Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Sajak Jadzab dan Puisi Lainnya

Madno Wanakuncoro

6 min read

Wilayah Abu-abu

“apa warna dari rasa cemburu?”
seorang ilmuwan melempar tanya
di podium remang
perkumpulan ateis di Amerika

ia mengulas tujuan dari tujuan
yang tak lain adalah pandu maya
di perahu nasib
yang kangen melepas jangkarnya

“mari singgah ke tempat berjudi harapan”
: hidup namanya

lalu berlatih hingga menjadi daun
yang lekas gugur dari pohonnya
sembari mengurai kemelekatan berahi eksistensial
yang mustahil

siapa yang tak ingin dikenang oleh siapa-siapa?
itulah aku sekaligus bukan aku
dan kata “aku”
hanyalah sebuah ruang pertemuan
antara ya dan tidak
memang dan bukan
keperkasaan dan keringkihan

tapi tahukah kau bagaimana suara
dari purnama?
suatu impian semu
bayangan yang terpantul
dan pecah
di permukaan telaga

andaikan pun ada yang paham apa warna dari rasa cemburu
dan suara purnama
masihkah ada yang bisa
menjelajah ruang abu-abu
yang bergelayut di kepalaku

apalagi di antara terik dan gerimis
ada mata yang kosong
tersamun daun yang jatuh
mengalun perlahan
menunggangi angin
lantas membentur wajah purnama
di permukaan telaga

tapi tahukah kau bagaimana rasanya menjadi narcissus?
dibekuk cinta yang terkutuk
tanpa sempat mengenyam asyiknya
berpuisi untuk selain diri sendiri.

[Secangkir Jawa, Agustus 2022]

Infodemic dan Overdream

ke manakah arah kiblat yang tepat
jika poros bumi bergeser
menghadap ke pusar-pusat oligarki?

banyak yang tak sadar ada ribuan jemaah
bersujud khusyuk di bawah kaki mereka

dan jika ada satu kata yang dapat mewartakan zaman ini
apakah ia?
implosion, anomi, atau sambatologi?

ketiganya sudah khatam
bersamaan dengan puspagejala ledakan ke dalam

mulai dari infodemic, generasi overdream, es mencair di kutub utara,
anoa yang punah, cendrawasih tinggal fotonya, hingga
soal koral yang memutih, biota laut dirasuki jin mikroplastik
tambang menggurita
udara dan air bersih akan langka
—barangkali kelak jadi komoditas
untuk dijual di asongan tepi jalan
dan persimpangan lampu merah

ah, jangan kejauhan khotbah soal humanoid
sementara keringkihan anakmu saja terancam stunting

adakah yang bisa menjamin hari esok
akan terbit lagi mentari dan senyuman?
bibir mengeluh soal padi bertubuh tembaga
berbiji plastik
tanah yang mandul
pertalite, ah, sudahlah
semua tak lagi ramah
bahkan untuk sekadar suket teki

di dalam kultur anomi demonic society ini
akankah tiba waktu
untuk nisanku dimaki-maki
oleh generasi masa depan?

akankah masih bertahan
sesaknya ruang yang tak lagi muat
untuk mewadahi keluh kesah penghuni mendatang?

[Blandongan, 26 Agustus 2022]

Sajak Jadzab

1/

Seorang kakek-kakek berkumis putih berjanggut merah bertanya pada cucunya yang lumpuh dan autis. Tapi hanya tersisa teriakan dan raungan motor para lulusan SMA dengan baju puspawarna itu membisingkan para petani yang sedang mencangkuli sawah demi anaknya yang ingin lanjut sekolah.

“Orang jadzab itu apa?” kata seorang santri pada kiainya.
“Jadzab itu ketan yang digoreng, Kisanak.”
“Itu jadah, mbah Yai.”

Mbah Yai tertawa dan tak berniat menjawab yang sebenarnya.

Kata-kata menggantung di pundak para musafir yang kehabisan air minum dan tak punya tempat singgah. Tidak seperti dulu, masjid-masjid terbuka, kini dikunci semua. Ucap salah satu pengurus masjid, takut dibobol uang kotak amalnya. Ia khawatir pada uang yang bukan miliknya sendiri. Alangkah luar biasa perhatiannya orang jaman sekarang … rang … rang … rangkulan ibu yang berpeluh, penuh, penuh … nuh … nuh … dan bahtera Nuh, diseok-seokkan badai, jijai, pertikaian anjing dan kucing, gantung kelamin kuda dan kekaguman sapi padanya. Belum klenik kutukan berparade lomba makan tahi, di sudut Atlantis orang-orang durhaka.

Sepotong kue surga yang dicucuki burung-burung ababil, dan diludahi Azazil, dipetingkrangi anak-anak tuyul hasil para manusia yang onani di kamar mandi kampus, atau masjid, musala, atau ka’bah, dan gelanggang bertarung—yang dipenuhi oleh sperma hitam, menajiskan hajar aswad. Kelang-kelok bersemayamlah malaikat pencatat buku dengan kacamata cahaya, tanpa peci, juga berperangai bak sekretaris para kapitalis yang menunggingkan pantatnya, dan payudara sintalnya di hadapan bos, cukong, tokeh-tokeh, dan tauke, cakue, kue … kuwew wew … wewwewe … wewe gombel … bell … bell.

Bel kiamat telah dideringkan, memekakkan telinga Yakjuj-Makjuj yang sebesar gajah. Di telapak ibu pertiwi, mengangkangi para pendakwah yang haus darah, dan amplop, bersegel podium gengsi, dan puja-puji para jamaah yang lugu, sampai tak sadar kalau mereka telah dibikin dungu.

2/

Ledakan bom di 4 titik di Surabaya, menghujat tepat di wajah para pelayat istighosah akbar, di markas polisi, berkantung harga diri yang telah dibolongi oleh kelamin-kelamin Jim Moriarty yang selama ini Sherlock Holmes bersembunyi di jasadnya.

Jim Moriarty sedang berdansa dengan aransemen musik à la Ska, Salsa, Reggae, Symphony 7 Beethoven, dengan mencangking rekaman jejak-jejak kalang kabut di sepanjang Jalan Sepanjang.

Bonek main mulut besar, mencatat, mencoret-coret banner, mencoreng-morengi spanduk dengan kata-kata arogansi. Arema tak mau kalah dengan sunggingan senyum mereka yang konyol. Dan akh … akh, akh … Suporter bola berlagak seperti surga ingin dibakarnya saja lah!

Lah, lah, lah!

Robi’ah al-Adawiyah kan hanya bercanda, pura-pura mendramatisir demi membeli segepok kemesraan dengan Tuhannya … nya … nyaaalang yang tak terbeli sama sekali. Dan tak mudah dirayu dengan gombalan receh, yang sering bergemerincing di kotak-kotak amal yang berkaki dan berjalan di sepanjang khotbah, ketika salat Jum’at dilandingkan.

3/

Sementara sisifus dan sifilis bertandang main-main dengan serapah anjing…di lapangan kata-kata, dengan muka durjana, lidah bercabang seperti ular. Ssss … ssss … sss … Desis, siiss, ssstt!

Siut angin ingin kusetubuhi. Tapi sayang ia tak berupa, tak bertubuh, tak tersadap kamera yang sering disembah-sembah generasi mandul … bernama Milenial! Hasil perzinahan bapak bernama globalisasi dengan pelacur bernama industrialisasi.

Jiancuuk … cuk … cuk … cuk, kukuruyuk …

Di Sunda, para manusia melakukan lipsync kokok ayam dan menyimpulkan dengan teriakan kongkorongkong! kong … kong … Kong! Mau beli kerak telor satu dong!

Di Madura, para laskar Sakera sedang kesurupan McDonald. Sate ayam tampaknya lebih nyaman untuk ditinggalkan. Karena kuno. Tidak modis. Non-higienis.

Asyu, bang! Kau menghina sateku, Bang … bang …

Bangkai puisi bergelimpangan di Toba diguyur api kapal motor Sinar Bangun yang sesak dihimpit muatan. Nama yang konyol. KM Sinar Bangun yang membikin orang terlelap, di kegelapan air. Tanpa mimpi sama sekali.

4/

Ketika mereka bangun, ngun … ngun … ukuruyuk, kongkorongkong, kukurunuh … nuh, nuh, bahtera Nuh sudah hengkang dari peradaban. Tapi ruhnya masih menghantui Bumi Nusantara yang dibekap di bawah puting wewe gombel, kolong wewe, berwajah belia, laksana bidadari, yang bermukim di pinggiran Freeport, hijrah ke Newmont, imigrasi ke Semen Pati, dan ngejawantah … jadi lintah … yang haus darah … perawan yang laris di pasaran Dolly, Saritem, Sarkem, dan perjudian kelas Macau, Las Vegas, hingga Tenda Biru di Mojokerto.

Sebangun para korban yang disebut hilang itu, ada matahari berwarna kelabu, menyirami wajah mereka bagai Ashhabul Kahfi terlelap dalam goa kebinasaan akibat ulah keberingasan pemerintah selama 309 tahun lamanya. Mereka menukarkan selembar dluwang, mata uang keraguan, ke galangan pasar dan dicemoohlah mereka itu oleh para cukong, hamba pasar, dan hantu yang mengaku “Ma-nu-sia”. Dan mencoba meyakinkan mereka dengan klenik berbentuk kotak, kertas, kartu, disebutnya E-KTP, atau identitas, atau surat kawin, atau Passport, Visa, dan SIM, sim, simsalabim … abra gedabrus.

5/

Ada teriakan dari langit
menjemput mereka
tapi ada peluncuran roket yang menghalangi kepergian mereka
ke arah ketenangan.

Dan angin merasa putus asa sehingga ia menjadi bebal, cengkal, dan jengkel dengan roket di Jepang, sehingga menjatuhkannya kembali ke tanah … nah … nah, lho, kok bisa?

6/

Hulu balang, dari Rumi dan Hafezh, yang mungkin akan kenyang ditinju dengan puji-pujian klise dari Goethe, dan Karl Marx akan histeris mengamati dunia, melihat kenyataan ideologi guyonannya ternyata dikultuskan sedemikian gila.

Hingga … saking gilanya, disembunyikan pada pita waktu
bertuliskan: sembilan belas enam puluh lima.

Hancurr … cuurr … cooorr … coorrr dan coro-mental—coro-generasi sekarang, yang bersujud-sujud dengan aturan, berkedok kerapian, dasi, jas, dan sepatu kulit pantofel atau Nike yang tidak manusiawi memperlakukan para buruhnya, yang bekerja 45 jam seminggu, dengan berdiri, tanpa duduk sama sekali.

Kalau aku berteriak, “Merdeka!”
maka jangan kau percaya dengan mantra kosong itu, yang padahal dulunya berisi simak dan aura yang mandraguna.

7/

Kini artis bukanlah seniman. Kini kyai bukanlah pendulang kasih sayang. Dan dosen bukanlah pencerah pengetahuan. Semua … mua-mua itu, menjadi set-set, belatung-belatung, dan laler-laler yang mengerubungi bangkai anjing seperti legenda penciptaan dunia, yang konon hanya tempat singgah meneguk arak bali.

Affandi, Salvador Dalí, Pablo Picasso, atau yang berkeprihatinan itu seperti Nietzsche, Van Gogh, atau si bunuh diri Ernest Hemingway, Kurt Cobain, atau yang malang seperti John Lennon, Bob Marley, Srimulat, Warkop DKI, Supali, hingga yang sok gagah macam Jean-Paul Sartre yang dengan kelemahannya menolak anugerah Nobel Sastra yang besaran jumlahnya bisa membeli satu pulau tropis di Asia. Atau si fisikawan marginal bernama Nikola Tesla.

Tapi aku lupa bahwa Leo Tolstoy dan Fyodor Dostoyevsky meraung-raung dalam kesunyian. Dalam dunia kedap suara dan kedap telinga.

Sementara Gandhi geleng-geleng kepala, meningali konflik-konflik pecah di mana-mana. Tiada yang menghiraukan kata-katanya, selain untuk dikutip, dipenggal, diambil-sulam, tambal-ban, di buku-buku yang ingin laris, sok idealis. Atau di skripsi, tesis, disertasi, yang pada akhirnya toh, jadi bungkus gorengan.

Atau di diktat-diktat perguruan tinggi, yang sekadar memenuhi isi kuota rak-rak kosong di perpustakaan yang berdebu, ditinggal pengawasnya untuk main sosmed, sesekali ngetwit kan tak apa. Atau bergurau di TikTok?

8/

Dan akhirnya rambut cahaya malaikat pun habis jadi rontok, akibat digaruk-garuk keheranan melihat tingkah polah para manusia.

Sementara Umbu Landu Paranggi bertanya, “apa ada angin di Jakarta”.

Yang ada hanyalah angin Korea, angin Utara, angin Kolera, angin Sapoetra, angin Sampoerna, angin Gudang Garam Surya, dan angin tutt … kentut … takye.

Manusia sudah tidak pulang lagi ke desa untuk membangun esok hari, sebab mereka telah kehilangan huma berhati, yang digerus oleh gelombang keserakahan dan kemaruk yang merajalela, lela, lelaaa … aku liloo … anjing!

Jing, anjing, anjing, anjing kintamani
beli dari pulau Bali

Itu kata Shaggy Dog yang bermakna leksikal anjing.

Hey, hentikan diskriminasi pada kata anjing! Kau, manusia, menggunakan itu sebagai ujaran kebencian, hujatan, dan makian, yang seolah tak senonoh. Sementara kau sendiri tak sadar bahwa dalam dunia anjing, kata “manusia”-lah yang jadi bahan olokan di antara mereka.

9/

Alkisah ada seekor manusia yang bernama Anjing. Ia berjalan di pelataran kompleks Setiabudhi dan tak disangka, ada seorang anjing beneran lewat di seberangnya. Tiba-tiba ada teman dari manusia bernama Anjing ini menyapa, “hey, njing, anjing!”

Maka si manusia bernama Anjing pun menoleh, begitu pula si anjing asli yang non-hoaks ini pun ikut menoleh. Lantas si anjing asli pun merecok, “Dasar manusia! Woo, maunya disamakan sama kita-kita para anjing ini, ya. Dasar jelema!

Seakan mengerti ucapan si anjing asli ini, manusia bernama anjing pun membalas, “Gukguk … gukgukguk, guuuk … guk!”

Artinya kira-kira berbunyi, “Hey, kau, harusnya bangga dong, namamu dipakai oleh para manusia yang konon makhluk sempurna ini. Woo, dasar anying!

Anjing asli pun melengos, “Akh … sok pinter ngeles si anying mah. Kehed!

Dan di tengah semua itu ada putaran film di angkasa tentang Al-Hallaj, Siti Jenar, hingga Ibu Sud, sibuk membaca dusta-dusta dimensi nyanyi-nyanyi pancasila, tanpa mau merenungi apalagi menerapkannya.

Untuk apa kau suguhkan pembangunan fisikku dalam gedung-gedung tinggi, rumah kaca, rumah derita, mercusuar agung … masjid akbarrr … keramik marmer, dan sedangkan tetangga makan nasi basi dengan lauk laler, ulat, dan sambat.

[Bandung, Agustus 2018]

*****

Editor: Moch Aldy MA

Madno Wanakuncoro
Madno Wanakuncoro Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email