Orang Batak yang Separuh Jiwanya Berada di Kota Malang

Satu Atap, Empat Tokoh: Berkunjung ke Rumah Sutan Pangurabaan Pane

Alpi Anwar Pulungan

2 min read

Tahun lalu, saya gagal mengangkat karya dan rumah Sutan Pangurabaan Pane sebagai sebuah tesis karena berbagai alasan menyulitkan. Dua proposal tesis saya, yaitu Diversifikasi Ekonomi Pedesaan Melalui Wisata Sastra di Tanah Batak Selatan dan Topografi Destinasi Wisata Sastra di Tanah Batak Selatan, tinggal hanya sebatas angan-angan yang perlahan padam dan mengonggok berdebu di atas lemari.

Baca juga:

Novel Selamat Tinggal karya Tere Liye mengingatkan saya pada Sutan Pane. Barangkali tak banyak orang yang mengenal siapa sosok Sutan Pangurabaan Pane. Namun, tiga anaknya pasti tidak asing bagi orang-orang. Mereka adalah dua sastrawan nasional, Sanusi Pane dan Armijn Pane, serta pendiri HMI, Lafran Pane.

Sutan Pangurabaan Pane lahir sekitar tahun 1880-an dalam keluarga keturunan bangsawan di Desa Pangurabaan, salah satu desa kecil di Sipirok, Tapanuli Selatan. Ia adalah seorang tokoh yang melampaui zamannya. Ia seorang guru dan kepala sekolah HIS di Padangsidempuan, sastrawan, pendiri surat kabar Poestaha dan Pardomoean, pendiri Partindo di Tapanuli, pendiri Muhammadiyah di Sipirok, serta pendiri perusahaan transportasi bus Sibual-Buali.

Sebagai seorang guru dan kepala sekolah, ia fasih berbahasa Belanda, Melayu, dan Arab, tetapi lebih memilih menulis dengan menggunakan bahasa Batak Angkola. Ia pun menulis dunia dengan ketidakpedulian sambil berusaha menjual buku, menghasilkan uang untuk keluarganya, dan memoles profil publiknya. Novelnya yang fenomenal, Tolbok Haleon (1914), melambungkan namanya sebagai seorang sastrawan masyhur di seluruh Tanah Batak. Balai Pustaka bahkan menugaskan Merari Siregar dengan novel Azab dan Sengsara untuk membendung popularitas sastra(wan) Batak itu.

Novel Tolbok Haleon (Musim Kelaparan) bercerita tentang masa kelaparan menjelang musim tanam padi yang dialami oleh masyarakat miskin di Tapanuli Selatan pada tahun 1880-an dan 1890-an. Banyak anak muda merantau ke Deli di pantai Timur Sumatra untuk mencari pekerjaan. Alih-alih mendapat pekerjaan layak, mereka justru menjadi kuli dan kehilangan kontak dengan kampung halaman. Novel ini menggambarkan ancaman ekonomi, sosial, dan spiritual yang disebabkan oleh kemiskinan. Penulisan dalam bahasa Batak Angkola membuat novel ini lolos dari sensor pemerintah Belanda dan cukup berhasil memengaruhi para pembacanya untuk tidak berkawan akrab dengan kemiskinan.

Destinasi Wisata Sastra

Apa yang terjadi di pedesaan Inggris dan Amerika Utara perlu ditiru—bagaimana pariwisata sastra telah berkontribusi signifikan bagi perekonomian, menguatkan identitas nasional, dan mengenalkan aset sastra untuk membangun ekonomi baru dengan memanfaatkan teks klasik dan modern. Selain itu, citra desa dapat menjadi tempat pelarian dari sisi negatif modernitas perkotaan.

Untuk mengembangkan sebuah wisata sastra yang sukses, perlu kanon sastra yang mapan. Penulis terkenal telah digunakan oleh banyak kota sebagai alat pemasaran yang efektif, khususnya rumah sastra, dalam jalur kota sebagai bagian pariwisata budaya. Peluang untuk mengembangkan wisata sastra di Tanah Batak Selatan pernah dicobakan di rumah para sastrawan terkenal, salah satunya rumah sastrawan Sutan Pangurabaan Pane.

Pemilihan rumah Sutan Pangurabaan Pane kian menarik. Sebab, selain menjadi setting film Demi Waktu, rumah itu jugalah rumah Sanusi, Armijn, dan Lafran. Terlebih, di desa tempat rumah itu terletak, Sipirok, sudah dibangun Perpustakaan Umum Daerah Prof. Lafran Pane. 

Sipirok akan menjadi tempat yang strategis dengan berkaca pada keberhasilan pengembangan pariwisata sastra di Australia yang berfokus di sekitar lingkungan alami, taman nasional, cagar alam liar, sungai, formasi tanah unik, serta habitat flora dan fauna asli. Sipirok merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan lanskap alam di lembah gunung Sibual-Buali dan pegunungan Bukit Barisan. Sipirok memiliki budaya yang masih terjaga dan terkenal karena hasil alamnya, yakni kopi.

Memaksimalkan potensi pariwisata skala kecil adalah tawaran yang pantas dipertimbangkan secara serius. Bayangkan, jika rumah sastrawan ini berdiri dan dibuka untuk umum, berbagai peninggalan sang sastrawan seperti kursi, meja, kertas, tempat tidur, dan peralatan makan sebagai saksi lahirnya sebuah karya akan dipajang di sana.

Lebih jauh, destinasi wisata tersebut sangat diharapkan dapat mengangkat ekonomi penduduk setempat, memperkenalkan kearifan lokal, serta menjadi identitas dan kebanggaan daerah melalui kolaborasi dengan berbagai pihak. Karya penulis-penulis lokal akan berkesempatan dipajang di sana sebagai bentuk dukungan terhadap kegiatan bersastra. Kegiatan-kegiatan seperti perlombaan dan penghargaan sastra dapat dihelat di sana.

Baca juga:

Akan tetapi, bangunan rumah asli Sutan Pangurabaan Pane sudah dibangun ulang. Rumah yang awalnya terbuat dari kayu, kini disulap menjadi bangunan beton. Hilang sudah orisinalitas dan keotentikannya. Pada tahap ini, masyarakat setempat dan pemerintah daerah telah gagal menjaga warisan budaya Tapanuli Selatan. Ini merupakan kerugian besar yang bahkan rekonstruksi ulang pun menjadi hal yang sia-sia sekalipun perlu waktu serta proses yang tidak sebentar.

 

Editor: Emma Amelia

Alpi Anwar Pulungan
Alpi Anwar Pulungan Orang Batak yang Separuh Jiwanya Berada di Kota Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email