Siang pekerja, malam membaca dan menulis.

Merespons Konvoi Islam Puritan

Andika Aji Mabroery

3 min read

Hidup di tengah maraknya puritanisme Islam memang menyebalkan. Alih-alih berpikir dan bertukar pikiran dengan nalar, yang sering terjadi justru penyerangan berbasis kelompok gara-gara perbedaan pandangan. Oleh para puritan, sembarang perbuatan dihalalkan untuk menyerang mereka yang berbeda cara pandang, mulai dari asal cap sebagai kelompok liberal dan sekuler hingga penyerangan terhadap pribadi ulama.

Bodohnya, terkadang kita jadi ikut-ikutan ribut menanggapi para puritan, misalnya dengan urun opini dalam tweet war. Padahal, tweet war jelas bukan cara yang tepat untuk berdialog dengan sehat alias sekadar ajang debat kusir. Saat tweet war, poin-poin informatif dari “lawan” kerap luput dicerna karena orang-orang keburu terobsesi untuk saling menghakimi dengan membabi buta.

Menurut Idahram, semangat purifikasi telah ada sejak awal tahun 1980-an. Saat itu, mulai berkembang dakwah Islam dengan corak yang berbeda. Semangat purifikasi tidak hanya berbentuk pergulatan ide dan gagasan, tetapi meluas hingga menjadi sebuah gerakan. Elemen-elemen gerakan dakwah Islam di era itu mendapat pengaruh dari luar Indonesia lewat kelompok-kelompok seperti Ikhwanul Muslimin, HTI, FPI, Laskar Jihad, dan Khilafatul Muslimin. Mereka inilah otak dan penggerak konvoi yang menyerukan kebangkitan khilafah.

Baca juga:

Islam Moderat

Bruce B. Lawrence beranggapan bahwa Islam terdiri atas banyak hal. Islam dengan nilai dan arti yang sama melukiskan berbagai macam kelompok, tanpa ada lokasi tunggal ataupun budaya seragam yang identik dengan Islam. Dengan kata lain, Islam merangkul kemajemukan budaya dan lokasi, serta mengakui bermacam-macam jalan menuju Tuhan yang sama, yaitu Allah.

Di Indonesia, Islam sebenarnya telah mapan sejak dahulu dalam bentuk Islam tradisional. Islam tradisional mengelaborasi dan mencari titik temu antara tradisi lokal dan tradisi Islam tanpa menghilangkan pengamalan syariat yang sesuai dengan Al-Quran, hadis, dan ijtihad ulama. Belakangan, berkembang pula Islam berkemajuan. Keduanya merupakan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur Islam moderat.

Gramsci pernah berteori bahwa di dalam masyarakat selalu ada pluralitas cara pandang atau ideologi. Persoalannya, cara pandang manakah yang valid? Menurut Gramsci, cara pandang yang valid adalah cara pandang yang rasional. Di samping itu, cara pandang tersebut juga harus memiliki otoritas, serta kemampuan memobilisasi, memolitisasi, dan mereformasi.

Kemampuan memobilisasi, memolitisasi, dan mereformasi merupakan elemen solidaritas yang menentukan dan memungkinkan pembentukan blok historis. Menurut Salamini dan Simon, blok historis adalah kesatuan antara infrastruktur berupa tenaga produktif dan hubungan produktif dengan suprastruktur berupa tatanan institusional dan kesadaran kolektif. Dalam konteks Islam moderat, elemen solidaritas tersebut adalah Islam tradisional dan Islam berkemajuan.

Menurut John L. Esposito, kemapanan Islam sudah ada jauh sebelum terbentuknya dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni NU (Islam tradisional) dan Muhammadiyah (Islam berkemajuan), tepatnya pada abad ke-13. Islam di Indonesia kemudian berkembang pesat pada abad ke-15 dan ke-16. Awal penyebaran agama Islam di Indonesia dilakukan oleh para pedagang dari Gujarat dan Malabar, serta orang Arab, khususnya Hadramaut.

Umumnya, penduduk Indonesia memeluk dan mengimani ajaran Islam secara damai. Ajaran Islam yang masuk kala itu tidak melenyapkan unsur lokal, melainkan mengakomodirnya dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Sikap para pendakwah Islam yang permisif dan akomodatif terhadap tradisi-tradisi lokal inilah yang menjadikan Islam tumbuh subur di negeri ini.

Baca juga Kegamangan Nalar Religius

Tiga Postulat

Sekurangnya, ada tiga asumsi yang menjelaskan bagaimana puritanisme Islam menjadi marak sejalan dengan masifnya penyebaran dan pengikut ajaran ini di media-media online. Pertama, tidak ada standar bobot mutu bagi kegiatan belajar dan mengajar Islam di kalangan puritan. Alhasil, banyak figur-figur “pendakwah” tak berkompeten yang bisa dengan begitu mudah mendapat panggung dan memengaruhi banyak orang di dunia maya.

Kedua, adanya perbedaan cara pandang dan perilaku berinternet antara orang-orang moderat dengan puritan. Cendekiawan dan santri yang mengenyam pendidikan pesantren dan sekolah asrama yang ketat cenderung kurang akrab dengan media-media online. Frekuensi kehadiran mereka di internet jauh lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang puritan. Akibatnya, pemberitaan tentang Islam yang rahmatan lil alamin, serta berkemajuan dan moderat juga jauh lebih sedikit daripada pemberitaan tentang Islam puritan.

Penganut Islam puritan sangat militan menjalankan prinsip-prinsip seperti “kami dengar, kami taat” dan ” sebarkan walau hanya satu ayat”. Sepintas, perilaku seperti ini tampak baik-baik saja. Namun, perilaku asal taat dan asal berbagi ini jugalah yang kerap menjerumuskan orang dalam aliran Islam yang ekstrem. Contohnya sudah sangat banyak, mulai dari penyebaran konten dakwah yang mempromosikan sistem pemerintahan khilafah, seruan untuk melakukan aksi-aksi terorisme dan ekstrimisme, hingga konvoi-konvoi reaksioner.

Ketiga, khazanah keislaman memerlukan adanya revolusi atau, setidak-tidaknya, reformasi. Para pembaharu muslim di Dunia Islam masa kini mengakui perlunya perubahan fundamental dalam melihat Islam. Mereka menghendaki agar pemahaman terhadap hukum Islam ala abad pertengahan ditinggalkan tanpa menanggalkan visi keadilan, kesetaraan, dan keindahan yang berakar dari Al-Quran.

Para pemikir non esensialis berargurmen bahwa Islam sangat mungkin berubah. Sebab, Islam adalah agama dinamis yang mampu melewati berbagai tantangan sejarah. Islam adalah agama universal yang diklaim berlaku untuk segala zaman dan tempat atau salih li kulli zaman wa makan. Hal ini menegaskan bahwa Islam bisa mengalami reformasi (islah). Sebuah hadis mengatakan bahwa, “Ada setiap awal abad, Tuhan akan mengutus kepada umat ini orang yang akan memperbarui agama.”

Berbagai konsep rasional dalam fikih Islam seperti ijtihad dan maslahah (kepentingan umum) membuktikan kesiapan Islam untuk berubah. Tidak seperti kaum esensialis, para pembaharu muslim sangat yakin bahwa Islam yang telah direformasi masih tetap Islam. Bahkan, sejarah mencatat bahwa reformasi dalam Islam sebetulnya bermula jauh sebelum abad ke-19. Sarjana muslim di masa klasik seperti Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) dan Taqi al-Din ibn Taymiyyah (1263-1328) biasa dianggap sebagai pembaharu muslim.

Gerakan reformasi Islam abad ke-19 berbeda secara radikal dengan reformasi di masa klasik. Gerakan reformasi abad ke-19 muncul pada masa suram, yakni ketika Dunia Islam berada di bawah dominasi kekuatan kolonial. Yang jadi perhatian umat dalam komunitas tersebut adalah bagaimana cara menjadi modern tanpa meninggalkan iman?

Mereka tidak hanya peduli pada gagasan seperti kembali ke kemurnian ilmu agama (ihya ‘ulum al-din) seperti yang pernah dilakukan Al-Ghazali atau bagaimana membangkitkan kembali keaslian Islam sebagaimana dilakukan Ibn Taymiyyah. Gerakan reformasi Islam abad ke-19 juga mementingkan tentang bagaimana menghadapi serangan peradaban Barat dalam segala bentuknya, serta perubahan cepat sejarah manusia.

Baca juga:

Arab Saudi telah memulai reformasi ajaran Islam. Namun, bagaimana penerapan reformasi ini dalam hal membangkitkan kembali ilmu agama dan otentisitas Islam? Lalu, apakah mengembalikan kemurnian ilmu agama dan keaslian Islam secara serta-merta berarti seruan untuk menggaungkan khilafah dan ikut larut dalam puritanisme? Mari kita renungkan bersama!

 

Editor: Emma Amelia

Andika Aji Mabroery
Andika Aji Mabroery Siang pekerja, malam membaca dan menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email