Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Nasib Buku Ajar di Zaman Internet

Joko Priyono

2 min read

“Buku ajar harus memiliki nilai lebih ketimbang informasi yang ada di teknologi digital!” seru seorang guru dalam forum diskusi tentang pengembangan buku ajar sekolah yang saya ikuti. Seruannya mengingatkan bahwa benar perubahan zaman terus terjadi tanpa bisa dielakkan, tetapi keberadaan buku ajar tetap penting dalam kegiatan belajar-mengajar maupun penyelenggaraan pendidikan secara umum.

Peserta lain dalam forum itu menanggapi seruan tadi dengan hasil amatannya terhadap beberapa buku ajar yang digunakan di sekolah dasar. Ia mempertanyakan di mana letak nilai lebih sebuah buku ajar yang proses penulisannya banyak merujuk situs-situs di internet ketimbang sumber lain seperti buku cetak, majalah, ensiklopedia, hingga artikel jurnal.

Baca juga:

Forum berlangsung selama tiga jam dan diwarnai dengan debat sengit. Tercapai mufakat: penyusunan buku ajar perlu menaruh penghormatan terhadap buku demi buku. Dimulai dari penyusunan buku untuk bahan ajar di tahun 2023 nanti.

Saya teringat Andi Hakim Nasoetion, cendekiawan yang pernah menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) periode 1978-1987. Ia pernah berbagi kenangan tentang keberadaan buku ajar semasa menempuh sekolah di Hoogere Burgerschool (HBS). Dalam esainya di buku Pola Induksi Seorang Eksperimentalis (2002) yang berjudul Bacaan Paling Berkesan Semasa Kecil, ia bercerita tentang beberapa buku yang kemudian membentuk minatnya menjadi ilmuwan.

Ia merekam bagaimana persinggungannya dengan beberapa nama seperti Delsman dan Holstvoogd (penulis buku Ilmu Hewan), hingga K. B. Boedjin (penulis buku Ilmu Botani). Daftar buku garapan mereka yang membersamainya sejak belia terus menginspirasinya saat dewasa. Ia menaruh minat besar pada ilmu-ilmu alam, kendati kemudian memilih Statistika dan Matematika sebagai jalan hidupnya.

Nasoetion kemudian menulis, “Karena itu saya percaya benar bahwa buku bacaan yang mengesankan sewaktu dibaca semasa kecil sangat besar pengaruhnya akan cita-cita yang ingin dicapai di masa depan.” Pengalaman Nasoetion itu ingin kita sesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman ini. Mungkinkah keberadaan buku ajar masih relevan dengan semakin digdayanya teknologi digital?

Buku Cetak di Zaman Internet

Amatan terhadap beberapa buku ajar yang isinya banyak mengutip dari internet tadi perlu dijadikan sebagai studi kasus. Itu menyiratkan semakin terpinggirkannya signifikansi buku dalam proses tumbuh dan kembang seorang anak. Dalam artian lain, buku tidak memberikan hal baru bagi seorang anak. Alih-alih memberi pantikan untuk memiliki gairah terhadap ilmu pengetahuan, anak-anak justru mendapati kebosanan yang berujung sikap meremehkan terhadap buku.

Buku tersingkir seiring dengan terpatrinya pemikiran bahwa pembelajaran bisa dilakukan secara lebih efisien menggunakan gawai. Banyak situs yang menyediakan materi pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah. Meski informasi yang tercantum di situs-situs itu juga bersumber dari buku ajar, penyampaiannya hanya sepotong-sepotong sehingga rawan disalahpahami.

Pola penyajian informasi di dunia digital belumlah cukup menguatkan pemahaman peserta didik terhadap ilmu pengetahuan. Belum lagi adanya godaan lain yang menyergap pengguna gawai, khususnya anak-anak. Siapa yang mampu bertahan lama menelusuri materi pelajaran dibanding, katakanlah, membuka aplikasi hiburan?

Baca juga:

Setia pada Teks Cetak

Beruntunglah orang-orang yang sampai saat ini masih setia pada teks. Melalui karyanya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, The Shallows: Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita? (Mizan, 2011), Nicholas Carr menjelaskan sentuhan terhadap teks meninggalkan makna tersendiri. Menurut Carr, “Pengalaman membaca juga cenderung lebih baik dengan membaca buku (cetak). Kata-kata yang tercetak dengan tinta hitam lebih mudah dibaca dibandingkan kata-kata yang dibentuk oleh piksel di layar dengan lampu latar.”

Iming-iming pengalaman membaca yang lebih baik semata tak manjur menarik para siswa untuk kembali menengok buku ajar. Sesuai keputusan forum tadi, buku ajar sekarang mesti menyajikan hal baru agar pengalaman belajar siswa tetap bermakna dan berkesan. Kalau memungkinkan, informasi yang sudah ada di internet tak perlu disertakan kembali di buku cetak. Tak cuma itu, penyusunan buku ajar cetak yang baik pun perlu didasari penghormatan terhadap buku-buku terdahulu.

Orangtua siswa pun tak akan keberatan membeli buku teks dan buku sumber belajar lainnya karena merasa apa yang dibelinya bermutu dan relevan bagi anaknya. Di era informasi serbacepat dan matinya kepakaran, kesetiaan terhadap teks cetak berarti kesetiaan terhadap ilmu pengetahuan. Namun, tentu tak akan banyak orang yang memilih untuk tetap setia menelusuri teks cetak. Seperti kata astronom dan filsuf Karlina Supelli, kesetiaan adalah jalan sepi.

 

Editor: Emma Amelia

Joko Priyono
Joko Priyono Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email