Banyak hal yang mesti diketengahkan dalam membahas hal-ihwal anak. Salah satunya adalah persoalan anak terhadap urusan pangan.
Tak dinyana, perkembangan teknologi digital memudahkan kita dalam memperoleh informasi tentang jenis-jenis makanan dan minuman yang baik dikonsumsi anak. Situasi itu secara otomatis juga akan memberi perubahan atas hidangan yang tersaji di meja makan keluarga.
Dahulu, urusan pilihan makanan tersemat dalam rubrik-rubik surat kabar, majalah, hingga buku, yang bertitik fokus juga pada pola pengasuhan. Kini, di tengah banjir informasi dunia digital, pilihan pangan justru kerap dianggap sepele dan jarang dibahas.
Ririn Diah Utami melalui bukunya Si Kue Lengket (Bilik Literasi Cilik, 2020) barangkali ingin menyampaikan kepeduliannya sebagai ibu, untuk melakukan pengajaran pangan terhadap anak. Buku tersebut memuat sekian cerita abak yang berkaitan dengan urusan makanan. Di sana ada anjuran, petuah, dan nasihat bagaimana memilah dan memilih jenis makanan dengan pertimbangan kesehatan bagi anak.
“Awalnya, aku malas makan karena tidak ada ikan atau ayam goreng. Tapi setelah satu suap, dua suap, tiga suap, mulutku tidak mau berhenti. Rasa pedas membuat nafsu makananku bertambah. Apalagi, paduan sayur dan sambal pecelnya tampak ceria.”
Dala kisah tersebut, kita mendapatkan pesan tersirat: lidah anak-anak terbentuk dari peran keluarga. Selera makan berangkat dari ilmu pengetahuan. Dalam arti lain, meja makan tak sebatas menjadi pertemuan antara piring, sendok, gelas, dan berbagai jenis hidangan makanan. Meja makan menjadi basis pendidikan dari orangtua kepada anak, sekaligus pusat pertukaran pengetahuan tentang makanan. Situasi itu barangkali terasa asing di zaman ini, di tengah gempuran produk olahan instan dengan iklan yang menarik perhatian.
Tak mengherankan tatkala kita menyimak sebuah buku garapan Nanang Wahyudi dan Sonny Satriyono, Mantra Kemasan Juara (Elex Media Komputindo, 2017). Kita paham bahwa urusan kemasan, bungkus, dan tampilan produk olahan makanan sangatlah penting. Keberadaannya menjadi salah satu alasan seorang tertarik dan bergairah untuk mengonsumsi produk tersebut.
Jika kita kembalikan ingatan pada zaman di mana anak-anak masih membeli makanan ringan di warung kelontong, dapat kita amati bahwa pemilik warung selalu punya cara yang cerdik dalam mempromosikan berbagai produk mereka. Ada yang diletakkan pada stoples, ditaruh di dalam deretan rak, hingga dicantolkan dengan tali di depan warung. Anak-anak kerap tergoda dan kecanduan untuk terus berkunjung dan berbelanja. Mereka meminta uang untuk memanifestasi kebiasaan jajan. Orang Jawa menyebutnya tuman.
Berbelanja di swalayan pada era ini lebih memikat ketimbang toko tradisional. Nanang dan Sonny menyebutnya demikian:
“Pola swalayan sebagaimana disebutkan tadi, memberi desain kemasan sebuah tugas baru untuk menarik perhatian konsumen. Pegang, lihat, baca, sampai teryakinkan bahwa produk yang ada di dalamnya memang sesuai dengan yang dibutuhkan.”
Di titik ini kita harus sadar bahwa banyak orang kalap sekalipun itu orang dewasa. Makanan di zaman ini ternilai dari kemasan. Jenis makanan tradisional tak berkemasan bisa saja mulai tergusur dan tak lagi menarik selera. Orang-orang mungkin tak akan gandrung lagi membelalakkan mata pada isi makanan, baik itu kandungan gizi hingga komposisi zat kimia. Bisa jadi perkara anak-anak mudah sakit karena memang orangtua abai pada makanan yang dikonsumsi mereka.
Pentingnya isu anak dan makanan membuat Majalah Intisari nekat menerbitkan kumpulan tulisan tentang psikologi anak sejumlah dua seri pada tahun 1999. Salah satu dari artikel tersebut berjudul Susunan Makanan Seimbang.
“Jangan biasakan anak terlalu banyak makan makanan yang mengandung gula-gulaan macam permen, cokelat, es krim, dll. Itu menyebabkan anak cepat kenyang sebelum makan betulan. Gula-gulaan akan meningkatkan cairan gastric sehingga mempercepat pengosongan perut.”
Kalimat bernada ilmiah semacam itu belum tentu menarik perhatian orangtua di zaman sekarang. Kita bisa jadi terlambat menyikapi krisis kesadaran pangan pada anak-anak hingga isu muncul isu anak-anak di bawah bayang-bayang stunting atau tengkes.
Perhatian terhadap isu anak dan urusan pangan tak semata tentang anak makan dengan kenyang. Namun, juga berhubungan dengan pertimbangan kesehatan, dan kesadaran ilmu pengetahuan.
Mahbub Djunaidi, seorang esais kondang pernah menulis tentang keberadaan hak asasi manusia itu sama pentingnya dengan sepiring nasi. Keduanya sama-sama penting untuk dibahas dan disadari bersama.
***
Editor: Ghufroni An’ars