Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Garis Pantai

Kala Lail

4 min read

Bapak benar-benar melihat. Garis mengilat. Perpaduan buih dan senja. Menggenang di ujung celana bahan yang dilipatnya asal. Celana yang biasa basah kukira. Bekas kakinya di pasir kuikuti. Kutemukan garis lain. Garis mataku yang memantul di air. Sementara bapak terus berjalan ke tengah.

Apakah ini waktu untuk mengubah sesuatu? Memang berat, tapi menyakitkan jika hanya mengabaikannya. Sementara aku mesti tetap mencari ujung yang lain. Tak mungkin kudapati dengan menyimpannya ke dalam. Salahku menjadi muda. Salahku ada di sini. Salahku yang selalu tak berasal.

Kedua tangannya masuk ke dalam saku. Sembunyi dari angin laut atau menandakan jika hanya kosong di sana. Itulah mengapa bapak tetap melanjutkan kakinya. Meninggalkan bayangannya yang masih memanjang di belakang. Menjinjing sandal kecil. Tepung beras putih. Mata merah.

Semua tak beraturan. Mata yang hanya baru diajari menatap tanya. Menyimpan. Tapi bagaimana kubawa pulang tanya. Saat semua tumpah ke mana-mana.

Terlalu muskil rasanya untuk mengerti semua pilihanmu. Setiap keputusan yang belum tentu dapat ditepati. Dalam waktu yang serupa. Kau akan dapati perjalanan yang sama dari tempat yang berbeda. Mana yang lebih menentukan. Jalan atau suatu hal lain yang membuatmu memilih.

Apa artinya. Aku masih bisa mencium bau tiram dari sini. Menunggu keputusan lain yang mungkin kau ambil.

Mungkin kau bawa rambutmu yang sudah beruban. Dan kau dapati semua dari sini. Tak lagi sama. Banyak yang berbeda. Terlalu banyak jumlahnya. Sebanyak waktu yang kuhabiskan menenangkan diri. Sebanyak waktu yang kau butuhkan untuk merapikan penjelasan. Menyelamatkan diri.

Pulau ini terlalu lama menunggu jawaban. Bertahan pada akar-akar bakau. Berpegangan pada bocah-bocah yang ditinggalkan. Lupa diri sendiri. Lupa tempat berdiri. Tumbuh tak sebagaimana mestinya. Terlalu lama melawan gelombang. Melawan kehendaknya sendiri. Dihajarnya seperti pasir. Makin kecil. Makin tak menjadi.

Karang-karang yang rupawan. Terdepan. Harap ibu tak pernah terjawab. Bagai musim satu dan musim lain. Surut dan pasang. Teri dan tiram. Terang dan malam. Sampan dan gelombang. Saling menghajar. Membalikkan. Bergantian. Lebam demi lebam. Peluh demi peluh. Tak berkesudahan.

Rupanya ini bukan tentang hidup. Tapi mimpi seorang bocah. Mimpi seorang lelaki semalam. Yang disengat pagi sebelum terselesaikan. Dan sudah tergeletak di lantai. Tak berubah sedikit pun. Aku menjawabnya dengan napas panjang. Bapak. Tak ada yang berubah.

Kau akan melewati. Mengajari hati untuk menerima. Hal-hal yang tak sesuai. Berlawanan, namun mesti tetap diterima. Usia tak mungkin mengurungnya di sini. Dengan bayangan perut-perut kecil.

Layar mesti tetap dikembangkan. Pergulatan senja dan harapan adalah milik pribadi. Tugasmu menyusui. Tugasnya menyusuri. Memang begitu bejat dunia ini. Anakmu sampai hafal suara beratmu. Yang tak mudah dipahami.

Ombak tak pernah pergi jauh. Ia akan segera kembali. Katamu. Menenangkan diri.

Tetap saja namamu ibu. Perempuan yang lahir dari perempuan. Yang kini melahirkan perempuan dan bocah kecil yang sama sekali tak mirip bapaknya. Atau bahkan mengenalinya.

Kini aku sudah besar. Siap menghajar lautan. Mencari setiap belokan angin. Yang bisa saja membawaku ke tempat tak bertuan. Tempat bapakku singgah. Atau pemakamannya. Dan tanah halaman adalah tempatku pulang. Tanah peraduan adalah tempatku berkelahi melawan nasib sendiri. Semua hanya sekali ini. Aku akan mengalahkan kemungkinan hingga akhir. Tapi sore ini lebih baik aku di rumah. Cuaca terlalu buruk. Terlalu kotor. Terlalu beringas.

“Kau menatap dunia dengan dendam. Mungkin saja bukan lautan yang menyesatkan jalan bapakmu. Bisa saja burung camar. Mungkin lumba-lumba. Paus biru. Atau rasi bintang. Bagaimana jika dendam yang kau pegang tak sesuai dengan apa pun. Tak ada pelampiasan. Ke mana kau mau melemparnya?”

“Ke dasar lautan, Bu. Bersama tubuhku.”

“Mungkin kapal bapakmu terjatuh di ujung lautan.”

Aku sudah besar. Aku sudah tidak bisa menerima dongengan semacam itu. “Lautan itu datar dan punya ujung!”

Bagaimana jika dia terdampar dan menungguku datang. Bagaimana jika dia menemukan tanah subur dan membangun kampung di sana. Aku harus memastikan. Membawa pulang semuanya. Semua bapak di kampung kita. Mereka masih diharapkan oleh puluhan keluarga. Anak-anak tak berbapak. Kawan-kawanku. Bocah pesisir yang pernah bocah.

“Kita akan naik kapal Patorani esok fajar. Berlima. Menumpang nelayan telur tuing-tuing dari Galesong”.

Kau terdiam lagi. Menyimpan beberapa paragraf jika dituliskan. Aku yakin. Serasa tak mau kutinggalkan. Tapi juga tak mau mengatakan. Mungkin sebuah rahasia. Yang bisa saja mengubah apa pun yang akan terjadi.

“Anakmu. Baru saja bisa berjalan. Bagaimana bisa kau tinggal?”

“Tidak lama, Bu. Aku akan pulang sebelum ia bisa berlari.”

“Bagaimana jika bapakmu pergi ke Jawa?”

Ibu menatap lekat mataku. Serasa menyuruhku mengatakan, “Tidak mungkin,” tapi juga ada keraguan. Mungkin ketakutan.

“Kau tahu Daeng Narang?”

Ibu terdiam sejenak. Sementara aku. Mengingat-ingat cerita itu yang sempat bertahun-tahun jadi buah bibir. Setahuku Daeng pernah meninggalkan keluarganya demi menetap di Jawa.

Ahh … Jawa. Seperti gula. Lebih keras ketimbang sadapan nira. Air tuak. Arak kampung.

“Jika kau mau bersenang-senang, pergilah ke Jawa. Jika kau mau bekerja keras, pergilah melaut pagi hari dan pulang sore hari.”

Begitu orang-orang bilang.

Seperti ajang menguji batin. Jawa seperti aib bagi beberapa keluarga. Tapi aku? Entah. Antara penasaran dan menyangkal.

“Bapak tidak seburuk itu,” kubilang lantang.

Tapi semacam ada nada keraguan yang tertinggal di lidah dan mataku. Seperti mengatakan “Iya kan?” Tertangkap juga oleh ibu. Sebelum ia juga menjawabnya sama. Keraguan di matanya. Aku melihatnya.

Fajar datang. Seperti terburu-buru. Garis pantai mulai mengilat. Perpaduan buih dan fajar. Menggenang di ujung celana bahan yang kulipat asal. Celana yang biasa basah. Bekas kakiku di pasir diikuti anakku yang berjalan tak beraturan. Kutemukan garis lain. Garis mataku yang memantul di air. Sementara aku terus berjalan ke tengah. Aku masih menimbang. “Apakah ini waktu untuk mengubah sesuatu?” Memang berat, tapi menyakitkan jika hanya mengabaikannya.

Kedua tanganku masuk ke dalam saku. Sembunyi dari angin laut dan menandakan jika hanya kosong di dalamnya. Itulah mengapa aku akan tetap melanjutkan kakiku. Meninggalkan bayangan anakku yang memanjang di belakang. Menjinjing sandal kecil. Tepung beras putih. Mata merah.

 Melokki lao tega? Jadi kalian mau ke mana?” kata salah satu Patorani berambut coklat. Sepertinya rambutnya terkena matahari melebihi kewajaran. Seperti besi yang berkarat. Kami hanya berpandang-pandangan. Kawanku yang lain membuang muka. Sementara aku seketika seperti kehilangan 12 tahun usiaku. Separuh usiaku. Kembali bocah. Bocah pesisir yang tak tahu menahu.

“Jawa,” celetukku tanpa memprosesnya dengan kepala. Yang benar-benar sedang tidak sehat.

Semuanya memandangiku. Seperti ingin meludahi. Menusukku dengan tombak tuna. Melemparku ke lautan lepas. Tapi semua tertawa. Selain kawan-kawanku. Lelaki tua yang tengah membenarkan pakaja itu bahkan mendekatiku. Masih tertawa.

“Tahu apa kau soal Jawa?”

Aku menggeleng.

“Kaca-kaca menjulang tinggi. Lebih tinggi dari pohon. Seperti tiang matahari. Jalanan seperti lantai rumah. Kapal-kapal sebesar pulau. Apa pun bisa dijual. Rambutmu bisa dijual. Matamu bisa dijual. Jantungmu bisa dijual. Ususmu bisa dijual. Tinggal sebutkan apa yang kau punya.” Lelaki tua itu tertawa makin lebar.

Aku hanya bergidik. Tapi penasaran.

“Bagaimana kau tahu?”

“Aku sudah pernah ke sana. Dengan beberapa lelaki dari kampungmu. Tapi aku memutuskan pulang. Aku takut terlalu lama dan nyaman. Mungkin dulu kau masih umur 5 tahun.”

Bapakku? Melaut dengan orang ini? Ke Jawa? Aku berbalik. Hanya ada dua garis di depanku. Sama-sama melengkung. Yang satu garis mataku. Yang satu garis pertemuan antara laut dan langit. Sama-sama biru bersih. Tanpa awan. Tanpa gelombang. Tampak tak berujung.

Di ujung sana mungkin, bapakku sudah punya keluarga. Punya selusin toko arloji. Seperti yang diimpikannya dulu.

“Arloji adalah penemuan paling menakjubkan. Kau punya ketepatan waktu di sakumu. Kau bisa menepati janji temu. Kau bisa menghitung berapa lama kau harus menunggu. Kau bisa mengatur kesabaranmu. Dan yang paling penting kau tak akan telat makan malam,” katanya waktu itu.

Bagaimana ini. Bagaimana menjelaskan pada ibu. Pada semua orang. Bagaimana aku bisa pulang. Hanya kabar buruk yang kupegang. Hanya lautan kosong. Tanpa angin. Tanpa gelombang. Seperti kaca. Memantulkan matahari. Memantulkan mataku.

Bagaimana caranya mengubur kabar buruk ini. Hanya ada air. Air asin. Aku bisa menciumnya. Sangat dekat. Bau amis. Seperti darah. Seperti sisik ikan layar. Bahkan mengalir dalam darahku. Lewat hidung. Kuping. Mulut. Seluruh lubang dalam tubuhku. Meresap. Basah. Berat. Lambat. Aku bisa mengimbangi gerak ikan pari. Cumi-cumi.

Hening.

Sama sekali tidak ada suara.

Bahkan jantungku sendiri.

Orang-orang wajahnya samar. Siluet. Membelakangi matahari. Mengambang di permukaan air. Seperti berteriak. Memanggilku.

Tapi tanpa suara.

Bu, ternyata tidak kudapati pelampiasan.

Istriku membaca sobekan kertas kecil yang kutitipkan pada ibuku dua puluh lima bulan yang lalu. Hanya ibu yang tahu maksudnya. Sekarang istriku juga tahu.

“Bu, aku mau pergi mencari bapak,” kata anakku suatu sore.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Kala Lail
Kala Lail Pendiri dan penggiat komunitas Lintasastra Salatiga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email