Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Mengurai Islam Politik di Indonesia

Salman Akif Faylasuf

4 min read

Setiap kali membicarakan hubungan agama dan politik, kita seperti menemukan kesan ambigu bahkan absurd di dalamnya. Kesan ini timbul karena hubungan agama dan politik tidak terlalu jelas disebut dalam al-Qur’an. Ketidakjelasan inilah yang kemudian memunculkan beragam pendapat di kalangan umat Islam

Secara garis besar, dalam perkembangan modern, ada dua spektrum pemikiran politik Islam yang berbeda di mana keduanya tetap meniadakan Islam sebagai nilai yang dapat mengatur segala aspek kehidupan manusia.

Pertama, kalangan Islam yang beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar Negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang bangsa-negara bertentangan dengan konsep umat yang tidak mengenal batas-batas politik atau kedaerahan; dan bahwa sementara mengikuti konsep syura (musyawarah). Aplikasi itu berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam gagasan politik modern dewasa ini. Oleh karena itu, sistem politik modern bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Spektrum yang kedua berpendapat bahwa Islam tidak pernah meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus dijalankan oleh umatnya.

Pesan-pesan Al-Qur’an yang sering kali disakralkan oleh umat, terutama yang menyangkut ayat-ayat politik, pada satu sisi menjadi sumber justifikasi bagi umat Islam dalam mempraktikkan aktivitas politik. Namun, pandangan keagamaan yang multitafsir tidak jarang membawa kebingungan. Pada akhirnya, karena alasan keagamaan, perpecahan di antara umat Islam tidak dapat dihindari. Akar perpecahan itu sesungguhnya telah dimulai sejak pasca wafatnya Nabi.

Sejarah

Lihatlah misalnya golongan Sunni yang sudah membicarakan tentang suksesi kepemimpinan (siapa yang berhak menggantikan Nabi). Padahal Nabi baru saja wafat dan belum dikuburkan. Atau klaim Syi’ah yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling layak menggantikannya. Bahkan kalangan Sunni bersepakat untuk membatasi gerak politik kabilah lainnya dengan merumuskan kata-kata pagar betis: al-aimatu min Quraisy (para pemimpin yang pantas hanyalah dari kalangan Quraisy).

Kisruh politik yang terjadi pasca wafatnya Nabi pada mulanya belum dilarikan kepada klaim-klaim teologis. Akan tetapi, lambat laun, akibat perkembangan pengetahuan keagamaan di kalangan sahabat dan para pengikutnya, persoalan politik itu menjadi urusan agama. Maka disebutlah bahwa ada perbedaan pendapat soal agama dan politik, terutama yang menganggap bahwa agama—dalam hal ini teks al-Qur’an—juga mengatur urusan politik. Dengan anggapan seperti itu, politik merupakan urusan agama. Dengan demikian, memasukkan urusan politik ke agama dan atau sebaliknya menjadi absah.

Alasan yang bersifat hermeneutis dapat diajukan dengan menyatakan bahwa bahasa Tuhan yang bersifat sakral tidak mungkin terjabarkan secara utuh di tangan manusia yang terperangkap oleh ruang dan waktu. Oleh karena itu, pesan ketuhanan yang menyangkut urusan politik, meskipun samar-samar, haruslah ditafsir sendiri.

Argumentasi lain juga dapat diajukan, misalnya dengan mengatakan bahwa narasi al-Qur’an tidak mudah dihidupkan apa adanya kecuali peran mediasi dari masyarakat penafsir. Hal ini memang menjadi problem sendiri dan sepenuhnya menjadi masalah hermeneutika.

Akan tetapi, dari nalar seperti itu ada persoalan yang sering muncul, yaitu apakah dalam urusan-urusan empirik kemanusiaan seperti menyatukan pandangan politik, karena alasan berlindung di balik retorika fitrah perbedaan, lantas umat Islam tidak dapat meluruskan shaf dan merapatkan barisan?

Dan apakah juga karena hasil pembelajaran terhadap sejarah politik Islam pada masa lalu, utamanya pasca wafatnya Nabi Saw, lantas kalangan Islam masa kini tidak mampu mendekonstruksi konsep-konsep dasar politik dan sejarahnya yang selalu diwarnai perdebatan? Serta apakah perbedaan pada aras idealisme konsep menjadi faktor dominan terhadap pecahnya kelompok Islam politik?

Islam dalam Perpolitikan Bangsa

Kenapa pertanyaan seperti itu layak diajukan? Pertanyaan tersebut layak diajukan karena dalam sejarah perpolitikan bangsa kita, peran umat Islam belum signifikan dalam menerjemahkan nilai-nilai doktrin yang agung itu dalam ranah politik yang lebih konkrit. Islam sebagai pembebas misalnya, belum beroperasi secara signifikan. Lihat saja bagaimana umat Islam masih relatif bodoh dan miskin, yang tentu saja bertolak belakang dari makna Islam yang membebaskan.

Baca juga:

Hal ironis yang sering terjadi adalah kebalikannya. Idiom agama yang sering dipinjam oleh para politikus sering kali hanya diperankan sebagai alat penarik gerbong umat yang artifisial. Pengusungan tema syari’at Islam yang pada tiga tahun lalu kembali mencuat, jangan-jangan hanya sebatas menarik simpati politik. Atau, andaipun benar menjadi perjuangan yang tulus, bukankah tema itu tidak terlalu menguntungkan banyak pihak.

Secara normatif, gagasan syariat Islam memang menjanjikan. Namun, kita selalu mengalami kesulitan dalam implementasinya. Dan lagi-lagi, karena konseptualisasi syari’at yang memang sangat terbuka, tidak banyak hasil empirik yang dapat dipetik dari diskusi tentang tema seperti itu. Memang dari segi kebebasan mengekspresikan pendapat kita dapat menikmatinya, tetapi apa yang bisa diraih oleh umat Islam secara keseluruhan?

Cita-cita Islam yang rahmatan lil alamin dalam konteks Indonesia yang plural harus diakui mengalami kesulitan untuk diimplementasikan. Konsep ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) yang sering diusung organisasi keagamaan terbesar di Indonesia seperti NU, sebagai penerjemah dari etika Islam yang universal, setidaknya belum mendapat hasil yang memuaskan dalam kalangan publik.

Jangankan untuk sampai kepada prestasi ukhuwah basyariyah, potret ukhuwah islamiyah yang menjadi trade mark internal Islam, utamanya dalam pergaulan jagat politik, belumlah menemukan sejarah yang gemilang. Bahkan, sampai kini kita masih berkutat pada tarik-menarik kepentingan yang artifisial. Lantas adakah ukhuwah islamiyah dalam ruang politik?

Khusus bagi internal umat Islam, ada pertanyaan kritis yang sampai sekarang masih relevan untuk diajukan, yaitu apakah karena konsep Islam yang menghargai perbedaan pendapat, umat Islam sulit disatukan pandangan politiknya? Padahal keseragaman visi dan misi politik adalah modal terbesar untuk membangun aliansi strategis (bukan idiologis) untuk mencapai tujuan.

Pendapat ini tidaklah dimaksudkan untuk membangun sekterianisme yang tentu saja sedikit berseberangan dengan spirit demokrasi yang sekarang sedang menggeliat di Indonesia. Namun, lebih didasarkan atas semangat kebersamaan yang telah lama diabaikan oleh kalangan Islam. Sebagai i’tibar politik, kita bisa belajar dari sejarah perjuangan kalangan Islam yang selalu menuai kekalahan dalam perolehan suara dari pemilu ke pemilu.

Syahdan, Islam politik di Indonesia selama ini lebih menampilkan identitas Islam daripada nilai universalitas Islam. Perwujudan Islam politik di Indonesia lebih senang menunjukkan “merek Islam” daripada isinya. Islam lipstik kelihatannya lebih menarik dari Islam garam, dan banyak ungkapan lain yang menunjukkan bahwa betapa keindahan narasi dan pesan Islam yang terekam dalam Kitab Sucinya belum tercermin secara baik dalam perjuangan politik.

Orang-orang Islam yang memperjuangkan agamanya dalam ranah politik justru kerap terbawa oleh arus permainan politik yang acap kali mereduksi cita-cita luhur agama. Nilai-nilai agama yang dianggap memiliki kebenaran melampaui batas ruang dan waktu ternyata dalam praktiknya sering “dikebiri” oleh interest politik yang profan. Urusan keduniaan seperti perebutan kekuasaan politik dianggap lebih penting melebihi dari cita-cita agama seperti memperjuangkan keadilan, kesetaraan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Karena itu, maka tidak heran jika ada anggapan skeptis terhadap perjuangan para politikus yang membawa-bawa idiom-idiom keagamaan dalam politik praktis. Sebab, yang sering terjadi adalah penggadaian agama untuk kepentingan politik. Kesadaran moral agama para politikus acap kali terkikis oleh praktik politik yang pragmatis. Tidak sedikit kebijakan politik nasional didasari bukan atas pertimbangan moral dan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan partai dan segelintir elit politik. Seakan-akan Indonesia ini adalah milik partai politik dan para elitnya.

 

Editor: Prihandini Nur

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email