Kalau truk agen barang milik Om Adi singgah di warung Haji Usin, aku suka naik ke baknya. Aku suka dan takjub melihat apa yang dibawa, barang-barang yang disusun di bak ditutupi dengan terpal tebal.
Mamaku selalu melarang, jangan naik oto orang. Mengganggu saja. Nanti dikira kamu yang curi kalau ada barang orang yang hilang atau rusak. Aku tak peduli, aku bilang cuma mau lihat, tak mau mencuri.
Om Item, sopir merangkap tukang angkat barang itu pun selalu biarkan saja aku naik ke truknya. Paling-paling hanya menegur kecil, pura-pura marah. Hei, anak kecil, kamu jangan naik, nanti jatuh …
Aku tak pedulikan tegurannya.
“Itu apa, Om?” kataku menunjuk kardus besar.
“Itu rokok!” jawab Om Item.
“Kalau itu?” tanyaku lagi, tunjuk karung goni.
“Kacang hijau,” kata Om Item.
Aku mau tunjuk terus, mau tanya terus. Banyak barang aneh di situ, bau-bau aneh, macam-macam, tapi Om Adi panggil Om Item. Tem, turunin arum lima pak, ngebut dua pak, bokor mas satu, sama ekonomi satu dus.
“Sini, Om, aku bantu!” kataku.
“Ah, tak usah. Anak kecil, ganggu saja kamu …”
Kalau semua barang belanja Haji Usin sudah turun, truk Om Adi jalan lagi ke arah Muara Jawa. Singgahi warung-warung lain, sampai ujung nanti, kalau hari sudah senja mau malam, baru dia balik arah lagi, pulang ke Balikpapan.
Aku ambil bola. Main bola sendiri di halaman rumah sendiri. Tendang-tendang ke langit.
Giring, kejar, sampai bosan. Tendang lagi tinggi ke langit! Aku mau coba tendangan voli. Aku tunggu bola jatuh, tengok cermat ke arah bola. Langit terang bikin silau. Pas kutaksir bola tepat pada posisi sepakanku, maka kaki kuayun. Aku tak tahu ke mana arah bola.
Tendangan keras sekali, bola melesat ke teras rumah, kena kembang sri rejeki di teras rumah. Dua batangnya patah!
Aduh, bagaimana ini? Mama pasti marah sekali!
“San! Suara apa itu?” teriak mama dari dalam rumah, dia sedang lipat dan setrika baju-baju.
“Bola, Ma!”
Aku lekas ambil dua batang sri rejeki yang patah. Bawa lari ke kebun belakang. Di sudut terlindung rumpun kunyit, dua batang itu kutanam. Lalu lekas kembali ke teras. Bekas patahan tertinggal kuolesi tanah. Kusapu-sapu biar tampak seperti patahan lama. Beberapa daunnya yang patah lekas aku buang jauh-jauh. Pokoknya aku hilangkan jejak.
Kalau mama tahu apa yang terjadi pada kembang sri rejekinya dia pasti marah besar.
Kembang sri rejeki ini kesayangan mama. Kata mama itu kembang pembawa rejeki, seperti namanya. Dia punya satu pot besar, satu itu saja. Dia selalu bawa ke mana pun kami pindah.
Dari rumah petak di Pasar Bakti, pindah beberapa kali lagi, sempat juga kami tinggal di rumah kebun, sampai di rumah yang kami tempati saat ini, rumah kami sendiri. Mama ada piara bunga lain, tapi sri rejeki ini yang paling istimewa baginya.
“Ini peninggalan nenekmu. Cuma ini, satu-satunya,” kata mama. Nenek meninggal ketika melahirkan adik mamaku. Mama waktu itu umur lima tahun. Nenek meninggal sebelum sempat melahirkan. Mati bersama bayi, mati bungkus kata orang kampung kami.
*
Sore hari itu, Haji Bahriah singgah di rumah kami. Bungkusan kain dagangannya sudah mengecil. Biasanya besar bikin punggungnya seakan mau patah. Itu tandanya dia akan segera kembali ke Banjar, ambil dagangan lagi. Itu juga tandanya dia mulai nagih ke pelanggannya orang-orang kampung. Termasuk mamaku.
Mama kemarin ambil bahan batik buat pakaian sekolahku. Sekarang hari Jumat murid-murid harus pakai baju batik. Pakaian nasional, kata pak Murjani, kepala sekolah kami. Instruksi presiden, katanya.
“Besok saya pulang, bayar separo saja dulu tak apa kalau belum bisa bayar lunas,” kata Haji Bahriah.
Mama janji malam hari nanti dia antarkan uangnya. Haji Bahriah tinggal di rumah kulaannya, Haji Inah, tetangga kami, tak jauh dari rumah kami.
Mama tanya bapak, apa dia ada simpan uang lebih. Kata bapak baru saja dia bayar upah Julak Zakaria gali got. Mama tampak bingung. Dia kemarin bikin minyak kelapa tapi belum laku. Warung Haji Usin masih banyak stok. Lagi pula sekarang ada minyak kota, minyak sawit bermerek. Minyak kelapa bikinan orang kampung kami jadi murah dan kurang laku lagi.
“Kembalikan saja kain batiknya, Ma. Belum dijahitkan juga kan?” kataku. Aku merasa bersalah bikin susah mama. Aku yang desak dia beli batik. Ditambah lagi baru saja aku patahkan kembang sri rejekinya.
Jangan-jangan, aku jadi berpikir, rejeki mama terhalang karena aku rusakkan kembang sri rejekinya? Aduh, aku makin merasa bersalah.
“Jangan. Semua anak sudah pakai batik. Cuma kamu yang belum. Itu Haji Bahriah sudah kasih harga murah sekali. Malu kalau harus mama kembalikan. Barang sudah kita beli …” kata Mama.
Aku tanya mama berapa harga batik itu. Dia sebut satu jumlah yang tak terlalu besar tapi kami sedang tak punya uang. Kata Haji Bahriah tadi, bayar sebagian saja dulu tak apa-apa, asal ada buat tambah ongkos dia pulang dan modal belanja kain lagi.
Aku harus bantu mama. Tapi bagaimana caranya? Aku ingat Ipul kemarin mau beli bolaku.
Kalau dia masih minat aku jual saja ke dia. Apa lagi yang bisa kujual? Apa lagi yang bisa kulakukan agar bisa dapat duit? Si Ami kemarin kuingat minta digambarkan ayam jago. Aku bisa minta upah gambar dari dia. Ayahnya Si Ami baru saja selesai bakar kopra, artinya dia perlu banyak tenaga upahan buat cungkil kopra.
Seharian itu sampai aku pulang sore sudah mau senja semua rencana itu aku jalankan. Aku bisa kumpulkan sedikit uang, tapi masih jauh dari yang dibutuhkan mama buat bayar kain batik.
Aku kasih uang itu ke mama. Mata mama basah. Tadi mama mau pinjam uang ke warung Haji Usin, dia tak kasih, kita masih ada utang juga di sana, ambilan bahan kue. Lagipula kalau bapak tahu kita berutang dia pasti marah.
Aku duduk di teras. Pandangi pot sri rejeki. Tadi posisinya aku putar, bagian yang patah hadap dinding. Sekarang posisinya balik ke semula. Siapa yang putar balik? Mama kah? Dia sudah tahukah ada batangnya yang patah? Aku makin merasa salah.
“Mandi sudah sana, Nak …” kata Mama. Aku jawab iya. Pas aku berdiri, mobil truk Om Adi lewat, jalan pelan dan singgah di depan warung Haji Usin.
Om Adi turun dan jalan ke rumahku. Aku kaget dan berdiri. Tak pernah-pernahnya begitu. Apa ada barangnya rusak? Atau hilang? Aduh bencana lagi ini.
Dia bilang, eh, anak kecil mana Mamamu? Aku lari masuk rumah panggil mama.
“Ada apa, Om Adi?” tanya Mama.
Om Adi sedang jongkok dekat pot sri rejeki. Tengok-tengok dengan kepala miring kiri kanan. Pegang dan elus-elus daunnya yang panjang, lancip, dan hijau dengan hiasan warna putih seperti sapuan cat air.
“Ini kembang sri rejeki kan?” kata Om Adi. Mama mengiyakan. Om Adi lantas cerita mamanya yang sudah tua, yang suka tanam bunga, minta dicarikan bunga itu. Dia tanpa tawar bilang mau beli bunga punya mamaku. Dia sebut satu harga yang bikin mama berpandangan denganku. Aku bingung. Besar sekali. Cukup buat bayar batik bahkan ada sisa banyak.
Om Adi keluarkan dompet, tarik berapa lembar uang kertas, lantas kasih uang itu ke mama. Ia lalu suruh Om Item ambil dan angkat bawa ke truk itu bunga sama potnya. Dia berkali-kali bilang terima kasih pada mamaku. Mama balas bilang terima kasih.
Aku lega tapi merasa makin bersalah. Kalau bunga itu terjual, apa rejeki keluarga kami akan jadi makin sulit?
“Maafkan aku, ya, Ma. Karena batik itu mama harus jual bunga kesayangan Mama …” kataku.
Mama senyun saja, dia ambil dan lempar handuk ke arahku.
“Tak apa. Berarti benar bahwa sri rejeki itu tanaman pembawa rejeki. Saat kita susah, rejeki Allah datang lewat dia …”
Kataku, “Tapi, kita tak punya bunga itu lagi?”
“Nanti kita cari bibitnya, kita tanam saja lagi …”
Aku senyum, teringat dua batang sri rejeki yang patah tadi pagi yang kutanam di balik rumpun kunyit di kebun belakang.
Jakarta, 17 Agustus 2022.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Serasa dibawa ke masa kecil.
Terakhir baca cerita dari sudut pandang anak kecil yang kedengaran seperti anak-anak sedang bercerita ya Na Willa. Di sini saya kembali mendengarnya lagi. Apik!