Dirgahayu Republik Indonesia dari Sihaporas

Jakob Siringoringo

2 min read

Tanggal 17 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo kembali mewarnai perayaan HUT ke-77 RI dengan memakai pakaian adat Dolomani, Buton, Sulawesi Tenggara. Sekali lagi, Presiden mengirim sinyal penanda nusantara sebagai identitas yang sangat bermakna dan kuat bagi negara kepulauan kita. Sayang, saya mengasumsikan bahwa sinyal tersebut bersifat timbul dan tenggelam. Timbul sehari lalu tenggelam hingga setahun kemudian.

Upacara HUT RI ke-77 itu dipenuhi peserta yang mengenakan ulos, selendang khas Batak Toba. Mereka terdiri dari ibu, bapak, pemuda adat, sampai anak-anak.

“Kepada pembina upacara, hormaaaat grakkk!” seru pemimpin upacara.

Serentak peserta upacara melayangkan hormat dan menurunkannya segera sesuai aba-aba yang mereka dengar. Satu per satu protokol upacara pengibaran bendera dibacakan. Sang saka Merah Putih telah mengudara di ujung tertinggi tiang bendera.

Hingga tiba saatnya berefleksi “mengenang jasa para pahlawan”, Ompu Morris Ambarita, sang pembina upacara, sudah berdiri tegak di hadapan barisan. Hanya tiga langkah dari tiang bendera, ia tampak mengenakan tali-tali (ikat kepala khas Batak Toba) dipadu setelan batik lengan panjang serta satu selendang ulos Ragi Hotang tergerai di bahu kanannya. Dari situ, ia menyampaikan refleksinya secara terstruktur dari yang umum sampai spesifik ke dalam internal perjuangan masyarakat adat Sihaporas.

Persis bunyi alinea keempat pembukaan UUD 1945, ia menggarisbawahi: kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hak kita, hak masyarakat adat. Mengusir penjajah bertujuan untuk merebut kembali tanah kita, tapi mengapa hidup di era kemerdekaan permasalahan serupa terulang lagi? Kita berjuang atas tanah adat kita yang sudah diwariskan nenek moyang secara turun-temurun. Sesungguhnya kita hidup di negara merdeka, tapi masyarakat adat di dalamnya masih berjuang hidup dan mati persis serupa zaman kolonial.

Masyarakat Adat Sihaporas

Masyarakat adat Sihaporas, Simalungun, Sumatera Utara adalah salah satu komunitas korban pembangunan industri perkebunan di tanah Batak. Hutan adat mereka kelak menjadi bagian dari konsesi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL), perusahaan milik Sukanto Tanoto, tanpa persetujuan mereka. Perpindahan status dari hutan adat menjadi konsesi bermula sejak 1985. Kala itu TPL masih bernama Inti Indorayon Utama (Indorayon) yang berdiri pada 26 April 1983. (Makalah Victor Silaen, 2005)

Sejak itu, masyarakat adat Sihaporas tak pernah lagi bisa hidup tenang seperti sedia kala. Memasuki dekade 1990-an, persoalan semakin menjalar ke berbagai bidang. Dari tadinya masih ditahap isu pergeseran keberadaan hutan, setelahnya mengarah pada diskriminasi dan kriminalisasi. Tahun 2002, Arisman Ambarita, yang sedang memanen cabai di ladangnya, dikriminalisasi dan ditahan selama delapan bulan. Tahun 2004, Mangitua Ambarita alias Ompu Morris Ambarita juga dipenjara saat memperjuangkan tanah mereka. Dua orang berikutnya, masing-masing Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita dibui pada 2019. (Roganda Simanjuntak dkk, 2021)

Untuk mencari penyelesaian persoalan, berbagai cara telah mereka tempuh, mulai dari berkirim surat kepada pemerintah desa, pemerintah daerah, sampai pemerintah pusat. Mereka juga melakukan audiensi ke DPRD kabupaten, pemkab, DPRD provinsi, pemprov, Kadis Kehutanan daerah dan provinsi, BPKH yang mengurusi Sumatera, Komnas HAM, KLHK, ATR/BPN, kementerian ini kementerian itu, Kantor Staf Presiden (KSP) hingga pengaduan terakhir ke Panglima Tertinggi, yaitu Presiden RI. Hasilnya hanya basa basi, janji-janji atau sama dengan nihil.

Baca juga:

Lain Penampilan, Lain Perbuatan

Memakai baju adat pada setiap perayaan HUT RI terlihat seperti kedok untuk menunjukkan keberagaman adat di nusantara. Sayangnya, penampilan badan saja tak cukup untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat adat. Nyatanya, hak-hak masyarakat adat ditindas demi nama pembangunan.

Memamerkan keberagaman dan kekayaaan  adat nusantara pada HUT RI memang baik untuk menimbulkan kembali rasa bangga dan nasionalisme. Namun, sinyal kenusantaraan yang sesungguhnya belum tertangkap jelas di lokasi-lokasi penanda itu berasal: wilayah-wilayah adat. Ia juga tidak terwujud atau terekam dalam tindakan yang memajukan kenusantaraan. Sebaliknya, sinyal keberpihakan pemerintah justru condong ke pemilik modal, seperti kebijakan pembuatan kawasan food estate, pertambangan, perkebunan, taman nasional, dll.

Saat Istana dengan gagah menunjukkan pakaian adat, masyarakat adat Sihaporas terpaksa harus bersiaga siang dan malam, panas dan hujan, tidur di tenda darurat untuk memastikan tidak terjadi kriminalisasi, teror mental lewat seragam aparat Polri maupun TNI, dan penggusuran berlarut-larut oleh TPL di tanah adat mereka.

Ancaman kedatangan rombongan polisi, tentara, atau gabungan keduanya adalah teror paling seram yang mereka rasakan. Kini mereka hidup dengan penuh kewaspadaan terhadap “serangan” aparat kiriman TPL.

Masyarakat adat Sihaporas tampak menyadari bahwa nasib mereka masih jauh dari kepastian sebagaimana tertuang dalam bunyi-bunyi kemerdekaan yang barusan dirayakan. Bahkan, mereka juga harus memeriahkan kemerdekaan NKRI di lokasi konflik sebagai bukti dan fakta bahwa nasionalisme mereka tidak kaleng-kaleng.

Masyarakat adat Sihaporas adalah masyarakat yang berbudaya. Siklus hidup mereka tidak terlepas dari adat, seperti penyelanggaraan ritual. Mereka memiliki tujuh ritual adat yang masih terus dilaksanakan sampai sekarang dengan tertatih-tatih.

Ritual dilaksanakan dengan penuh perjuangan karena amat sangat bergantung pada ketersediaan dan hidupnya faktor pendukung seperti jenis dedaunan, pohon, dan buah tertentu. Mereka hanya ada dan hidup jika hutan adatnya masih ada dan lestari. Kehadiran TPL yang merampas hutan adat mereka sangat mengganggu, tidak hanya pada kelestarian ritual adat dan kelangsungan pertanian, tetapi juga terhadap kelestarian ekologi yang berguna bagi kita semua.

Ompu Morris menutup refleksinya dengan selalu menyuntikkan semangat optimis sembari menunggu kehadiran negara di wilayah adat mereka dalam bentuk kebijakan pengakuan dan penghormatan. Pemakaian baju adat bukanlah ajang fashion show. Keberpihakan terhadap masyarakat adat haruslah ditunjukkan dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

Jakob Siringoringo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email