Kesalahpahaman sebagian orang tentang Islam Nusantara tidak berdasar. Jika ada yang berkata Islam Nusantara ingin mengubah wahyu, maka itu tidak benar. Sebab, umat Islam sekarang tak hidup di zaman wahyu. Pasca era pewahyuan, tugas umat Islam adalah bagaimana menafsirkan dan mengimplementasikan wahyu tersebut dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Dalam kaitan itu, bukan hanya pluralitas penafsiran yang merupakan keniscayaan. Keragaman ekpresi pengamalan Islam pun tak terhindarkan. Itu bukan sebuah kesalahan, asal tetap dilakukan dengan menggunakan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Di tengah kecenderungan sebagian umat Islam untuk mendakwahkan Islam dengan jalan kekerasan, maka jalan damai Islam yang fondasinya telah diletakkan para ulama Nusantara bisa dijadikan solusi untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan. Harapannya, melalui jalan damai ini kemajuan di berbagai aspek kehidupan bisa dicapai. Bukankah dalam suasana damai, umat Islam bisa bekerja lebih produktif dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, memperbaiki perekonomian umat, dan lainnya. Sebaliknya, dalam situasi kekerasan yang tak berkesudahan, energi umat Islam akan terkuras untuk pekerjaan yang tak banyak gunanya bagi kepentingan izzul Islam wal muslimin, izzu Nusantara wa nusantariyyin, izzu Indonesia wa indunisiyyin.
Metodologi Islam Nusantara
Ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin membentuk tafsiran ajaran yang sesuai dengan ajaran universal Islam dan mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya akademik pertama itu dalam ilmu ushul fikih disebut takhrij al-manath, sedangkan upaya kedua disebut tahqiq al-manath.
Penjelasan sederhananya demikian. Pertama, takhrij al-manath sebagai kerja intelektual untuk membuat tafsir Islam yang relevan dengan konteks zaman. Salah satu hasil akademik dari kerja takhrij al-manath ini adalah dirumuskannya Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dicapai berdasarkan konsensus di kalangan para pendiri bangsa setelah sebelumnya terjadi perdebatan panjang di antara mereka. Nurcholish Madjid dengan meminjam bahasa al-Quran menyebut Pancasila sebagai kalimah sawa yang merekatkan seluruh warga negara.
Melalui penulusuran ini bisa dikatakan bahwa yang menyebabkan Pancasila dengan cepat diterima seluruh elemen bangsa, karena di dalam Pancasila itu terdapat sila bahkan sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, ada kekhawatiran sila pertama menimbulkan kontroversi penafsiran, maka dengan cepat Soekarno mengantisipasi melalui pidato politiknya tanggal 1 Juni 1945.
Bung Karno berkata:
“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya berTuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-Masih; yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw.; orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiaptiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan”.
Bung Karno tampaknya hendak menyerahkan soal ketuhanan kepada setiap umat beragama. Biarlah setiap umat merumuskan konsep ketuhanan sendiri-sendiri. Ketuhanan menurut Islam dirumuskan umat Islam, begitu juga ketuhanan menurut Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu dan Aliran Kepercayaan lain hendaknya dirumuskan umatnya masing-masing.
Atas dasar itu, NU merumuskan satu deklarasi tentang Pancasila termasuk tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo, 21 Desember 1983, NU menyatakan: 1). Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; 2). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam; 3). Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia; 4). Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
Sebagai konsekuensi dari itu, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. Rumusan dekralasi itu bukan hanya menunjukkan sikap politik NU untuk terus bertumpu pada Pancasila, melainkan juga merupakan penjelasan teologis NU kepada umat Islam mengapa umat Islam menerima Pancasila dan mengapa juga mereka harus ikut merawat Pancasila. KHR. As’ad Syamsul Arifin menyatakan bahwa mengamalkan Pancasila merupakan kewajiban bagi semua umat. Dalam perkembangannya, penerimaan NU terhadap Pancasila itu diikuti ormas-ormas Islam lain seperti Muhammadiyah.
Baca juga: Mengintip Muktamar dari Luar: Catatan Rombongan Liar
Tentang keunikan Pancasila, menarik memperhatikan penjelasan Izzat Mufti (pejabat tinggi Arab saudi) sebagaimana dikutip As’ad Said Ali. Dalam sebuah kunjungan ke Indonesia tahun 1980-an, setelah mendengarkan penjelasan tentang Pancasila di Museum Satria Mandala, Izzat Mufti menyatakan demikian: “Arab Saudi menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai landasan bernegara karena seluruh warganya adalah muslim. Indonesia yang multiagama menjadikan Pancasila sebagai dasar negara di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu keputusan yang benar dan tidak bertentangan dengan Islam”.
Dengan ini bisa dinyatakan bahwa Pancasila merupakan hasil ijtihad (takhrij al-manath) para pendiri bangsa Indonesia. Pancasila hanya ada di Indonesia, tidak ada di negara-negara lain. Ia dianggap paling relevan untuk menyatukan seluruh bangsa yang menganut agama yang berbeda-beda. Dengan perkataan lain, Pancasila adalah semen yang merekatkan seluruh warga negara yang berbeda latar belakang agama, budaya, bahasa, etnis, dan suku.
Kedua, yaitu tahqiq al-manath yang dalam prakteknya bisa berbentuk mashlahah mursalah, istihsan dan urf. Dengan merujuk pada dalil, apa yang dipandang baik oleh kebanyakan manusia, maka itu juga baik menurut Allah (ma ra’ahu al-muslimuna hasanan fahuwa inda Allah hasanun), ulama Malikiyah tak ragu menjadikan istihsan sebagai dalil hukum. Dan kita tahu, salah satu bentuk istihsan adalah meninggalkan hukum umum (hukm kulli) dan mengambil hukum pengecualian (hukm juz’i).
Sekiranya istihsan banyak membuat hukum pengecualian, maka urf sering mengakomodasi kebudayaan lokal. Sebuah kaidah menyatakan, al-tsabitu bil urfi kats tsabiti bin nash (sesuatu yang ditetapkan berdasar tradisi sama belaka kedudukannya dengan sesuatu yang ditetapkan berdasar al-Quran-Hadits). Kaidah fikih lain menyatakan, al-adah muhakkamah (adat bisa dijadikan sumber hukum).
Tentang urf atau tradisi, Abdul Wahab Khallaf membuat pernyataan demikian:
“Oleh karena itu, para ulama berkata: al-adat syari’ah muhakkamah (adat adalah syariat yang dijadikan hukum). Dan adat kebiasaan (urf) dalam syara’ harus dipertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum dengan bertumpu pada perilaku penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah dan para ulama pendukungnya berbeda pendapat dalam soal hukum yang diakibatkan perbedaan adat kebiasaan mereka. Setelah berdiam diri di Mesir, Imam Syafi’i mengubah sebagian pendapat hukumnya yang ditetapkan ketika dia berada Baghdad. Ini karena perbedaan tradisi (dua negeri itu). Karena itu, ia mempunyai dua pandangan hukum, yang lama (qaul qadim) dan yang baru (qaul jadid). Dan, dalam fikih Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan. Karena itu, ada ungkapan-ungkapan populer, “al-ma’rufu urfan ka al-masyruthi syarthan.”
Ini menunjukkan, betapa Islam sangat menghargai kreasi-kreasi kebudayaan masyarakat. Sejauh tradisi itu tak menodai prinsip-prinsip kemanusiaan, maka ia bisa tetap dipertahankan. Sebaliknya, jika tradisi itu mengandung unsur yang mencederai martabat kemanusiaan, maka tak ada alasan untuk melestarikan. Dengan demikian, Islam Nusantara tak menghamba pada tradisi karena tradisi memang tak kebal kritik.
Sekali lagi, hanya tradisi yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dipertahankan. Sementara tradisi yang bertentangan dengan universalitas Islam, maka harus ditentang. Islam adalah agama yang menentang satu sikap yang secara apriori memandang bahwa tradisi lelulur selalu baik dan harus dipertahankan serta diikuti. Sikap kritis terhadap tradisi inilah yang menjadi unsur penyebab terjadinya transformasi sosial masyarakat yang mengalami perjumpaan dengan Islam.
Ini juga karena Islam berpendirian bahwa tak boleh ada tradisi yang layak dipertahankan sekiranya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam. Izzuddin ibn Abdis Salam dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam menyatakan, tercapainya kemaslahatan manusia adalah tujuan dari seluruh pembebanan hukum dalam Islam, innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalihil ibad. Demikian pentingnya kemaslahatan tersebut, maka kemaslahatan yang tak diafirmasi oleh teks al-Quran-Hadits pun bisa dijadikan sebagai sumber hukum. Tentu dengan catatan, kemaslahatan itu tak dinegasi nash al-Quran-Hadits. Itulah mashlahah mursalah.
Dengan demikian, jelas bahwa dalam penerapan al-Quran dan Hadits, Islam Nusantara secara metodologis bertumpu pada tiga dalil tersebut, yaitu mashlahah mursalah, istihsan, dan urf. Tiga dalil itu dipandang relevan karena sejatinya Islam Nusantara lebih banyak bergerak pada aspek ijtihad tathbiqi ketimbang ijtihad istinbathi. Jika ijtihad istinbathi tercurah pada bagaimana menciptakan hukum (insya al-hukm), maka ijtihad tathbiqi berfokus pada aspek penerapan hukum (tathbiq al-hukm). Sekiranya ujian kesahihan ijtihad istinbathi dilihat salah satunya dari segi koherensi dalil-dalilnya, maka ujian ijtihad tathbiqi dilihat dari korespondensinya dengan aspek kemanfaatan di lapangan.
Contoh terang dari ijtihad tathbiqi adalah kebijakan Khalifah Umar ibn Khattab tak memotong tangan para pencuri saat krisis, tak membagi tanah hasil rampasan perang, tak memberi zakat pada para muallaf. Ketika Khalifah Umar dihujani kritik karena kesukaannya mengubah-ubah kebijakan, ia menjawab, “dzaka ala ma qadhaina, wa hadza ala ma naqdhi” (itu keputusanku yang dulu dan ini keputusanku yang sekarang). Perubahan kebijakan ini ditempuh Khalifah Umar setelah memperhatikan perubahan situasi dan kondisi di lapangan. Sebuah kaidah fikih menyebutkan, “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa al-adat” (perubahan hukum mengikuti perubahan situasi, kondisi, dan tradisi).
Mengambil inspirasi dari kasus Sayyidina Umar ibn Khattab tersebut, Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah hukum waris al-Quran misalnya, namun bagaimana hukum waris itu diimplementasikan sekarang. Dalam kaitan implementasi itu, di Indonesia misalnya dikenal harta gono-gini, yaitu harta rumah tangga yang diperoleh suami-istri secara bersama-sama. Harta gono-gini biasanya dipisahkan terlebih dahulu sebelum pembagian waris Islam dilakukan. Penyesuaian hukum ini dijalankan masyarakat secara turun-temurun, karena rupanya narasi keluarga Islam di Indonesia berbeda dengan narasi keluarga Islam di Arab sana.
Begitu juga, tak ada yang membantah bahwa menutup aurat adalah perintah syariat. Namun, di kalangan para ulama ada perbedaan dalam memaknai batas aurat. Ada ulama yang longgar, tapi ada juga ulama yang ketat dengan menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan bahkan suaranya adalah bagian dari aurat yang harus disembunyikan. Keragaman pandangan ulama mengenai batas aurat tersebut, tak ayal lagi berdampak pada keragaman ekspresi perempuan muslimah dalam berpakaian. Wallahu a’lam bish shawab…