sejarawan, penyair picisan

Memaknai Desember Bersama Puisi Damiri

Muhammad Alif Ichsan

3 min read

Desember tidak selalu tentang kebahagiaan menyambut tahun baru. Sebab kadang-kadang kita juga mengalami kecemasan dalam menghadapi sesuatu yang baru. Desember berada di ujung tahun dan mengakumulasi segala yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya, tak bisa ditampik bahwa ada juga kesedihan di sana. Senoktah pengalaman pahit di Desember dapat berarti banyak dan mengakibatkan kemurungan yang panjang, seperti yang mengilhami Back to December-nya Taylor Swift.

Ketidakberuntungan di Desember boleh jadi sebuah kebetulan. Akan tetapi, Damiri Mahmud, penyair asal Sumatera Utara itu, sepertinya punya pandangan yang berbeda. Saya akan mengajak pembaca kepada dua bait yang agak panjang dari puisi Damiri Mahmud yang konyolnya tidak sempat terdokumentasikan judulnya oleh saya.

Langkah kita harus diawali dengan mendedahkan sedikit dari banyak hal yang bisa diceritakan akan sosok Damiri Mahmud. Nama ini barangkali masih asing bagi banyak orang, apalagi yang tidak punya kecenderungan kepada sastra. Padahal pria Melayu kelahiran 17 Januari 1945 di Sumatera Utara ini telah menghasilkan sejumlah karya dalam bidang sastra, terutama berupa puisi dan kritik sastra. Karyanya yang berjudul Menafsir Kembali Amir Hamzah menurut saya merupakan pencapaian besar bagi Damiri, mengingat karya itu menjadi anti-thesis dari interpretasi-interpretasi besar oleh sastrawan kenamaan lainnya tentang Amir Hamzah dan puisi-puisinya.

Damiri Mahmud merupakan sosok sederhana sekaligus berwibawa, persis puisi-puisinya. Kesederhanaan itu tercermin dari caranya menyambut tamu. Damiri memilih menjadi pribadi yang “mudah”. Terbukti, ketika saya -yang bahkan tidak dikenalnya, ingin meminta waktu untuk wawancara, beliau langsung mengiyakan dan ketika jadwal bertemu tiba dengan santainya dia menyambut di beranda masjid di dekat rumahnya.

Aku Kehilangan Desemberku

Sub judul di atas adalah permulaan bait pertama dari dua bait yang akan diungkap pada tulisan ini. Damiri memulai bait ini dengan meratapi yang hilang di dan dari Desember.

Menariknya, kendatipun Damiri membubuhkan kata ganti -ku pada larik: /Aku kehilangan Desemberku/ yang bermakna Desember dan memori yang berbaring pada Desember adalah miliknya pribadi, tetapi pada baris berikutnya dia seakan menunjuk pembaca untuk bergiliran merasakan kepemilikan atas Desember beserta segala kenangan dan rasa yang terkandung padanya dengan mengubah kata ganti -ku menjadi -mu, seperti pada baris kedua berikut: /Desis puisimu seperti ombak parau/. Perubahan itu kemudian konsisten pada kata ganti -mu hingga penutup bait pertama.

Paragraf di atas adalah tafsiran pertama. Sedangkan tafsiran kedua adalah boleh jadi Damiri sebenarnya sedang menyerang dirinya sendiri secara bertubi-tubi dengan kata ganti -mu, seperti seseorang yang sedang menghardik dirinya sendiri pada cermin. Dengan demikian, tidak salah jika dipahami bahwa pada sisi yang lain, Damiri merefleksikan seluruh rasa itu secara sempurna kepada dirinya sendiri.

Damiri kemudian menjelaskan apa yang terjadi setelah Desember, yang harusnya indah, direnggut dari dia dan atau pembaca yang dengan rela ikut merasakannya melalui: /Desis puisimu seperti ombak parau/ dan /lukamu menyusup ke sela-sela pasir/

Damiri ingin memboyong pembaca kepada suasana di mana ingatannya berada pada hari-hari muram selepas “Desember” tiada, yakni saat nihil keindahan dan yang tinggal hanya bekas-bekas dari luka yang ditinggalkan.

Seolah belum puas “menyiksa” pembaca, Damiri melanjutkan baris berikutnya dengan menerangkan di mana sebenarnya Desember itu.

Ternyata Desember itu tidak benar-benar hilang, melainkan hanya berusaha untuk ditinggalkan di tempat semestinya, kendatipun dalam keadaan hati yang belum sepenuhnya rela. Baris itu berbunyi: /Kekal di sana bersama sisa cinta/ dan /Sementara hari pergi entah ke mana/.

Damiri kembali menegaskan keputusannya pula untuk mengabadikan kenangan itu, bagaimanapun pahitnya, serta berhenti berbohong bahwa “Desember” itu sudah hilang melalui ungkapan: /Tak ada yang bisa menghapusnya, karena abadi dalam baris puisimu/.

Damiri seakan sadar dan mengajak pembaca untuk turut insaf bahwa pengalaman pahit tidak dapat serta merta dianggap hilang. Kenyataan itu akan senantiasa hadir mewujud memori yang pulang-perginya tidak dapat diatur walau dengan berbagai macam cara. Maka pada akhir bait Damiri kembali mengingatkan bahwa: /Dan setiap Desember tiba, kau akan mengingatnya sebagai sebuah luka/.

Sumber: Tempo

Ini kubawakan Desemberku

Bait kedua sekaligus penutup ini menyentak pembaca melalui kehadiran kembali “Desember” yang sebelumnya dianggap hilang. Bait ini merupakan penjelasan dari eksistensi segala hal pada Desember yang tidak dapat digantikan. Damiri yang pada bait sebelumnya menerangkan bahwa ingatan pada Desember adalah sebuah luka, pada bait yang terkahir ini menjelaskan betapa dalamnya luka itu dan bagaimana perjalanannya akan berujung.

Damiri mendeskripsikan Desember penuh luka itu seperti /Sepotong matahari senja/, /Di penghujung tahun/, dan /Bendangnya jingga/. Seluruhnya adalah tentang segala sesuatu yang akan tenggelam, berakhir, dan layu. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ketiganya juga tidak sepenuhnya berakhir, karena keesokan hari masih ada matahari terbit, setelah ujung tahun masih ada tahun yang baru, dan padi di sawah dapat kembali disemai. Pilihan-pilihan perumpamaan dari Damiri itu seperti memiliki dua sisi, putus asa dan berharap, yang juga masih mengisyaratkan akhir yang semu dari luka-luka itu.

Penggunaan kata “sisa’’ pun kembali diulang Damiri pada bait kedua dengan: /Sisa jejak harap yang hanyut/, sementara pada bait pertama kata “sisa” dipadukan dengan “cinta”. Damiri seolah ingin mengatakan berulang kali bahwa cinta dan harapan pada semua yang membuat luka tidak pernah menjadi hampa sama sekali, melainkan masih meninggalkan residu. Residu itu yang menemani lamunan melawat duka-duka.

Akhirnya, Damiri harus mengajak pembaca untuk menjadikan luka itu sendiri sebagai obat bagi hati. Walaupun tak dapat dilupakan dan tidak bisa dianggap tidak pernah ada, tetapi sudah selayaknya luka itu pula yang menjadi instrumen untuk move on dari luka itu sendiri, seperti baris-baris puisinya: /Seperti sebuah perahu/, /Siap berlayar. Ke manapun/, /Membawa semua luka Desembermu/.

Pada gilirannya Damiri dan orang-orang yang diajaknya merasakan pengalaman Desember itu hanya akan mengingat luka sebagai sesuatu yang hanya berhenti di ingatan dan tidak dapat dicapai kembali secara lahiriah, sejak dia sudah menjadi bagian dari masa lalu, seperti pada bait terakhir puisinya: /Menguburkannya di suatu negeri/ dan /Menulis di nisannya: masa lalu/.

Damiri Mahmud pun telah menjadi bagian dari masa lalu dengan kepulangannya ke haribaan Tuhan pada 30 Desember 2019. Dia telah menuntaskan pelayaran bersama puisi-puisi yang membawanya ke suatu negeri yang jauh lebih indah. Hebatnya lagi, Damiri berhasil mendapatkan kembali Desembernya dan semoga orang-orang juga segera memperoleh kebahagiaan dan mimpinya masing-masing.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Muhammad Alif Ichsan
Muhammad Alif Ichsan sejarawan, penyair picisan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email