Kehidupan politik di Indonesia sudah begitu lama dipengaruhi oleh peran media. Media, baik itu cetak, elektronik, maupun digital, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam membentuk opini publik dan mengarahkan persepsi terhadap berbagai isu politik. Namun, sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah hubungan antara media dan politik di Indonesia ini bersifat saling menguntungkan, atau justru saling merugikan? Sebuah hubungan simbiosis mutualisme atau malah parasitisme? Dalam artikel ini, saya akan mencoba mengurai pertanyaan ini dengan perspektif saya pribadi, yang mengamati bagaimana media dan politik berjalan beriringan, kadang berharmoni, namun tidak jarang juga bertabrakan.
Simbiosis Mutualisme: Media dan Politik yang Saling Menguntungkan
Jika kita berbicara tentang simbiosis mutualisme, kita akan membayangkan dua entitas yang berjalan beriringan, saling memberi manfaat satu sama lain. Begitu juga hubungan antara media dan politik di Indonesia, yang pada titik tertentu bisa mencerminkan simbiosis yang saling menguntungkan. Media mendapatkan keuntungan dari politik melalui informasi, akses, dan sumber berita yang datang dari pemerintah, politisi, dan partai politik. Di sisi lain, politik juga sangat bergantung pada media untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat luas. Apalagi saat Pilkada serentak seperti sekarang ini, media menjadi sarana penting untuk mengedukasi, mempromosikan, atau bahkan mengkritik calon pemimpin yang ada.
Baca juga:
Saya pribadi sering terkesan dengan bagaimana media, khususnya media mainstream, memiliki kemampuan luar biasa dalam membentuk citra politikus. Dari cara mereka mengemas berita hingga memilih angle tertentu, media sangat memengaruhi bagaimana publik memandang seorang tokoh politik. Media juga punya kekuatan besar dalam membentuk opini publik, bahkan dapat menambah atau mengurangi suara dukungan dalam pemilu. Saya pernah melihat bagaimana sebuah berita, dengan narasi yang cerdas, bisa mengubah persepsi masyarakat terhadap calon pemimpin, tanpa mereka sadari. Ini adalah contoh nyata dari simbiosis mutualisme yang ada antara media dan politik: keduanya saling membutuhkan.
Namun, meski saling menguntungkan, hubungan ini tentu tidak lepas dari tantangan dan potensi penyalahgunaan.
Simbiosis Parasitisme: Ketika Media Diperalat Politik
Meskipun sering kali hubungan antara media dan politik berjalan mulus, kita tak bisa menutup mata bahwa ada juga kecenderungan di mana hubungan ini bertransformasi menjadi parasitisme. Pada titik tertentu, saya melihat bahwa media bisa saja dimanfaatkan oleh politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Media, yang mestinya menjadi alat kontrol sosial, kadang malah menjadi alat propaganda yang memperkuat kepentingan politikus. Kita bisa melihatnya dalam bentuk pemberitaan yang berat sebelah, manipulasi fakta, atau berita yang sengaja disebarkan untuk menciptakan citra positif bagi tokoh politik tertentu.
Saya pribadi merasa bahwa di Indonesia, keberadaan media yang independen semakin terancam, terutama saat kita masuk dalam masa-masa politik yang penuh intrik, seperti menjelang pilkada atau pemilu. Banyak dari kita yang mungkin tak menyadari betapa besar pengaruh politik terhadap apa yang kita baca di media. Entah itu dalam bentuk iklan politik yang dibungkus dengan narasi berita, atau pemberitaan yang hanya menonjolkan sisi positif dari seorang calon, sementara sisi negatifnya sengaja ditutupi. Dalam kasus seperti ini, media menjadi parasit bagi dirinya sendiri. Ia kehilangan peran sebagai penjaga keseimbangan informasi dan justru menjadi bagian dari mesin politik yang menyesatkan.
Politik dan Media Sosial: Relasi yang Penuh Ambiguitas
Belakangan ini, media sosial menjadi arena baru dalam pertempuran politik. Saya melihat, di dunia maya, politisi semakin aktif memanfaatkan platform-platform ini untuk memperjuangkan citra mereka. Tidak jarang, mereka menggunakan media sosial sebagai alat untuk mendekati pemilih, menyebarkan pesan politik, dan bahkan menyerang lawan politik. Namun, hal ini juga menimbulkan masalah baru, seperti penyebaran hoaks, kampanye hitam, atau manipulasi opini melalui algoritma. Di sini, media sosial justru lebih berperan sebagai alat kekuasaan daripada sebagai sarana penyebaran informasi yang objektif.
Baca juga:
- Romansa Manipulatif di Era Media Sosial
- Paradoks Media Sosial pada Era Kapitalisme Pengawasan
- Influencer dan Banalitas Kejahatan di Media Sosial
Kebebasan pers yang kita dambakan sering kali terasa jauh dari kenyataan. Dalam banyak kasus, saya merasa bahwa media, meski tidak diatur langsung oleh negara, tetap terikat oleh kepentingan politik tertentu. Kita bisa melihat bagaimana banyak media besar yang dimiliki oleh pihak-pihak yang juga memiliki kepentingan politik. Di sinilah kontrol media terasa sangat kuat, meski tidak tampak secara langsung. Media yang harusnya bebas, sering kali terkungkung oleh kepentingan ekonomi dan politik yang memengaruhi editorial dan keputusan pemberitaan.
Kebebasan Pers dan Tekanan Politik: Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Salah satu aspek yang selalu menjadi perdebatan adalah kebebasan pers di Indonesia. Saya sering merasa bahwa meskipun kita memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan pers, kenyataannya tidak selalu demikian. Media di Indonesia, terutama yang memiliki kaitan dengan kepentingan politik, sering kali harus memilih antara menyuarakan kebenaran atau menjaga hubungan dengan penguasa. Bahkan di beberapa kasus, ada tekanan terselubung dari pihak yang berkuasa untuk memengaruhi arah pemberitaan. Hal ini tentu membuat kita bertanya, apakah media benar-benar bebas, atau justru terperangkap dalam kepentingan politik?
Dalam perspektif saya, kebebasan pers di Indonesia memang sedang dalam posisi yang dilematis. Kita sering kali menyaksikan media yang harus berhadapan dengan situasi yang tidak ideal, di mana kebebasan mereka untuk menyampaikan berita harus dibayar dengan ancaman atau bahkan intimidasi. Ada kalanya media yang kritis terhadap pemerintah atau kekuasaan tertentu menjadi sasaran tekanan atau pembungkaman. Pada titik inilah, hubungan antara politik dan media bisa bergeser menjadi parasitisme, di mana media bukan lagi penyampai kebenaran, tetapi menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Di penghujung tulisan ini, saya rasa kita perlu menyadari bahwa hubungan antara media dan politik di Indonesia sangat kompleks. Media dan politik memang memiliki keterikatan yang kuat, tetapi penting bagi kita untuk mempertanyakan apakah hubungan itu selalu saling menguntungkan, atau malah ada saat-saat di mana satu pihak merugikan pihak lainnya. Menjelang Pilkada serentak 2024 nanti, kita akan semakin menyaksikan bagaimana media memainkan peranannya dalam membentuk opini publik, dan bagaimana politik akan terus berusaha memanfaatkan media untuk kepentingan mereka.
Kutipan dari Noam Chomsky dalam bukunya Media Control mengingatkan kita bahwa “media bukanlah milik rakyat, tetapi dimiliki oleh mereka yang berkuasa.” Saya rasa, pernyataan ini sangat relevan dengan situasi yang kita hadapi saat ini. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai masyarakat untuk lebih kritis dalam menyikapi pemberitaan yang ada dan memahami bahwa media bukanlah kebenaran mutlak, melainkan salah satu sudut pandang yang dibentuk oleh banyak faktor, termasuk politik. (*)
Editor: Kukuh Basuki