Rencana revisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang sedang digulirkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah Indonesia mengundang kekhawatiran serius. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai bahwa usulan revisi ini sangat terkait dengan upaya pemerintah untuk memudahkan pengadaan tanah bagi proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan investasi besar. Revisi ini, jika tidak dipertimbangkan dengan bijak, berpotensi menghilangkan hak-hak rakyat atas tanah yang telah dijamin oleh konstitusi, memuluskan tujuan kapitalis yang merugikan petani kecil, masyarakat adat, dan mereka yang mengandalkan tanah sebagai sumber penghidupan serta dapat memperburuk ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, sekaligus memperburuk krisis ekologis.
Melihat ke Belakang Perancangan UUPA 1960
Dalam perancangan UUPA 1960, pemikiran para pendiri bangsa dipengaruhi oleh pandangan sosialistik dan nasionalistik (neopopulis). Hatta berpendapat bahwa tanah harus dipandang sebagai alat atau faktor produksi yang digunakan untuk kemakmuran bersama, bukan untuk kepentingan individu yang dapat mengarah pada akumulasi penguasaan tanah oleh segelintir orang (Suhendar & Kasim, 1996). Tanah merupakan milik rakyat Indonesia, dan negara sebagai perwujudan kehendak rakyat hanya memiliki hak untuk mengatur penggunaannya demi mencapai kesejahteraan bersama.
Baca juga:
Namun, kebijakan pertanahan pada masa Orde Baru lebih fokus pada pembangunan tertib administrasi pertanahan daripada melakukan perbaikan struktur agraria yang telah lama menjadi masalah besar, dengan pendekatan yang lebih berorientasi pada manajemen lahan/land management (Suhendar & Kasim, 1996). Upaya penyelesaian masalah pertanahan lebih mengutamakan pendekatan administratif dan legalistik. Hal ini terlihat dari pembentukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang bertujuan untuk mengembangkan dan menyempurnakan sistem administrasi pertanahan, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada perbaikan mendasar terhadap ketimpangan dalam struktur agraria yang ada.
Selain itu, terutama pada dekade 1980-1990, terjadi pengalihan fungsi tanah pertanian untuk kepentingan penggunaan lain. Proses ini menyebabkan tanah semakin dipandang dan diperlakukan hanya dalam konteks fungsinya sebagai sumber ekonomi (seperti nilai sewa Ricardian), sementara semakin kehilangan kaitannya dengan fungsi sosialnya (sociological rent) yang sebelumnya menjadi bagian penting dalam pemanfaatan tanah (Suhendar & kasim, 1996). Transformasi ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam pengelolaan tanah, dari yang semula berfokus pada kepentingan sosial dan kesejahteraan bersama, menjadi lebih terarah pada kepentingan ekonomi dan komersialisasi.
Revisi UUPA 1960: Memperkuat Orientasi Kapitalistik
Revisi UUPA 1960 yang saat ini diusulkan justru semakin memperkuat orientasi kapitalis dalam kebijakan pertanahan. Dengan berbagai klausul yang berfokus pada kemudahan pengalihan tanah untuk proyek investasi dan pembangunan, revisi ini tampaknya lebih mementingkan kepentingan korporasi besar dan proyek strategis daripada kesejahteraan rakyat.
Krisis iklim yang memicu berbagai negara untuk melaksanakan transisi energi kini dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alasan untuk mengalihkan tanah-tanah milik rakyat ke proyek-proyek yang diklaim sebagai solusi terhadap perubahan iklim. Dalam konteks ini, meskipun kebijakan pertanahan pada era Orde Lama lebih berfokus pada kepentingan dan perlindungan hak-hak rakyat, dengan orientasi yang lebih populis, kebijakan pertanahan masa kini justru cenderung berusaha memutus hubungan rakyat dengan tanah mereka. Hal ini tercermin dalam upaya revisi UUPA 1960 yang lebih mengutamakan kepentingan investasi dan pembangunan, yang sering kali merugikan masyarakat kecil dan mengabaikan hak-hak tanah rakyat.
Proyek-proyek yang dijustifikasi untuk mengatasi perubahan iklim, seperti pengembangan energi terbarukan atau pembangunan infrastruktur besar, berisiko mengambil alih tanah yang selama ini dikelola oleh rakyat, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan. Pendekatan ini menandakan pergeseran kebijakan yang tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan lebih mendukung kepentingan kapitalis yang berfokus pada proyek-proyek besar.
Revisi yang mengarah pada kemudahan pengadaan tanah ini, bila dibiarkan tanpa pembatasan yang ketat, hanya akan memperburuk pola akumulasi tanah yang semakin terkonsentrasi di tangan perusahaan besar dan individu-individu kaya. Ini bertentangan dengan semangat UUPA 1960 yang dirancang untuk menciptakan keadilan sosial dalam penguasaan dan penggunaan tanah. Kebutuhan rakyat akan akses terhadap tanah yang adil harus diprioritaskan, dan tidak boleh digantikan oleh orientasi pasar yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agraria perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan cermat.
Masyarakat Adat dan Nilai Sosial Tanah: Perspektif yang Terpinggirkan dalam Revisi UUPA
Revisi UUPA 1960 harus memperhatikan dan mengakomodasi hak-hak masyarakat hukum adat yang selama ini menjadi persoalan di Indonesia. Negara tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat di pedesaan dan kawasan hutan mengelola tanah secara adat, dengan sistem pengelolaan yang telah diwariskan turun-temurun. Tanah, dalam konteks ini, bukan hanya sekadar alat produksi, tetapi juga bagian dari identitas dan keberlanjutan komunitas mereka. Oleh karena itu, revisi ini tidak boleh mengabaikan aspek sosial dan kultural dalam pengelolaan tanah.
Di Indonesia, hubungan masyarakat adat dengan tanah sangat erat, bukan hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam dimensi sosial, budaya, dan spiritual. Tanah adalah simbol kedaulatan dan identitas bagi banyak suku yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, hak atas tanah harus dilihat tidak hanya dari sisi legal-formal, tetapi juga dari sisi sosial dan kultural. Mengabaikan hal ini berarti merusak tatanan sosial yang sudah berlangsung ratusan tahun dan merampas hak-hak masyarakat adat yang telah mengelola tanah dengan cara yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Baca juga:
Dalam proses revisi UUPA 1960, negara harus memperhatikan keberadaan masyarakat hukum adat dan sistem pengelolaan tanah mereka. Masyarakat adat selama ini telah memiliki hubungan yang sangat kuat dengan tanah yang mereka kelola. Negara harus bergerak untuk melindungi hak-hak ini dan mengakomodasi keberagaman pengelolaan tanah di Indonesia. Dalam pandangan hukum adat, tanah dipandang sebagai entitas yang memiliki jiwa, yang tidak dapat dipisahkan dari hubungan eratnya dengan manusia. Oleh karena itu, pemahaman terhadap tanah tidak hanya terbatas pada aspek fisiknya, tetapi juga mencakup seluruh unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta hubungan antarsesama manusia. Selain itu, tanah juga berhubungan dengan roh-roh di alam supranatural, yang semuanya terjalin dalam suatu kesatuan yang holistik dan tidak terpisahkan (Sumardjono, 2016).
Namun, revisi yang diusulkan justru terkesan mengabaikan hal ini. Sebagian besar pasal dalam revisi UUPA 1960 berfokus pada penyederhanaan administrasi pertanahan dan pengalihan tanah untuk kepentingan proyek besar. Ini berpotensi mengancam hak-hak masyarakat adat, yang sering tidak memiliki dokumen legal yang mengesahkan klaim mereka atas tanah yang sudah mereka kelola selama berabad-abad. Negara, dalam hal ini, harus memastikan bahwa proses revisi ini tidak hanya menguntungkan perusahaan besar dan investasi luar, tetapi juga memberikan keadilan bagi masyarakat adat yang telah lama terpinggirkan.
Revisi UUPA 1960 juga harus memperluas definisi agraria untuk mencakup lebih dari sekadar tanah. Agraria adalah soal pengelolaan seluruh sumber daya alam, termasuk air dan ruang angkasa. Dalam konteks perubahan iklim yang semakin mendesak, pemerintah harus memikirkan kebijakan yang memperhatikan semua aspek ini, bukan hanya aspek tanah saja. Perluasan definisi agraria ini akan memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Indonesia berjalan secara holistik dan berkelanjutan, dengan tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Revisi UUPA 1960 yang sedang dipersiapkan harus dilakukan dengan hati-hati dan berbasis pada prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan pertanahan yang berfokus pada kemudahan investasi dan pengalihan tanah tidak boleh mengorbankan hak-hak rakyat, masyarakat adat, dan keberlanjutan ekosistem. Pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka, serta upaya untuk menjaga ekosistem alam, harus menjadi prioritas utama dalam revisi ini.
Negara harus memastikan bahwa tanah dikelola secara adil dan berkelanjutan, dengan tidak mengorbankan hak-hak rakyat dan lingkungan demi kepentingan segelintir pihak. Pemerintah harus menjadikan kebijakan pertanahan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keberlanjutan ekologis, bukan sebagai instrumen kapitalis yang menguntungkan beberapa pihak saja.
Editor: Prihandini N