Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Memperdebatkan Hukuman Mati

Adrian Aulia Rahman

2 min read

Suara hakim yang lantang, tersangka yang berdiri tegang menanti putusan, dan pekik riuh penonton sidang terdengar saat vonis hukuman mati dijatuhkan. Begitulah suasana sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ketika Ferdy Sambo menerima vonis hukuman mati dari majelis hakim, lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum yang mengajukan hukuman seumur hidup.

Hukuman mati dianggap sebagai konsekuensi terberat dari suatu tindak kejahatan. Jauh sebelum kasus Ferdy Sambo, pemberian hukuman mati sudah ramai diperdebatkan. Dukungan dan tentangan terhadap pemberlakuan hukuman mati belum rampung mewarnai diskusi hukum dan HAM di seluruh dunia.

Argumen yang mendukung maupun menentang hukuman mati selalu berlandaskan konteks ruang dan waktu tertentu. Artinya, argumen-argumen itu bersifat parsial dan non universal. Diterima atau tidaknya hukuman mati merujuk pada realitas budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Lantas, bagaimana jika hukuman mati ditinjau dari segi ideologis?

Baca juga:

Liberalisme, HAM, dan Universalisme

Tepat setelah Ferdy Sambo divonis dengan hukuman mati, Amnesty International Indonesia merilis sebuah artikel berjudul Hakim bisa lebih adil tanpa vonis mati Sambo. Di situ, Usman Hamid, selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menyayangkan vonis hukuman mati dari majelis hakim kepada Ferdy Sambo.

Usman bukan bermaksud membela sang perencana pembunuhan, tetapi ia menentang pemberian hukuman mati tersebut karena ia nilai melanggar hak seseorang untuk hidup dan hak seseorang untuk tidak mengalami hukuman yang kejam. Dengan kata lain, Usman melihat hukuman mati sebagai hukuman yang kejam yang tidak layak diterapkan, terlepas dari sekejam apa pun pelaku kejahatan.

Secara ideologis, dasar argumen Amnesty International dan seluruh pihak yang berpandangan serupa adalah liberalisme dan universalisme. Merujuk pada tokoh liberal kawakan, John Locke, hak untuk hidup adalah salah satu hak fundamental seseorang yang melekat pada dirinya, di samping hak atas kebebasan dan kepemilikan. Hak untuk hidup Locke mengisyaratkan bahwa seseorang tidak boleh dicabut hak atas kehidupannya dalam situasi dan kondisi apa pun. Argumen hak dasar untuk hidup ini didukung pula oleh Thomas Jefferson, salah satu Bapak Bangsa Amerika Serikat sekaligus tokoh liberal penerus paham Lockean.

Ironisnya, sebagai pusat liberalisme dunia, Amerika Serikat justru masih memberlakukan hukuman mati. Mengapa bisa begitu? Secara politik, masyarakat Amerika Serikat terpolarisasi secara ideologis, yakni liberal dan konservatif. Mereka yang konservatif mendukung pemberlakuan hukuman mati. Posisi pro hukuman mati para konservatif ini didukung oleh tradisi dan budaya lama, sekaligus keyakinan mereka terhadap efektivitas hukuman mati untuk menghapus kejahatan sebagaimana yang dipromosikan oleh politikus ultra konservatif seperti Donald Trump.

Selain liberalisme politik, dasar argumen para penentang hukuman mati adalah universalisme dalam konteks hak asasi manusia sebagai nilai universal. Para universalis biasanya adalah memanfaatkan organisasi internasional seperti PBB untuk menyebarkan gagasan mereka. Majelis Umum PBB mengeluarkan beberapa dokumen tentang penghapusan hukuman mati, di antaranya Resolusi 62/149 tahun 2007, Resolusi 63/168 tahun 2008, dan Resolusi 65/206 tahun 2010. Namun, resolusi-resolusi tersebut selalu tidak sampai pada suatu keputusan yang bulat; selalu ada pertentangan dalam penerapannya. 

Konservatisme dan Tradisionalisme

Ketika membayangkan hukuman mati, dalam pikiran kita terlintas visualisasi zaman kerajaan-kerajaan kuno saat sang raja memerintahkan algojonya untuk menebas kepala atau menggantung tawanan. Romantisme monarki yang berkaitan erat dengan pemberlakuan hukuman mati mewujud dalam konservatisme masa kini.

Penghargaan kaum konservatif terhadap tradisi masa lalu membuat mereka menentang keras modernisme dan, sebagai konsekuensi, universalisme beserta agenda penghapusan hukuman mati.

Konservatisme juga berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan dan kepercayaan. Protestanisme di Amerika Serikat tersarikan dalam konservatisme Partai Republik yang membentuk sikap politik pendukung partai tersebut dalam memandang hukuman mati. Islamisme dan hukum Islam mendasari pemberlakuan hukuman mati di beberapa negara seperti Arab Saudi dan Afghanistan. Dengan begitu, ada benang merah antara tradisi keagamaan dan konservatisme politik yang berdampak pada sikap politik seseorang, termasuk dukungannya terhadap hukuman mati. 

Baca juga:

Di Indonesia, konservatisme lebih dominan daripada universalisme liberal. Corak kesadaran identitas orang Indonesia pun sarat akan romantisme budaya kerajaan masa lalu dan tradisi keislaman yang kuat. Maka, dukungan terhadap hukuman mati pun cukup kuat. Hukuman mati masih dianggap sebagai balasan yang setimpal bagi kejahatan yang masuk kategori “luar biasa” dan “sadis”. Kasus pembunuhan berencana yang didalangi oleh Ferdy Sambo adalah salah satunya.

 

Editor: Emma Amelia

Adrian Aulia Rahman
Adrian Aulia Rahman Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email