Melihat Batas Antara Kritik dan Hate Speech

Ryo Zen Favian Inzaghi

3 min read

Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden Indonesia, tak hanya dikenal karena karier politiknya yang kontroversial, tapi juga lewat keaktifannya di jejaring sosial. Dengan jutaan pengikut, tiap unggahan Gibran selalu jadi sorotan publik, bukan hanya bagi pendukung, tapi juga pengkritik yang dengan cerdik melontarkan pendapat mereka dalam bentuk candaan dan sindiran.

Kalau urusan media sosial, netizen Indonesia memang terkenal kreatif, terutama dalam menyampaikan kritik melalui canda tawa. Lihat saja kolom komentar Instagram Gibran Rakabuming Raka yang sering kali dipenuhi dengan berbagai bentuk humor seperti satire, irony, hingga sarcasm.

Menariknya, jika kita melihat komentar-komentar ini sebagai bagian dari linguistic landscape, konsep yang menurut Backhaus mencakup segala teks atau bahasa dalam ruang tertentu, kolom komentar Gibran juga bisa dianggap sebagai “peta linguistik” publik. Di sinilah berbagai jenis humor tampil bersama-sama, membentuk lanskap bahasa yang mencerminkan suara dan keresahan masyarakat.

Komentar-komentar ini tidak sekedar melontarkan kritik langsung, tetapi menggunakan berbagai bentuk humor seperti satire dan sarcasm untuk mengkritik figur publik, dalam hal ini Gibran, yang tidak lepas dari kontroversi. Mulai dari sindiran soal nepotisme hingga latar belakang pendidikan yang dianggap kurang, kolom komentar Instagramnya seakan menjadi “panggung rakyat” yang digunakan untuk menyampaikan aspirasi dengan cara yang kreatif.

Baca juga:

Namun, seiring dengan kebebasan menulis komentar, muncul juga tantangan soal batasan. Di mana kritik melalui humor yang sehat berakhir, dan kapan itu berubah menjadi hate speech? Batas antara humor kritis dan ujaran kebencian sering kali menjadi abu-abu, membuat kita bertanya-tanya, kapan sindiran berubah dari lucu menjadi terlalu kejam?

Ragam Humor dalam Kolom Komentar Gibran 

Arthur Asa Berger dalam The Art of Comedy Writing menguraikan 45 teknik humor yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan, baik itu sindiran, kritik, atau sekadar hiburan. Teknik-teknik seperti satire, sarcasm, hingga exaggeration bukan hanya digunakan untuk melucu, tetapi juga menjadi sarana yang efektif dalam menyampaikan protes dengan cara yang cerdas. Dengan humor, kritik yang terkesan kasar bisa dikemas menjadi lebih halus.

Menariknya, teknik-teknik humor inilah yang terpampang jelas mewarnai kolom komentar Instagram Gibran Rakabuming Raka, sebuah contoh nyata dari konsep linguistic landscape, ruang sosial tempat berbagai jenis bahasa dan bentuk humor tampil bersama-sama.

Misalnya, komentar “Enak bgt hasil kerja paman yang melanggar konstitusi,” adalah bentuk dari satire. Gibran dianggap menikmati “prestasi” yang bukan hasil usahanya sendiri, melainkan hasil bantuan sang paman, Anwar Usman, Ketua MK yang diduga memuluskan jalan bagi keponakannya dengan mengubah aturan usia calon wakil presiden. Satire ini seolah mengatakan bahwa posisi Gibran lebih layak disebut sebagai “hadiah” keluarga daripada sebuah pencapaian.

Lain lagi dengan komentar, “PENCITRAAN mulu sama kayak bapaknya.” Menggunakan teknik comparison, komentar ini membandingkan Gibran dengan ayahnya, mengkritik aktivitas politik Gibran yang dinilai mirip dengan blusukan ala Jokowi. Di sini, kritik tidak hanya mempertanyakan ketulusan tindakan Gibran, tapi juga menyiratkan bahwa Gibran hanyalah “fotokopi” gaya politik ayahnya.

Sementara itu, komentar “Menyala IPK 2,3 cihuy,” mengingatkan publik akan IPK Gibran yang pernah ramai diperbincangkan. Menggunakan sarcasm, komentar ini bertepuk tangan palsu terhadap prestasi akademik Gibran, seolah-olah nilai tersebut adalah suatu pencapaian besar, padahal maksud sebenarnya adalah mengejek rendahnya IPK tersebut untuk seorang pemimpin negara.

Komentar “tolong di ruqiah itu pak ustadz” yang muncul di postingan Gibran yang tengah berpose dengan seorang ulama, memanfaatkan teknik allusion. Humor terletak pada rujukan budaya terkait “ruqiah” sebagai pembersihan spiritual, yang diselipkan untuk menyindir bahwa Gibran memerlukan “penyembuhan” dari pengaruh negatif. Sindiran allusion ini bisa lucu karena pembaca memahami konteks sosial dan politik di baliknya.

Baca juga:

Sementara itu, komentar “On fire, the son of nepotism. The lord of darkness. The son of the oligarch,” menggunakan teknik exaggeration, menyematkan berbagai sebutan pada Gibran dengan tujuan memperbesar kesan negatif yang berhubungan dengannya. Dengan menyebut Gibran sebagai “anak oligarki” dan “The lord of darkness,” komentar ini menekankan aspek-aspek yang dianggap sebagai simbol nepotisme dan kekuasaan yang kurang transparan.

Batasan Hukum

Dalam kolom komentar media sosial, ada garis tipis antara kritik yang menggelitik dan ujaran kebencian yang berlebihan. Kritik humoristis yang berbentuk satire biasanya memiliki ruang aman di mata hukum karena bertujuan untuk menyampaikan kritik secara tidak langsung namun tetap menghibur. Namun, ketika kritik berubah menjadi serangan personal, ejekan kasar, ataupun pernyataan yang tidak benar, batasan tersebut bisa tertembus, di saat itulah UU ITE No. 19 Tahun 2016 dapat berlaku.

UU ITE No.19 Tahun 2016 menetapkan batasan terkait ujaran kebencian atau hate speech, khususnya jika isi komentarnya mengandung unsur penghinaan, pencemaran nama baik, atau provokasi yang merusak reputasi atau memancing konflik.

Jadi, ketika ada netizen yang menuliskan komentar dengan unsur-unsur ataupun niatan seperti yang disebutkan di atas, mereka seolah keluar dan menyimpang dari lanskap linguistik yang humoristis dan melompati pagar UU ITE yang telah ditetapkan.

Kalau kata Mukhibun, dkk. dalam Jurnal Sastra Indonesia (2024, h.171-183), di dunia maya pengguna bisa dengan mudah memakai nama samaran atau identitas palsu, yang membuat mereka merasa “kebal” dan aman untuk melontarkan segala macam opini, bahkan yang berpotensi menyakiti orang lain. Anonimitas inilah yang menciptakan ruang abu-abu, di mana netizen sering melewati batas yang telah ditetapkan.

Maka dari itu, penting bagi warganet untuk memahami batasan tersebut, karena konsekuensinya bisa lebih dari sekadar “ban” atau laporan peringatan yang lewat begitu saja. Komentar yang berlebihan, apalagi tanpa dasar, bisa berujung pada sanksi hukum, mulai dari denda hingga pidana. 

Komentar-komentar di atas sekilas mungkin terdengar sederhana, namun jika ditelisik lebih dalam, mereka bisa menyampaikan kritik tajam tanpa mengundang masalah hukum. Di sisi lain, komentar yang menjurus ke arah penghinaan personal, apalagi dengan informasi abal-abal, berisiko dianggap sebagai hate speech yang dapat berujung ke masalah besar.

Hal ini menjadi pengingat bahwa meski di dunia maya, setiap kata ada dampaknya. Tawa mungkin memang hanya sementara, namun dampak dari kata-kata bisa bertahan lebih lama. Jadi, menurutmu apa langkah jitu agar kritik tetap lucu namun tetap bermutu, tanpa bikin suasana jadi rumit dan pilu?

 

 

Editor: Prihandini N

Ryo Zen Favian Inzaghi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email