Keganjilan adalah makanan pokok dalam kumcer Sentimentalisme Calon Mayat karya Sony Karsono yang diterbitkan perdana oleh Anagram (2023). Kita memasuki semesta yang rompal, bersiap dengan lusinan anomali yang meneror. Wahananya traumatik dan saru. Wabil khusus perihal diskursus otoritarianisme Orba. Ada yang dicatat secara tak langsung oleh penulisnya. Aneka pervert yang disuguhi rupanya dapat dibaca sebagai gejala, sebagai tanda.
Para tokoh memegang kunci untuk menggerakkan plot dan peristiwa. Namun di sisi lain, para protagonis itu tertawan oleh semacam hasrat libidinal yang nyeleneh. Kondisinya setengah teler (cerpen Meteorit) atau semata lamunan panjang (cerpen Sentimentalisme Calon Mayat). Sebelum dibangunkan oleh dialog, kehadiran tokoh lain yang nyata berhadapan dengan tokoh utama. Di situ realitas kembali membetot para tokoh menghadapi horor, dengan respons yang lebih tak terduga.
Nuansa dalam cerpen-cerpen Sony mengandung keteguhan untuk melenceng. Yang karikaturis menyoal figur otoritatif, atau perihal pilihan tema. Pembaca Kompas, misalnya, notabene disuguhi seluk-beluk lokalitas; lanskap alam dengan kedamaian desa yang terusik modernitas–banalitas oplosan dari Jakarta. Cerpen Sentimentalisme Calon Mayat yang tayang tahun 1995 di Kompas, lalu masuk ke dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 1996, tentu membuat pembaca kala itu tak kurang berkerut kening.
Tujuh dari delapan cerpen dalam kumcer ini ditulis dan tayang di masa Orba. Hanya satu judul yang barangkali ditulis selepas Orba kolaps (tayang tahun 2002). Dengan warna eksperimental, dibubuhi judul yang memancing, Sony seperti sedang dijajaki semacam waham infrarealismo, hal yang justru merangkum seluruh cerita dari kumcer ini dengan bermain-main di marjin fiksional, di antara fiksi dan racauan.
Sastra Gelap
Sang tokoh (pencerita), sebagai pengamat politik pada tahun-tahun kritis menjelang Orba kolaps dan selepasnya, membabar ulang laku penyair kawakan asal Surabaya, Johan Kartawijaya (dan Surabaya Johnny). Secara argumentatif ia antipati terhadap puisi liris. Ia menyindir para demagog kebudayaan lewat triad epik berikut: alergi terhadap metafora yang ganjen; paranoia estetika sok romantik; fobia terhadap ilusi pembaruan. Ketiganya tercurah dari DWEM alias Dead White European Male: T.S Eliot, Bertolt Brecht, Charles Baudelaire.
Baca juga:
Kita teringat akan suatu kurun saat khalayak gemar menyebut karya obskur dengan label sastra gelap. Muatannya estetika jeroan, nuansanya infrarealis, racauannya absurd. Tapi Sony Karsono (dan para tokoh cerpennya) setidaknya mengakui secara implisit, bahwa untuk menghayati kitab sajak Baudelaire Les Fleurs du mal (Puspa Durjana), harus nyekar dulu ke teks keramat Walter Benjamin. Teks yang berusaha mengungkai nubuat puitis Charles Baudelaire dan membedah antropologi kota Paris abad ke-19.
Kegemarannya memacak lapisan intertekstual adalah strategi estetik. Sebuah upaya dalam terang petromak di sudut-sudut labirin gang kumuh Gubeng, Surabaya. Mencari jalan keluar dari aneka supresi linguistik, kekerasan semiotik, dan beban makna moralistik dalam kurun Orba berkuasa. Seolah jalan keluar satu-satunya adalah dengan masuk ke dalam intertekstual dan muncul sebagai suatu simtom menyoal senjakala dan asap bulan kelima tahun 1998.
Pada Sentimentalisme Calon Mayat, waktu menyaru sebagai gerbong kereta api yang merongrong tokoh utama dan memaksanya menggorok leher lokomotif itu. Salah satu penumpangnya diangankan sebagai badut tawanan Nazi dari kamp konsentrasi. Aroma tragis dan getir tak pernah luput dari peristiwa yang digerakkan oleh pukang-lintangnya waham para tokoh. El-Maut datang dengan rupa yang menor. Seolah-olah, saat di ujung tanduk pun kekuasaan masih sempat bersolek.
Cerpen-cerpennya mempunyai kedisiplinan irama puitik. Membuhulkan imaji pembaca, terbang lalu nyungsep dari langit ke comberan. Meski puitik, ia tak mau merepresi luberan syahwat tekstual, laku nekrophilis, death-drive—kalau kata primbon baratnya Freud. Sedangkan pada “Seikat Kembang Egois” yang dimuat tahun 1995, kakek tua merupakan metafora dari yang lazim disebut The Big Other (Lacan, Žižek), yang merujuk pada tahun-tahun penghabisan Orba. Sekarat, merepotkan, dan amat sangat menyebalkan.
Yang menarik dari kritik Žižek terhadap Deleuze adalah ia mampu membalik logika tubuh tanpa organ menjadi organ tanpa tubuh (organs without body). Dalam kumcer ini kita dapat melihat bagaimana organ-organ para tokoh serta lusinan cameo itu terdesentralisasi dari semacam pusat. Menjadi objek yang otonom terhadap supresi superego dan aparatus ideologis. Kaki, paha, lengan, onggokan mayat, luka, lebam, adalah otonomi organ dari kernel yang semula tersumbat: represi sistemik yang tak terhindarkan dari apa yang disebut Althuser represive state apparatus.
Libido adalah daya dorong yang perbedaannya amat tipis dengan sesuatu yang magis. Piranti lunak dalam organ-organ ini secara aktif mengendalikan para tokoh dalam tindakannya. Hanya saja, Sony cukup jeli untuk tak menempatkan para tokoh dalam cerpen-cerpennya ini sebagai korban yang fatalistik. Ia terhindar dari jebakan psikologis. Yang dilakukannya adalah meradikalkan hasrat dan menjadikannya ledakan libidinal. Ledakan yang dalam taraf tertentu justru menganggu koeksistensi moral Orba.
Selain itu, Sentimentalisme Calon Mayat diakhiri dengan eliptikal. Kita bisa menyebut si tokoh mati bunuh diri. Atau bisa menyebut ia tewas disambar bus. Atau tersedak air liur sendiri. Atau lainnya. Dalam hal ini kita diarahkan untuk menjauh dari semacam heroisme, dari semacam stabilitas, dari sentralisme akal-budi, dari hasrat yang mengalami pendisiplinan ala militer. Rontoknya orde simbolik Orba yang mengambil peran sebagai ekskremental subjek. Matinya sang ayah, matinya Orba. Sialnya, sebagaimana lanskap politik pasca-Soeharto, kita pun seperti mengalami disorientasi. Multipolarnya spektrum politik seolah turut mengaburkan mana landasan resistensi dan mana yang semburat ideologi belaka.
Anomali Sastra
Pertanyaannya, apakah kemudian ini dapat disebut sebagai anomali dalam kancah sastra, dan karenanya memungkinan untuk menerka bentuk dan semesta baru? Boleh jadi demikian, meski fondasinya kurang kokoh. Maksudnya, bentuk-bentuk baru dari seni rupa, musik, atau sastra, dapat terlahir dari pergolakan zaman. Tak serta-merta terjadi begitu saja di kepala para penyair dan perupa. Mereka produk zaman. Tak mungkin ada realisme sosial tanpa Perang Dunia II. Tak mungkin realisme magis hadir tanpa tersentuh kolonialisme. Tak mungkin, misalnya, Beat Generation di Amerika dapat pamor tanpa perang Vietnam, dan The Angry Young Men di Inggris marah-marah tanpa lambung mereka dihantam krisis moneter.
Terbunuhunya Salvador Allende mengguncang Chili dan Amerika Latin. Namun tak cukup untuk menggoyahkan patron sastra kala itu. Octavio Paz dan Gabo di atas angin. Sementara para infrarealismo, untuk menyebut beberapa, Bolano dan Papasquiaro, terkatung-katung dalam upayanya membetot mega bintang kembali ke kalangan. Segenap usahanya ini yang kemudian menghasilkan label sastra gelap atau puisi gelap. Ujungnya, infrarealis hanya berhasil sebagai suatu gerakan kolektif dengan bentuk yang tak bertahan lama. Infrarealismo di atas sedikit-banyak dapat menggambarkan mengapa anomali disebut khalayak sebagai anomali.
Baca juga:
Bukan mengecilkan dampak sistemik yang terjadi di Indonesia. Kita telah merayakan dan melawan: dari mazhab Rawamangun sampai sastra wangi, dari Angkatan 66’, puisi esai, dan polemik kanon sastra. Tapi untuk suatu gerakan kolektif yang diikuti kebaruan bentuk—seperti yang dilakukan infrarealismo dengan mengacak-acak meja para begawan budaya—kiranya belum akan terjadi, kecuali pluralitas anomali, setidaknya sampai semacam gempa suprastruktur-basis terjadi dan menganggu kekerasan-harian sebagai normalitas. Implikasi yang akan membuat institusi sastra susah tidur.
Kembali ke Sony, sebagai Johan Kartawijaya, memoarnya adalah wahana ‘yang lain’. Bukan stilistika kosong, apalagi akrobat kata-kata. Sedemikian dalam Sentimentalisme Calon Mayat, Sony Karsono luwes saja bermain di antara marjin fiksi dan realitas. Bahkan di tepian ngarai, meniti dirty realism ke eksperimen psikopatologis tokoh-tokohnya seolah bagian dari kultus jeroan kontemporer.
Cerpen-cerpen Sony Karsono pun mempunyai implikasi sinematik layaknya noir film. Ia menggali kegilaan subjek yang sebelumnya terbius orde simbolik. Tak pelak sebagai nubuat ihwal silang-sengkarutnya aparatus mental atas kondisi unbegahen in der kultur seperti pada cerpen Melankoli atau Sukra. Secuplik kisah Djarot dalam cerpen berjudul Meteorit pun mengingatkan kita ihwal fantasi futuristik yang kembali jatuh ke semesta simbolik: Sumirah, buruh, robot, dan delirium massa. Sang pengarang mampu mempertahankan plot mencegahnya tak keburu kendor sebelum silsilah terbongkar.
Futuristik di situ saya anggap semacam upaya melarikan diri—lagi-lagi—dari tekanan sistemik dengan mengikutsertakan heroisme yang dibunuhnya sendiri. Seolah masa depan tak berarti bila yang kini di sini, hit et nunc itu, porak-poranda. Namun bukan malah terpatahkan. Justru sebaliknya, dengan kembali kepada kekinianlah posibilitas didapat. Inilah yang kemudian mengapa memoar Johan Kartawijaya diselipkan di bagian akhir. Meski secara simbolik Orba telah tumpas, tapi dalam kekinian kekerasan aparatus ideologis itu masih bercokol dan merongrong. Malah, jangan-jangan sentimentalisme yang disasar bukan lagi untuk calon mayat, melainkan calon robot.
Editor: Prihandini N