sejarawan, penyair picisan

Memaknai Doa Melalui Puisi-Puisi Rachmat Djoko Pradopo

Muhammad Alif Ichsan

4 min read

Rachmat Djoko Pradopo, penyair yang sederhana ini–setidaknya begitu yang tercantum pada judul berita Kompas edisi 2 Juni 2023–adalah pribadi yang menarik. Bagaimana tidak, dengan gelar profesor yang disandangnya, dia tidak sungkan membawa buku dengan kantong plastik ke kampus tempatnya mengajar. Dia telah berpulang ke haribaan Ilahi pada 1 Juni 2023 silam. Kepulangannya yang indah pada usia 86 tahun dan kesederhanaan personanya juga tampak terefleksi di dalam puisi-puisinya. Kesimpulan–yang semoga tidak tergesa-gesa itu–aku peroleh dari pencarian kilat dan pembacaanku atas beberapa puisinya.

Aku seperti menemukan kembali duplikasi dari sosok Damiri Mahmud di diri Rachmat Djoko Pradopo, dan bukan tidak mungkin juga masih banyak yang serupa dengan mereka. Dari yang kupahami, karya-karya mereka bak cermin atas kepribadian keduanya. Terlepas dari kekhasan pada segarnya napas kemelayuan yang dapat dihirup dari puisi-puisi Damiri, baik Damiri dan Rachmat sepakat mengaplikasikan kata-kata yang lugas, terang, dan sederhana namun kuat dan padat makna. Oleh karena itu, aku ingin mengantar pembaca kepada dua puisi Rachmat yang berjudul Berdoa dan Doa. Menarik untuk melihat bagaimana ia memaknai doa, dan sejauh mana konsistensi terhadap makna doa pada kedua puisinya yang cenderung kongruen itu.

Puisi Pertama: “Berdoa”

Kita hanya bisa berdoa

padahal doa hanyalah doa

apakah Tuhan menggubrisnya

karena kita tak lain cuma

titik-titik semut di tengah semesta

 

kita cuma bisa berdoa

padahal, doa cuma doa

tak bisa mengangkat kita

dari kesengsaraan yang menimpa

tapi, kita cuma bisa berdoa

meski doa tak bisa

mengentas kita dari

segala kemalangan dan bencana

Sejak kata pertama, dengan perspektif yang agak pesimis kita dapat mengajukan tesis bahwa si penyair dalam keadaan pasrah, atau lebih buruk lagi putus asa terhadap doa. Akan tetapi, baris kedua seakan masih ingin mendebat baris pertama yang kadung lesu itu dengan bunyi, /padahal doa hanyalah doa/. Model yang sama juga berulang pada bait kedua.

Baca juga:

Setelah perdebatan dua baris pertama pada kedua bait itu, Rachmat memunculkan diskusi yang tidak kalah pasrahnya, lewat permainan kata ‘cuma’, seperti: /karena kita tak lain cuma titik-titik semut di tengah semesta/, pada bait pertama dan /kita cuma bisa berdoa/ untuk bait yang penghabisan. Penggalan pertama adalah jawaban untuk /apakah Tuhan menggubrisnya/, yang mewakili kekhawatiran, kegamangan, dan lagi-lagi keputus-asaan terhadap sikap Tuhan terhadap doa-doa. Sementara bait kedua berupaya mengabaikan kesudahan dari doa, bahkan sekali pun tidak jarang doa itu /tak bisa mengangkat kita dari kesengsaraan yang menimpa/, apalagi / mengentas kita dari segala kemalangan dan bencana/, kita memang tidak punya pilihan selain berdoa.

Pada kenyataannya memang demikian yang niscaya. Doa kita banyak yang terkabul, namun tentu kita masih ingat juga kepada doa-doa yang bahkan sudah diiringi dengan usaha namun tidak kunjung berbuah pun mengubah apa-apa. Dari sudut pandang pesimistis, kita akan segera berkesimpulan betapa berdoa mentah di hadapan si penyair, tidak bermanfaat sama sekali.

Oleh karena itu, apa kesimpulan akhirnya adalah kita tidak perlu berdoa? Sebaiknya kita tidak gegabah. Rachmat Djoko Pradopa tidak pernah menyarankan untuk tidak berdoa. Dia malah berulang kali mengamini bahwa berdoa itu bagian dari kewajiban, yang tidak boleh ditinggalkan walaupun kita tahu bahwa ujungnya tidak selalu indah, dan kekhawatiran terhadap jawaban atas doa itu selalu berlipat-lipat jika memandang kepada kenyataan atas kerdilnya diri. Lalu apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Rachmat?

Kuncinya adalah pada lirik, /padahal doa hanyalah doa/ dan atau /padahal, doa cuma doa/. Aku langsung teringat kepada pernyataan Aa Gym yang sempat kudengarkan pada waktu yang silam, yang kira-kira bermakna bahwa doa adalah ibadah dan inheren dengan tugas penghambaan kita kepada Allah. Sebagai konsekuensinya, jawaban dari doa itu adalah berhak prerogratif Allah. Hak kita adalah mendapatkan yang terbaik dari Allah dan sangat mungkin berlainan dengan keinginan kita. Maka dari itu, doa itu sesuatu yang sama sekali tidak berkaitan dengan hasil yang kita peroleh. Doa memang hanya doa, bukan karena doalah kita memperoleh sesuatu, sebab sering kali kita juga dikaruniai sesuatu tanpa meminta atau baru terlintas di hati.

Sudut pandang yang lebih optimis ini akan melumat tesis awal. Kita akan memandang Rachmat sebagai penyair yang menganjurkan untuk terus-menerus melaksanakan tugas sebagai hamba, dengan tanpa memedulikan status kita dan apa yang akan kita peroleh. Doa memang tidak menjadikan segala kesengsaraan dan kemalangan sirna sama sekali, dengan hal yang demikianlah seringnya seorang hamba baru teringat untuk berdoa. Dengan demikian, lahirlah keyakinan bahwa kita tidak perlu mengkhawatirkan apa pun selama masih diberi petunjuk untuk senantiasa berdoa. Sebagaimana tegas Rachmat, /kita cuma bisa berdoa/.

Puisi Kedua: “Doa”

doa demi doa telah diucapkan

tetapi akan selalu diucapkan beribu kali

bahkan maling pun berdoa

ketika mau mencuri harta

 

doa demi doa telah diucapkan

dan tak pernah berhenti

aku pun berdoa pada-Mu

semoga sampai akhir denyut nadiku

 

doa demi doa telah diucapkan

semoga doaku sampai pada-Mu

Amien!

Orang-orang yang membaca puisi pertama dengan kacamata pesimistis tentu akan menganggap puisi kedua Rachmat Djoko Pradopo di atas sebagai pertobatan. Kata-katanya sederhana, tidak ditemukan diksi ruwet, dan seluruhnya membawa pemahaman solid bahwa doa itu napas bagi kehidupan, sehingga Rachmat menutup bait keduanya dengan, /semoga sampai akhir denyut nadiku/.

Puisi ini menurutku bukanlah negasi atas puisi yang lebih awal kita kemukakan atau semacam purifikasi baginya. Puisi kedua ini malah semakin menguatkan pandangan bahwa Rachmat memahami doa sebagai jalan yang tidak boleh putus untuk sampai kepada Dia. Hal itu tercitra sempurna pada lirik, /tetapi akan selalu diucapkan beribu kali/, juga /dan tak pernah berhenti/. Dengan kata lain, puisi kedua masih satu napas dengan puisi pertama.

Baca juga:

Kesatuan tarikan napas pada kedua puisi ini juga tampak pada jalin-kelindan antar liriknya. Misalnya, lirik /bahkan maling pun berdoa/ pada puisi kedua kurang lebih sama maknanya dengan /karena kita tak lain cuma//titik-titik semut di tengah semesta/ pada puisi pertama. Kendati pada puisi pertama lirik itu sah-sah saja dipahami sebagai kekhawatiran, tetapi pada puisi kedua ini dikuatkan bahwa doa itu pada dasarnya memang keharusan bagi siapa saja, lebih-lebih merupakan naluri, panggilan sanubari siapa pun yang masih murni. Tidak peduli sekerdil apa pun orang itu, baik dari rupa hingga perilakunya.

Indah sekali rasanya jika mampu memaknai doa sebagaimana yang dilakukan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Lewat puisi-puisinya yang coba dihadirkan pada tulisan ini, seyogyanya kita dapat merasakan kebutuhan yang tidak pernah cukup si penyair untuk berdoa. Dalam bahasa yang bersahaja, puisi pertama memang menguras kesabaran agar tidak sesat untuk terburu-buru berkesimpulan. Akan tetapi, pada puisi kedua ini, Djoko-lah yang tampak begitu terburu-buru untuk meluapkan rasa. Benar, berdoa itu tidak lagi mewujud keharusan dan kepasrahan, namun sudah melebur ke dalam perasaan yang lebih sentimentil, yakni rindu. Perlu kita ulangi kembali baris-baris kerinduan itu, /aku pun berdoa pada-Mu//semoga sampai akhir denyut nadiku/.

Akhirnya, tidak hanya doa-doa itu yang sampai kepada Tuhan, tetapi juga Djoko. Malam Jumat menjadi kesudahan di dunia dari doa-doa yang senantiasa dia jalin dengan penuh kerinduan, kehambaan, namun juga pengabaian atas bagaimanapun buahnya. Mari juga kita antar Djoko Pradopo dengan doa, semoga dia menemukan doa-doanya itu sebentuk surga dan rahmat-Nya.\

 

Editor: Prihandini N

Muhammad Alif Ichsan
Muhammad Alif Ichsan sejarawan, penyair picisan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email