Guru Biologi saya saat SMA selalu menyebut mata pelajaran yang diampunya dengan lafal biolokhi. Rasa heran dan pertanyaan yang tersimpan dalam benak saya selama bertahun-tahun atas bunyi khi itu terjawab setelah membaca tulisan berjudul Memeriksa Idiolek Presiden Kita. Dari tulisan itu saya tahu, ternyata bunyi khi itu warisan Soekarno.
Tulisan tersebut merupakan salah satu dari 20 tulisan Achmad San yang termuat dalam buku Dikuasai Kata-Kata (2021) terbitan DIVA Press. Melalui esai-esainya, penulis mengajak kita menyelami gejala kebahasaan juga relasi antara bahasa dan politik; bahasa dan masyarakat; dan bahasa dan gender.
Baca juga Berbahasa Satu, Bahasa Beringas
Dalam bagian pertama yang menerakan hubungan bahasa dan politik, Achmad San memperlihatkan bagaimana penguasa bertutur, mewariskan gaya bertuturnya, sekaligus melanggengkan sebuah wacana. Bunyi khi tadi adalah salah satu contohnya. Meskipun Orde Lama telah berlalu, pengaruhnya masih terasa dalam tuturan masyarakat. Barangkali itu bukan hal aneh. Kata-kata semangkin, daripada, mohon petunjuk adalah segelintir peninggalan penguasa Orde Baru yang masih marak dijumpai dalam percakapan sehari-hari.
Masih di bagian pertama, dalam esai yang berjudul Eufemisme Penguasa Seputar Korona, Achmad San juga mencermati bagaimana penguasa-pemerintah terus mencekoki masyarakat dengan bahasa yang ambigu. Contohnya ketika aturan pembatasan perjalanan saat pandemi diberlakukan, tapi pemerintah tak memberi batasan dan definisi yang jelas. Presiden dan seluruh masyarakat gamang dengan istilah mudik dan pulang kampung.
Selain penggunaan bahasa ambigu, menggunakan eufemisme menjadi cara penguasa dalam mengaburkan fakta. Alih- alih menyebut masyarakat miskin, pemerintah senang dengan istilah “masyarakat berpenghasilan rendah”; alih alih menggunakan kartu penganggur, pemerintah mengelabui masyarakat dengan menggunakan kartu prakerja. Belum lagi anjuran “masyarakat jangan panik” saat Covid-19. Pemerintah gemar bersembunyi dari tanggung jawab sebenarnya dengan mengemas program-program andalan dalam bahasa dan singkatan yang membingungkan. Pandemi menunjukkan dengan benderang keahlian itu.
Dalam esai yang berjudul Politik Bahasa dan Kritik Benedict Anderson pada EYD, Achmad San membisikkan bagaimana penguasa mengendalikan apa yang boleh dan tidak boleh kita baca melalui politik pemberlakuan ejaan tertentu, sekaligus mencegah kita mengetahui fakta-fakta yang terjadi di masa silam, termasuk upaya melenyapkan peran penulis Tionghoa dalam merintis bahasa Indonesia.
Di bagian kedua, Bahasa dan Masyarakat, pada judul Siap, Lapor, dan Perluasan Makna Bahasa Militer, Achmad San mengetengahkan dominasi bahasa militer dalam obrolan sehari-hari, di media sosial, serta percakapan WhatsApp. Lihat saja bagaimana kata “Siap” menggantikan jawaban “Ya”, tidak hanya di percakapan kita sehari-hari, melainkan juga mewarnai obrolan kita di media sosial. Ada juga esai berjudul Buya Syafii dan Kritik tanpa Tedeng Aling-Aling mengenai bagaimana cara pesan disampaikan. Esai tersebut menyorot keterusterangan ulama dan guru bangsa tersebut dalam mengkritik Islam dan bangsa Indonesia melalui kata-kata lugas dan berani.
Di bagian ketiga, Bahasa dan Gender, ada uraian menarik mengenai perbedaan cara perempuan dengan laki-laki dalam meminta maaf dalam Perempuan Meminta Maaf, Berkaca pada Kasus Indira Kalistha. Perempuan meminta maaf dengan menangis, laki-laki memberi klarifikasi. Benarkah demikian? Saya senyum-senyum membaca artikel tersebut. Ada pula esai perihal komentar-komentar seksis dan perundungan terselubung seperti kapan kawin, cewek harus masak, cowok nggak boleh dandan, dan lain-lain. Esai ini membuka pikiran betapa perundungan sudah diterima sebagai sesuatu yang lazim, hingga mengomentari balik rasanya percuma.
Peka Berbahasa
Buku kumpulan esai mengenai fenomena kebahasaan cukup banyak diterbitkan akhir-akhir ini. Ada Ibu Haji Belum ke Mekkah (Ajib Rosidi, 2012), 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (Alif Danya Munsyi, 2003), Kata yang Rapuh (Ahmad Sahidah, 2019), Polisi Bahasa (Eko Endarmoko, 2019), Berbahasa Indonesia dengan Logis dan Gembira (Iqbal Aji Daryono, 2019), Ajaib, Istimewa, Kacau: Bahasa Indonesia dari A sampai Z (André Möller, 2020), dan Perca-Perca Bahasa (Holy Adib, 2021).
Meskipun sama-sama memberi tajuk buku kumpulan esai, tiap-tiap penulis menawarkan persoalan berbeda-beda, dengan gaya tutur dan daya tarik masing-masing. Buku-buku itu membawa saya pada dua kesimpulan. Pertama, bahasa Indonesia memang ajaib, bisa dipelajari dengan gembira, dan tidak akan habis dibahas. Kedua, sebagai sebuah bahasa yang terus memodernkan diri, bahasa Indonesia menyimpan banyak persoalan bukan hanya karena pengaruh bahasa asing, bahasa daerah, dan bahasa gaul, melainkan juga karena sikap bahasa penggunanya. Buku yang ditulis Achmad San ini juga tak kalah unik. Dari judulnya saja sudah mengundang pertanyaan, apakah manusia bisa dikuasai kata-kata? Bukannya sebaliknya?
Baca juga Terpenjara Aturan Berbahasa
Bisa. Kita lihat bagaimana Wiston Churchill memukau kita dengan narasi-narasi dalam tulisan dan pidatonya. Dalam konteks bahasa Indonesia, Soekarno, dan Soeharto mempertunjukkan kedigdayaan mereka melalui gaya bertutur yang banyak ditiru pejabat setelahnya, jauh setelah mereka tidak lagi berkuasa. Dalam konteks serupa, kita tahu bahwa penjajah tak hanya meninggalkan bangunan pemerintahan, keturunan dan penyakit kelamin, tetapi juga bahasa. Akhiran –ir yang melekat pada beberapa kosakata bahasa Indonesia adalah buktinya. Seperti kata legalisir, politisir, konfrontir, dramatisir.
Satu kelemahan buku ini, penuturannya masih agak kaku. Banyak kutipan di sana-sini seperti yang biasa kita temukan dalam jurnal ilmiah. Meskipun kutipan tersebut untuk menguatkan pendapat penulis mengenai fenomena kebahasaan yang ia bahas, cara mengutip pendapat tersebut dapat dibuat lebih cair dan lepas. Ada kesan bahwa penulis masih ragu-ragu mengemukakan pendapatnya tanpa menyebutkan pendapat ahli mengenai persoalan tersebut.
Akan tetapi, tetap saja, buku ini dapat menjadi bacaan yang membuat kita lebih awas berbahasa, juga semakin peka terhadap persoalan bahasa yang telah kita maklumi begitu saja tanpa perlu selidik mengapa semua itu ada. Bahwa, betapa berbahayanya penguasa yang tak awas akan privilese yang ada dalam gaya bertuturnya.
Lanjut baca Terasing di Menara Gading: Susahnya Mahasiswa Menulis dalam Bahasa Indonesia