dengan demikian, Islam tidak saja didekati secara normatif, tetapi wajah Islam juga dilihat sebagai produk sejarah dan realitas sosial. Dengan kata lain, kalau kita menyebut nama Islam, kita masih perlu batasan lagi, apakah yang kita maksud adalah Islam ideal-normatif, Islam aktual-historis, atau Islam psikologis-interpretatif.
Posisi Islam Liberal
Pada hakikatnya, pemahaman liberal dalam pengertian liberalisasi merupakan bentuk dekonstruksi atas teks-teks kitab suci. Munculnya istilah-istilah seperti reaktualisasi, reinterpretasi, kontekstualisasi, pribumisasi, sekularisasi, teologi pembebasan dan lain sebagainya merupakan bentuk lain dari liberalisasi. Di Indonesia, beberapa cendekiawan muslim sering mempopulerkan istilah-istilah tersebut. Misalnya istilah reaktualisasi, sekularisasi oleh Nurcholis, dan pribumisasi oleh Gus Dur. Semuanya itu menginginkan adanya pemahaman baru, zaman baru Islam.
Maka dari itu, jika liberalisasi dimaknai sebagai padanan istilah-istilah di atas, ia menjadi penting bagi pengembangan tafsir agama sebagai wujud dari aktualisasi budaya iqra dan pesan Nabi: “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Upaya pembaruan pemikiran dengan semangat purifikasi seperti yang dilakukan banyak pemikir dengan beragam istilah merupakan proyek pencerahan intelektual Islam.
Upaya ini selalu mengawali kesadaran umat, dan pada saat yang sama terjadi gelombang transformasi kebudayaan dan moral yang menyentuh dimensi-dimensi kemanusiaan dan sejarah. Karena itu, pencerahan spirit intelektualisme senantiasa melembagakan perubahan, dinamika, revolusi kebudayaan dan pemikiran; suatu tantangan yang menuntut rekonstruksi dialogis antara nilai-nilai azali ilahi dengan nilai-nilai nisbi-manusiawi.
Dengan demikian, munculnya pemikiran Islam liberal, terlepas dari aksi destruktifnya, adalah buah aktivitas dialog azali-ilahi dengan nisbi-manusiawi. Konsekuensi ini menjadi lumrah karena kerelatifan manusia.
Editor: Prihandini N